Dudonan Upacara Madiksa Untuk Sulinggih


Kata Diksa adalah kata dalam bahasa Sansekerta yang artinya suatu upacara penerimaan menjadi murid dalam hal kesucian. Dari kata diksa ini muncullah kata diksita yang artinya diterima menjadi murid dalam hal kesucian. Dalam perkembangannya lebih lanjut, kata diksa berarti aksara yaitu suatu upacara penyucian diri untuk mencapai tingkatan dwijati.

Diksa dalam Visnu-Yamala didefinisikan sebagai berikut :

Divyam Jnanam Yato Dadyat Kuryat Papasya Sanksayam Tasmat Dikseti Sa Prokta Desikais Tatva-Kovidaih

Artinya : Diksa adalah proses dimana seseorang dapat membangun pengetahuan rohaninya, dan menghancurkan semua reaksi yang disebabkan oleh kegiatan yang berdosa.
Kata dwijati (Sansekerta) berasal dari akar kata ja yang artinya lahir. Dwijati artinya lahir kedua kalinya. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Hyang Suci yang disebut Nabe.

 

Tujuan Madiksa

Upacara madiksa mempunyai tujuan mulia yaitu meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan dumadi menjadi manusia. Madiksa adalah suatu klimaks dalam meningkatkan kesucian diri dari tingkatan Ekajati ke Dwijati. Sulinggih yang tergolong dwijati, yang dalam istilah bahasa Indonesianya di sebut pendeta, kata dwijati berasal dari bahasa sangsekerta, dwi artinya 2 dan jati berasal dari berakar kata ja yang artinya lahir. Lahir pertama dari kandungan ibu dan kelahiran kedua dari kaki Sang Guru suci yang disebut Nabe, jadi Upacara Madiksa ini bermakna seseorang yang dilahirkan kembali untuk di jadikan pemimpin suci bagi umat Hindu di Bali.

Seseorang yang sudah menjadi Sulinggih harus melaksanakan amalannya sehingga kesucian nya benar benar meningkat, juga harus selalu melaksanakan kewajibannya, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Apabila seorang walaka ingin meningkatkan dirinya menjadi sulinggih atau melakukan penyucian diri, maka dia seharusnya menyadari dirinya sudah mulai memasuki tahapan menuju ke alam kebrahmanan. Seperti diuraikan dalam sloka bahwa seorang brahmana adalah makhluk yang paling tinggi dihadapan sang pencipta (tuhan). Sedangkan keinginan menjadi brahmana adaalh suatu hal yang sangat luhur, asal diusahakan dengan cara yang benar.

Menjadi brahmana tidak bisa dicapai dengan cara mengubah nama, meminta pengakuan orang lain, mengaku-ngaku diri sebagai seorang brahmana, dengan penampilan pakaian seolah-olah orang suci yaitu dengan cara senantiasa berpakaian putih-putih, menggelung rambut atau mencukurnya sama sekali, atau dengan hanya berteori tentang weda dan kebenaran. Tetapi sesungguhnya ia tidak menghayati hakikat dan kebenaran yang sesungguhnya, maka itu sesungguhnya bukan seorang brahmana.

Sesungguhnya untuk menjadi seorang brahmana adalah sangat sulit, karena memiliki syarat-syarat yang sangat banyak antara lain : harus mentaati hukum-hukum brahman (tuhan). Hal ini hanya dapat dilakukan apabila seorang dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggi ada pada dirinya, maka kebrahmanan itu baru bisa tercapai. Untuk itulah calon diksita (calon sulinggih), ataupun seorang pinandita, jro mangku atau jro gede harus memiliki beberapa persyaratan yang harus ditaati, karena mereka telah memasuki tahapan menuju kebrahmanan.

 

Orang Yang Tidak Patut Didiksa

Dalam lontar Siwa Sasana disebutkan bahwa orang-orang yang tidak patut didiksa oleh sang guru (Guru Nabe) adalah :

  1. Orang-orang kotor, orang yang wangsenya turun sebagai walaka, cacat tubuhnya, dan orang yang sangat menderita.
  2. Cuntaka Janma, artinya orang hina seperti orang yang dijadikan sesaji, orang yang diserahkan pada waktu upacara siwa Wadhana, Asti Wadhana, pencuci mayat, orang pemakan darah, penadah barang kotor, orang yang dihukum penjara.
  3. Patita walaka yaitu menyembah orang hina, memakan-makanannya, orang yang menyembah kepada orang yang cuntaka.
  4. Sadigawe berarti turut dengan adah kriya yang berarti segala yang sudra, candala, mlecha. Sudra berarti orang tanija karma dan wulu-wulu. Banija karma berarti berdagang (segala yang menjual belikan dagangannya yang tidak baik)
  5. Chandala berarti menjagal, melempar, mencungkil dan memukul.
  6. Manusia kuci angga berarti orang cacat tubuhnya seperti orang bungkuk, kerdil, bule dan belang.
  7. Maha duhka berarti orang yang menderita tubuhnya karena sangsara seperti orang kusta, gila, buta, ayan, tuli, kejang, dan timpang. Sebab tidak akan mendapat pahala, bahkan mendapat dosa dan sengsaralah kita kalau disembah olehnya.

 

Prosedur Administrasi Untuk Melakukan Diksa

Disamping syarat-syarat seperti yang tercantum dalam sastra-sastra tentang kawikon, maka ada beberapa persyaratan yang harus juga dilakukan oleh calon diksita yaitu tentang persyaratan adminstrasi. Persyaratan ini diatur oleh Majelis Tertinggi Umat Hindu yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Adapun prosedur persyaratan administrasi adalah :

  1. Calon diksita harus mengajukan permohonan rencana bakal mediksa kepada Parisadha Hindu Dharma Indonesia setempat, yang mewilayahinya selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari pediksaan.
  2. Permohonan tersebut disertai atau dilampiri dengan surat keterangan : badan sehat, berkelakuan baik, surat keterangan tentang kecakapan, riwayat hidup, tidak tersangkut perkara.
  3. Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
  4. Parisada setempat menerima permohonan itu, secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama calon Nabe (diksa pariksa), guna mendapatkan kepastian tentang terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
  5. Penyelidikan dan testing (Diksa Pariksa) bila perlu dapat diulang 3 atau 6 bulan kemudian apabila ternyata permohonan belum memenuhi syarat. Hasil penyelidikan atau pengetesan itu disampaikan kepada Parisada Pusat dengan tembusan kepada pemerintah setempat.
  6. Parisada yang akan memberi keputusan memberikan pernyataan sikapnya (mengabulkan atau tidak) selambat-lambatnya dua minggu sebelum hari padiksan, dengan tembusan ke Parisada Pusat dan pemerintah setempat.
  7. Pemohon yang permohonannya ditolak, dapat mengajukan permohonan lagi setelah berselang tiga bulan kemudian sampai sebanyak tiga kali.
  8. Seorang Pendeta atau Sadhaka yang baru didiksa, boleh melakukan Lokapalasraya setelah mendapat izin dari Nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang memberi izin diksa.
  9. Parisada wajib menyiarkan tentang hal Lokapalasraya itu.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga