Pura Kahyangan Tiga dan Prajapati


Pura atau Palinggih Prajapati

Dalam pada itu di bagian hulu dari setiap setra atau kuburan di Bali ada sebuah bangunan suci yang biasa disebut sebagai Pura Prajapati (terkadang disebut pula Mrajapati) atau Palinggih Prajapati. Palinggih ini adalah prabhāwa dari kehadiran Ida Sang Hyang Widhiwaśa pula.

Prajapati adalah ‘nama’ lain dari Sanghyang Widhi, di mana istilah itu terdiri dari dua kata bahasa kawi, yaitu: ‘praja’ artinya ‘kemanusiaan (manusia)’ dan ‘pati’ artinya ‘inti’ sehingga secara harfiah prajapati disimpulkan sebagai ‘inti manusia’, yaitu ‘atman’ (roh) yang sama dengan/ pecahan Brahman (Sanghyang Widhi). Saat roh masih dalam status Preta yang keluarganya belum menyelenggara upacara ngaben maka roh yang disebut Preta itulah yang distanakan di Pura Prajapati.

Pura Prajapati sebagai bagian dari pura kahyangan tiga, disebutkan dalam Babad Bali dibangun pada hulun setra, berbentuk Padma, dan sebuah bentuk Bebaturan Linggih Sedahan Setra.

Selain pemujaan kepada Dewi Durga, Pura Prajapati / Pura Jenggala disebutkan juga sebagai stana Hyang Panca Maha Bhuta yang membentuk unsur-unsur alam semesta kita ini.

Merajapati terdiri dari dua kata bahasa Kawi (jawa kuno) di mana ‘meraja’ artinya ‘menjadi penguasa’ sedangkan ‘pati’ seperti penjelasan di atas artinya Jiva / roh. Jadi ‘meraja pati’ artinya ‘penguasa roh’. Menurut tradisi beragama Hindu di Bali atau Hindu-Bali, maka roh si mati yang jasadnya dikuburkan, dipercaya masih dikuasai oleh Sanghyang Widhi dalam ‘prabhawa-Nya’ sebagai Bhatara Merajapati.

Berdasarkan paparan Yama Purