Istilah dan Konsep Kegiatan Gotong Royong di Bali


Suatu asumsi dasar yang dijadikan patokan dalam artikel ini adalah bahwa masyarakat dan kebudayaan Bali sedang meng­alami proses perubahan, khususnya karena modernfsasi dan pembangunan. Atas dasar logika edukatif, perubahan suatu masyarakat dan kebudayaan pada hakekatnya akan membawa implikasi per­ubahan bagi sub-sistim masyarakat yang bersangkutan, baik sistim ekonomi, sistim teknologi, sistim kemasyarakatan maupun sitim religi. Eksistensi Gotong Royong Sebagai suatu unsur sosial-budaya masyarakat, dari sudut pendekatan fungsional pada hakekatnya berada dalam suatu hubungan terjaring (inter-dependensi) dengan unsur-unsur lain dalam rangka kehidupan masyarakat yang ber­sangkutan.

Konsep Gotong Royong merupakan konsep yang erat ber­sangkut paut dengan kehidupan masyarakat pedesaan. Gotong Royong adalah bentuk kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu dengan asas timbal-balik yang mewujudkan adanya ketentuan sosial dalam masyarakat. Gotong Royong dapat terujud dalam bentuk spontan, dilandasi pamrih, atau karena memenuhi kewajiban sosial. Wujud dari pada bentuk kerja sama itu beraneka ragam sesuai dengan bidang dan kegiatan sosial itu.

Didalam kehidupan masyarakat Bali ada bentuk kerja sama yang digolongkan sebagai Gotong Royong – Tolong menolong. Bentuk kerja sama yang lain adalah yang dapat digolong­kan sebagai Gotong Royong Kerja Bakti, yang terwujud sebagai kegiatan untuk memenuhi kewajiban sosial.

Sistim kekerabatan Pada masyarakat Bali mempunyai fungsi yang cukup komplek dan meliputi segi-segi kehidupan, baik yang bersifat tradisional maupun yang bersifat modern. Lingkup jangkauannya juga amat luas, karena mencakup kehidupan sosial, ekonomi, politik dan religi. Unsur-unsur yang tercakup kedalam sistim kekerabatan meliputi : kelompok ke­kerabatan, sopan santun pergaulan kerabat. Dalam seksi ini fokus uraian akan dipusatkan kepada beberapa jenis kelompok ke­kerabatan, terutama kelompok-kelompok kekerabatan yang cukup berfungsi dalam mengaktifkan kegiatan gotong royong antar sesama anggota kerabat.  Jenis-jenis kelompok kekerabatan seperti itu antara lain adalah keluarga inti, keluarga luas, klen kecil. 

Keluarga inti pada masyarakat Bali disebut dengan istilah ‘Kuren‘ dan keluarga ini terbentuk sebagai akibat dari adanya suatu perkawinan, Wujud suatu kuren pada umumnya kecil, menempati satu tempat tinggal dan merupakan satu rumah tangga.

Keluarga yang luas di Bali disebut pekurenan terbentuk seba­gai akibat dari adanya perkawinan dari seseorang atau sejumlah anak dari suatu keluarga inti. Karena itu suatu keluarga luas selalu terdiri dari satu keluarga inti, tetapi seluruhnya merupakan satu kesatuan sosial dan pada masyarakat Bali kelompok kekerabatan ini biasanya tinggal bersama pada satu pekarangan. Dalam penataan rumah tangga, kalau seluruh anggota keluarga luas makan dari dapur yang sama, maka dinamakan ngerob

Pada masyarakat Bali, kelompok kekerabatan yang berbentuk Klen kecil disebut dadia. Struktur dadia pada masyarakat Bali berbeda-beda di berbagai tempat. Di desa-desa pegunungan, orang­orang dari tunggal dadia yang telah tersebar karena hidup neolokal tidak lagi mendirikan pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediaman. Di desa-desa tanah pedataran, orang-orang tunggal dadia yang hidup neolokal umumnya mendirikan tempat pe­mujaan di masing-masing tempat kediamannya yang disebut kemu­lan taksu.

Ketiga jenis kelompok kekerabatan di atas (keluarga inti, keluarga luas, klen kecil) adalah rnerupakan wadah yang mengorganisir dan rnengaktifkan kegiatang gotong royong dalam ber­bagai bidang kehidupan : sosial, ekonomi dan upacara keagamaan.

Stratifikasi sosial Masyarakat Bali memperlihatkan stratifikasi sosial yang cukup komplek. Disamping masih kentara adanya dasar-dasar stratifikasi tradisional, maka dasar-dasar modern dengan indikator seperti pendidikan, kekayaan, pangkat, dan sebagainya juga berkembang dalam kehidupan masyarakat. Stratifikasi sosial dalam bentuk kasta yang terutama didasarkan pada indikator kelahiran, merupakan hal yang masih cukup me­nonjol dalam berbagai segi kehidupan tradisional, baik dalam bidang kehidupan keagamaan maupun dalam bidang kehidupan sosial. Perbedaan derajat kehidupan tersebut tercermin dalam sistim lambang, sopan santun pergaulan, penggunaan bahasa dan lain-lain.

Hubungan strata sosial yang tinggi dengan yang lebih rendah, seperti misalnya antara Brahmana atau Cokorda dengan rakyat biasa, masih sering mewujudkan pola hubungan yang dapat disifatkan sebagai hubungan patron-client (hubungan atas bawah yang bersifat ketergantungan). Hal seperti itu menimbulkan sikap loyalitas antara bawahan terhadap atasan dan sikap seperti itu sering terwujud sebagai kegiatan gotong royong oleh pihak bawahan terhadap atasan dalam ber­bagai segi kehidupan yang berlangsung dikalangan keluarga brah­mana atau cokorda, seperti upacara, mendirikan bangunan, dan sebagainya.Kegiatan gotong royong seperti disebutkan di atas itu disebut ngayah.

Bentuk kesatuan hidup setempat yang terpenting adalah desa dan banjar. Konsep desa pada masyarakat Bali mempunyai dua pengertian, yaitu Satu kesatuan wilayah dimana para warganya secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Dan dengan pengertian ini disebut desa Adat. Rasa kesatuan sebagai warga desa adat terlihat oleh faktor-faktor : karang desa (pekarangan desa), awig-awig desa (aturan-aturan desa), dan kahyangan desa: pura Puseh, pura Desa, pura Dalem.

Suatu kesatuan wilayah di bawah kecamatan, sehingga merupakan bagian dari struktur vertikal dari pemerintah pusat Republik Indo­nesia – Propinsi – Kabupaten. – Kecamatan – Desa. Desa dengan pengertian ini disebut desa Dinas. Para warga desa dinas terikat oleh suatu kesatuan fungsi yang dijalankan oleh desa sebagai kesatuan kedinasan. 

Kedua bentuk organisasi desa tersebut di atas dapat merupa­kan wadah yang mengorganisir dan mengarahkan kegiatan gotong royong dalam kehidupan masyarakat, khususnya kegiatan gotong royong yang tergolong tipe gotong royong kerja bakti, seperti ngayah dalam rangka upacara-upacara yadnya di tingkat desa adat, gotong royong kebersihan dan sejenisnya di tingkat desa dinas.

Banjar adalah meiupakan suatu kesatuan sosial atas dasar wilayah yang lebih kecil dari desa. Banjar, disamping menjalankan tugas-tugas yang bersifat keramat juga bertugas dalam bidang-bidang yang lebih bersifat sekuler.

Tugas-tugas banjar pada hakekatnya dikerjakan secara gotong royong sesama warga banjar, dan jenis gotong royong yang tercakup kedalam kegiatan-kegiatan banjar tersebut dapat digolongkan, baik kedalam tipe gotong royong kerja bakti, maupun tipe gotong royong tolong menolong.
Atas dasar uraian-uraian tersebut di atas, baik desa maupun banjar pada hakekatnya adalah bentuk organisasi. sosial tradisional masya­rakat Bali yang berdasarkan atas prinsip gotong royong.

Sistim Religi Sebagian terbesar penduduk Bali menganut agama Hindu mengandung banyak unsur-unsur lokal yang terjalin erat kedalam­nya sejak jaman dahulu kala. Didalam kehidupan keagamaannya, orang yang beragama Hindu percaya akan adanya satu Tuhan, Ida Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dalam bentuk konsep Trimurti.

Dari keseluruhan komponen-komponen keagamaan yang mencakup : sistim kepercayaan, sistim upacara, komuniti ke­agamaan, alat peralatan keagamaan, maka upacara mempunyai peranan penting dan dilakukan di lingkungan masyarakat Bali dalam frekwensi yang cukup tinggi. Untuk itu dalam menyelesaikan kegiatan tersebut, gotong royong masih tetap dilaksanakan.

 

1. Mesilih-Bahu

Kata mesilih-bahu tersusun dari dua kata dasar, yaitu : silih dan bahu. Silih artinya pinjam. Bahu arti harfiahnya adalah bahu, dan dalam konteks itu, bahu yang dimaksud bahu binatang, ternak yang umumnya dipergunakan dalam kegiatan pengolahan tanah dibidang pertanian, yaitu : sapi, kerbau.

Dengan demikian, maka istilah mesilih-bahu mempunyai arti sating pinjam atau saling memberikan binatang tenaknya (sapi, kerbau) masing· masing, sehingga terwujud sepasang ternak yang siap dipergunakan untuk menarik bajak dalam pengolahan tanah pertanian. Dalam keadaan seperti itu, seorang petani memberikan seekor ternaknya dari petani yang lain. Sepasang ternak yang terwujud, berkat adanya kerja sama tersebut. Siap dipakai secara silih berganti di antara mereka, dan bentuk kerja sama seperti itu akan berulang berkali-kali antara kedua petani itu dalam setiap musim pengolah­an tanah.

Pada desa-desa pertanian di Bali, dimana potensi tenaga temak masih merupakan sumber tenaga yang penting, kegiatan mesilih-bahu tersebut masih ter­wujud sebagai suatu kegiatan yang murni. Pada desa-desa yang terbiasa dengan sistim upahan, bahkan sepasang ternak yang terwujud sebagai kerja sama seperti itu dapat pula diupahkan kepada pihak ketiga. Karena kegiatan mesilih-bahu adalah satu jenis kegiatan kerja sama tolong menolong melalui penggabungan tenaga temak, maka kehadiran teknologi modern dalam bidang pertanian yaitu traktor akan mengurangi kegiatan mesilih-bahu tersebut.

Sering pula petani dalam mesilih-bahu itu ikut serta dalam mengantarkan sapi atau kerbaunya ke tempat kerja, lalu ikut membantu kerja. Sebagai imbalan terhadap bantuan kerja seperti itu, maka petani yang punya kerja biasanya menyu­guhkan makan-minum menurut tradisi yang berlaku.
Sebaliknya apabila nanti petani pasangannya mempunyai kerja, maka menjadi kewajiban (yang pada dasarnya dilandasi oleh prinsip resiprositas) bagi petani yang pertama untuk berbuat yang sama seperti apa yang telah pernah dilakukan oleh pasangannya terdahulu.

Demikianlah terwujud suatu kegiatan gotong royong tolong menolong antara kedua petani melalui ikatan ternak mere­ka. Biasanya terdapat suatu keseimbangan dalam proses bantu membantu itu, dalam arti jumlah kerja dan luas tanah garapan yang terjadi pada petani yang satu, hampir sama dengan petani yang lain yang menjadi pasangannya.

Dengan demikian ada kecen­derungan dan dasar pertimbangan yang cukup rasional dalam hal pemilihan pasangan yang akan diajak membangun silih-bahu itu. Petani yang membangun silih-bahu adalah antar petani yang luas garapannya relatif sama, sehingga dengan demikian yang satu tidak dieksploitasi oleh yang lain.

Dalam hal mesilih-bahu itu memang dituntut adanya ke­ikhlasan dan kewajiban moral, untuk sating membantu secara ber­imbang antara sesama anggota peserta. Apabila ternyata bahwa kewajiban yang pemah diberikan (kewajiban melalui tenaga ternak) tidak seimbang dengan hak yang diterima dari pasangan­nya, maka pasangan tersebut dapat bubar dan bahkan dapat terjadi ketegangan tertentu serta petani beralih kepada pasangan yang lain.

2. Meslisi

Meslisi bertentuk dari kata dasar slisi. Sebagai suatu jenis gotong royong, meslisi berarti berganti-ganti membantu. Kata slisian berarti orang yang diajak bantu membantu dalam bekerja. Jenis gotong royong ini sangat populer juga dibidang pertanian dan dapat dipandang sebagai jenis kegiatan arisan bertani. Di luar bidang pertanian, meslisi juga dikenal dalam bidang pembangunan,  kerajinan dan dalam bidang kemasyarakatan lainnya. 

Dibidang pertanian, kegiatan meslisi diantara sesama Petani. Tatkala kebutuhan akan tenaga kerja tambahan sangat di­perlukan terutama pada tahap-tahap pekerjaan yang tergolong berat dan memerlukan tenaga tambahan seperti : mencangkul, menanam, maka sejumlali petani menghimpun diri melalui tukar­ menukar tenaga dan bantu-membantu satu sama lain.

Himpunan itu secara silih berganti menyumbangkan tenaga kerja mereka terhadap anggota himpunan sampai mencapai suatu siklus, dimana setiap anggota pernah membantu dan dibantu diantara sesamanya. Masuknya sistim kerja upahan dan makin kompleknya sistim difrensiasi serta stratifikasi sosial di pedesaan, memang mengurangi aktivitas gotong royong meslisi itu, bukan berarti telah menghilangkannya sama sekali. 

Kegiatan meslisi itu pada umumnya dilakukan antara sesama petani yang kurang rnampu rnemakai tenaga upahan dalam pengerahan tenaga tambahan yang diperlu­kan itu.
Dalam bidang kemasyarakatan; adanya bentuk kegiatan mes­lisi memberikan peluang bagi seseorang untuk mengalihkan sesuatu kewajiban kepada kawannya yang lain. Sehingga seseorang itu dapat mengfokuskan kegiatannya kepada bidang yang lain, yang dari sudut kepentingan orang tersebut menuntut suatu prioritas tanpa dia dianggap melalaikan kewajiban sosialnya.

Kelompok yang terlibat dalam kegiatan meslisi itu, umumnya adalah kelompok yang bersifat sementara dan kemudian dapat ber­ganti dengan orang lain setelah satu siklus. Setiap anggota telah pernah membantu dan dibantu satu sama lain. Meslisi di bidang pertanian, umurnnya terjadi diantara petani tetangga, dan meslisi di bidang kernasyarakatan umumnya diantara sesama dalam satu kelompok sosial tertentu : satu banjar, satu seka, satu subak, satu dadia.

Seperti halnya jenis gotong royong tolong menolong pada umumnya, maka kegiatan meslisi itupun adalah digerakkan oleh prinsip timbal balik (resiprositas). Karena itu hampir selalu ditun­tut adanya keseimbangan antara hak yang pernah diterima dan kewajiban yang harus diberikan. Dalam pada itu, apabila ada diantara anggota peserta tidak disiplin, dalam arti lebih meng­utamakan hak dari pada kewajiban, maka orang tersebut segera harus menerima suatu penilaian jelek atas dirinya. Prilakunya dijadikan fokus buah bibir diantara sesama petani. Karena prinsip kehidupan umumnya lebih didasarkan pada solidaritas mekanis, maka hal seperti itu mudah menjalar dan diketahui oleh lingkung­an petani yang lebih luas, dan nantinya orang seperti itu tidak akan mau lagi diajak kerja sama dan mudah terisolasi.

3. Ngrombo

Kata ngrombo terbentuk dari kata dasar rombo arti­nya bantu. Dengan demikian ngrombo berarti membantu. Ciri khas dari proses bantu-membantu dalam jenis gotong royong ini adalah suatu tingkat ketidak mampuan tertentu (misalnya karena usia tua, karena jenis pekerjaan yang dihadapi terlalu berat) dari pihak yang akan menerima bantuan tersebut.

Sebagai suatu jenis kegiatan gotong royong, kegiatan bantu membantu dalam bentuk ngrombo itu dapat berlaku dalam berbagai bidang ke­hidupan, tetapi dalam seksi ini deskripsinya akan lebih difokuskan kepada bidang teknologi dan perlengkapan hidup.
Dari kata dasar rombo dapat terbentuk berjenis-jenis kata jadian, seperti : kerombo (artinya orang yang dibantu), pengrombo (artinya orang yang membantu); romboan (artinya menunjuk suatu status seseorang yang dalam keadaan sebagai penerima bantµan). Istilah yang terakhir ini (romboan) misalnya dipakai dalarn menunjukkan status seseorang dalam “keanggotaan banjar.

Demikianlah, dalam hal keanggotaan banjar di Bali, menurut kriteria status keanggotaannya dibedakan adanya dua jenis keang­gotaan, yaitu: anggota ngarep (anggota penuh, anggota inti) yaitu anggota yang berstatus primer dan anggota romboan (anggota tidak penuh, anggota yang perlu dibantu) yaitu yang berstatus sekunder. Dalam beberapa hal sesuai dengan awig-awig banjar (aturan-aturan banjar) anggota romboan tersebut dibebaskan dari kewajiban tertentu.

Istilah ngrombo dapat mempunyai arti yang menyempit dan dapat pula meluas. Dalam arti yang sempit, kegiatan ngrombo biasanya dikerjakan oleh seorang atau sejumlah orang untuk membantu seseorang tertentu. Dalam arti yang luas, kegiatan ngrombo diker­jakan oleh suatu kelompok atau sejumlah kelompok untuk mem­bantu suatu kelompok tertentu.

Tujuan kegiatannya yang utama adalah memberikan bantuan tenaga tambahan, sehingga dengan demikian pekerjaan yang dihadapi oleh orang atau kelompok yang memerlukan bantuan dapat ,diperingan atau dipercepat selesainya. Atau untuk men­dukung eksistensi seseorang yang dalam keadaan kerombo tetap dapat berfungsi sebagai manusia sosial dalam arti tetap diakui sebagai anggota suatu kelompok sosial tertentu.
Dalam kegiatan ngrombo tersebut dapat dilibatkan orang secara individual atau secara kelompok. Secara individual, orang yang berperan sebagai pengrombo dapat terdiri dari anggota kera­bat, kenalan atau tetangga. Secara kelompok, kelompok yang ber­peran sebagai pengrombo biasanya terdiri dari kelompok-kelom­pok yang telah saling menjalin suatu hubungan sosial secara trdisional.

Contoh dalam kegiatan ini misalkan; ada upacara perkawinan, membangun rumah dan sebagainya.

Kegiatan ngrombo diawali oleh adanya seseorang atau suatu kelompok yang akan melaksanakan kerja. Mereka yang memberikan bantuan (pengrombo) dapat bertindak membantu secara spontan atau memberikan bantuan setelah diberi tahu serta diminta bantuan terlebih dahulu. Kegiatan itu berakhir setelah jenis pekerjaan dari yang mempunyai kerja itu rampung dan sele­sai. 

Dengan adanya jenis kegiatan ngrombo seperti itu, maka seseorang atau suatu kelompok pada hakekatnya dapat menyele­saikan suatu tahap pekerjaan dengan lebih menghemat pembiaya­an, berkat adanya bantuan dari orang atau kelompok lain yang telah menjalin suatu hubungan sosial tertentu. Hal itu berarti sebagian dari beban mereka dapat lebih diringankan.

4. Metulung

Kata metulung terbentuk dari kata dasar tulung arti harfiahnya adalah tolong atau bantu. Dalam konteknya sebagai suatu jenis kegiatan gotong royong, maka metulung berarti mem­bantu seseorang yang sedang berada dalam keadaan bencana, mala­petaka atau kecelakaan seperti : kebakaran, banjir, orang jatuh, anak hanyut dan lain sebagainya. Ciri khas dari jenis gotong royong metulung ini adalah sifatnya yang sangat spontan dan kondisi dari pihak yang ditolong memperlihatkan keprihatinan ter­tentu.

Bentuk kerja sama metulung ini terwujud dalam ber­bagai aspek kehidupan masyarakat, khususnya aspek-aspek kehidupan yang menunjukkan suatu suasana duka karena orang tertimpa bencana, mala-petaka atau jenis kecelakaan tertentu. Demikianlah misalnya, ada kegiatan metulung yang berupa kerja sama dalam memadamkan kebakaran, kerja sama dalam mencari orang hanyut atau tenggelam karena air bah, kerja sama dalam menghadapi orang terkena kecelakan, kerja sama dalam meng­hadapi orang atau keluarga tertimpa tanah longsor dan lain-lain.

Tujuan kegiatan seperti itu adalah, disatu pihak ikut serta meringankan beban, dan dilain pihak turut menghibur orang yang tertimpa kemalangan.
Bentuk kerja sama yang tergolong seperti kegiatan metulung dapat berupa suatu kerumunan, yaitu himpunan dari beberapa orang yang terpusat perhatian mereka oleh karena terjadinya suatu bencana atau kecelakaan. Dalam suasana kehidupan pedesaan, kerumunan seperti itu terbentuk dari para warga desa yang kebetul­an berada di sekitar kejadian tersebut.

Kegiatan metulung seperti telah disinggung di depan adalah kegiatan kerja sama yang bersifat sangat spontan, dalam arti bahwa para penolong itu datang membantu dengan spontan, rela dan tanpa diminta oleh orang yang sedang tertimpa bencana. Dalam keadaan seperti itu umumnya ada suatu kewjiban moril di antara sesama peserta untuk dapat memberikan bantuan semaksimal mungkin sampai bencana atau mala petaka yang sedang dihadapi dapat diatasi untuk tahap tertentu.

Bahkan, apabila dalam kegiatan itu melibatkan keikut sertaan organisasi sosial tradisional banjar atau desa seperti contoh kasus bencana, maka menjadi kewajiban seluruh warga organisasi sosial tersebut untuk dapat mengatasi bencana, sehingga dengan demikian betul-betul keluarga yang tertimpa kemalangan itu dapat hidup aman kembali. Khusus mengenai masalah bencana dan kedukaan, para desa-desa di Bali umumnya hal itu diatur di dalam awig-awig desa.

Orang-orang yang tidak suka ikut serta dalam kegiatan metulung seperti itu, umumnya dinilai sebagai orang yang tidak bisa bermasyarakat, dan nantinya bila sewaktu-waktu harus meng­hadapi suatu bencana atau mala petaka tertentu, maka jangan banyak berharap bahwa orang lain akan mau secara spontan membantunya. Dalam hal kegiatan metulung yang melibatkan organisasi banjar atau desa, maka ketidak ikut sertaan anggota­anggotanya, sangsinya diatur menurut sistim sangsi yang berlaku pada banjar atau desa yang bersangkutan, seperti dikenakan sejum­lah denda dan sebagainya.

5. Ngajakang 

Kata ngajakang terbentuk dari kata dasar ajak berarti mengajak. Ngajakang berarti menggotong-royongkan. Dalam berbagai bidang kehidupan masya­rakat, kegiatan dalam bentuk ngajakang sering diperlawankan dengan kegiatan dalam bentuk ngupahang yang artinya mengupah­kan.

Ciri khas dari jenis gotong royong ini adalah adanya suatu inisiatif dari pihak yang akan mengharapkan bantuan (yang mem­punyai-kerja) untuk mengajukan permintaan ngajak kepada pihak-pihak yang akan membantu secara langsung maupun tidak langsung.

Dengan demikian maka jenis gotong royong ini kurang menunjukkan sifat spontanitas, melainkan adalah sebagai suatu kegiatan yang memang direncanakan akan digarap bersama-sama secara gotong royong. Sebagai suatu kegiatan yang lebih bersifat direncanakan, maka dalam jenis gotong royong itu secara umum berlaku adanya suatu bentuk imbalan atau kompensasi tertentu bagi pihak yang diajak.

Bentuk gotong royong ngajakang ini, terwujud dalam hampir setiap bidang kehidupan masyarakat: dalam bidang mata pencaharian misalnya dikenal ngajakang dalam kegiatan menanam padi, mengatapi rumah, ngajakang dalam kegiatan upacara per­kawinan dan ngajakang dalam hal upacara di pura keluarga.

Tujuan kegiatannya yang utama adalah untuk menyelesaikan suatu jenis kegiatan secara bersama-sama yang dihadapi oleh seseorang atau suatu keluarga tertentu. Disamping itu terkandung pula tujuan-tujuan untuk mengokohkan ikatan kerabat, ikatan pertemanan, ikatan kelompok atau untuk menunjukkan suatu tingkat status tertentu.

Kewajiban dari pihak yang mengajak adalah menyediakan suatu imbalan atau kompensasi menurut jenis dan cara-cara yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Sesuai dengan contoh kasus pesta perkawinan tersebut di atas, maka kewajiban dari pihak yang diajak adalah menyelesaikan seluruh jenis pekerja­an yang berkaitan dengan pelaksanaan pesta itu. Untuk itu mungkin diperlukan kehadiran mereka·untuk beberapa hari. Pada hari saat berlangsungnya pesta perkawinan disamping mereka yang diajak datang membantu kerja, maka ajak-ajakan pihak wanita juga membawa sejumlah materi tertentu menurut tradisi setempat (beras, kain, buah-buahan, minuman dan lain-lain). Pihak yang mengajak pada saat itu memberikan suguhan yang lengkap me­nurut adat yang berlaku. Dalam hal seperti itu dapat diamati adanya suatu usaha untuk mewujudkan perimbangan antara ke­wajiban yang diberikan dari hak yang diterima oleh pihak yang di­ajak. Pihak yang mengajak umumnya tidak mau kalah dalam hal memenuhi kewajiban mereka, karena hal seperti itu dapat me­nurunkan prestise dalam pandangan masyarakat.
Jika seseorang malas ikut serta dalam kegiatan seperti itu, maka nantinya bila mereka mempunyai kegiatan, akan sukar men­dapatkan bantuan dari pihak lain, karena prinsip resiprositas adalah menjadi landasan kegiatan tersebut.

6. Ngedeng

Kata kerja ngedeng terbentuk dari kata dasar kedeng, artinya tarik. Ngedeng artinya menarik. Dalam konteknya sebagai suatu jenis kegiatan gotong royong, ngedeng berarti menarik bantuan, baik berupa bantuan tenaga maupun berupa bantuan materi.

Ciri khas dari jenis gotong royong ngedeng ini adalah bahwa pihak yang menarik (ngedeng) itu adalah termasuk anggota atau warga dari suatu kelompok tertentu. Dengan demikian maka pihak yang ngedeng harus inklusif ke dalam suatu kelompok. Dalam kegiatan ngedeng ini, tampak adanya dua jenis variasi, yaitu : indi­vidu ngedeng kelompok (seperti ·: ngedeng seka, ngedeng banjar, ngedeng patus); kelompok ngedeng gabungan kelompok (seperti banjar ngedeng desa).

Ide dari kegiatan gotong royong ngedeng ini adalah menyerupai kegiatan arisan, hanya mengenai hak dan kewajiban dari para pesertanya diatur secara lebih longgar. Asas kerja sama dan asas resiprositas adalah merupakan dua landasan yang menggerakkan kegiatan itu.

Dalam prakteknya, kegiatan ngedeng umumnya terwujud sebagai suatu kegiatan yang direncanakan dan juga sebagai suatu kegiatan spontanitas. Dalam kehidupan masyarakat setiap individu dapat mempunyai lebih dari satu jenis kekedengan (kekedengan artinya bantuan), tergantung dari banyak tidaknya seseorang itu menjadi anggota dari kelompok-kelompok sosial.

Kegiatan ngedeng dapat berlaku dalam berbagai bidang kehidupan, seperti : dalam bidang-bidang pertanian (ngedeng seka memula artinya menarik para anggota dari orgarisasi menanam padi, dalam bidang kemasyarakatan (ngedeng patus artinya me­naikan tenaga ataupun materi dari organisasi patus dalam kegiatan ngaben) dalam kesenian ngedeng seka gong artinya menarik organisasi penabuh gambelan gong); dalam bidang teknologi dan perlengkapan hidup (ngedeng seka dalam mengatapi rumah artinya menarik para anggota organisasi mengatap untuk membantu mengatapi rumah) dan lain sebagainya.

Banyak kegia.tan-kegiatan dalarn kehidupan masyara­kat pedesaan, khususnya dalam kegiatan yang bercorak tradisional kegiatan ngedeng ini masih sering dipraktekkan. Sebagai suatu kegiatan yang lebih bersifat kewajiban bagi pihak yang menarik untuk menyediakan suatu imbalan (umumnya dalam bentuk suguhan-suguhan tertentu). Sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat, maka perubahan juga terjadi dalam hal tata cara nge­deng maupun dalam hal menyediakan jenis suguhan sebagai imbalan.

7. Ngoopin

Kata Ngoopin terbentuk dari kata dasar oop, artinya bantu. Ngoopin artinya membantu atau menolong. Dalam kon­teksnya sebagai suatu jenis kegiatan gorong royong; tolong me­nolong, maka bentuk bantuan atau pertolongan yang diberikan dalam kegiatan ngoopin adalah bantuan dalam hal tenaga kerja.

Kegiatan ini sangat umum dalam kehidupan masyarakat Bali, dalam arti bahwa kegiatan ngoopin dapat berlaku dalam seluruh bidang kehidupan (ekonomi, kemasyarakatan, teknologi, religi). Begitu pula kegiatan ngoopin dapat berlangsung secara spontan (orang datang membantu tanpa diminta) atau secara berencana (orang datang datang membantu setelah diminta bantuannya lebih dahulu).

Kegiatan ngoopin dapat terwujud sebagai kegiatan indi­vidual (beberapa individu tanpa adanya ikatan kedalam organisasi tertentu datang memberikan bantuan tenaga kepada seseorang), atau sebagai kegiatan kelompok (para pembantu terorganisir kedalam suatu kelompok sosial). Kegiatan memberikan bantuan tenaga dalam rangka jenis-jenis gotong royong yang telah disebut­kan di atas, seperti: ngrombo, ngajakang, ngedeng, pada hakekat­nya dalam penggunaan bahasa sehari-hari juga dapat disebutkan ngoopin.

 




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait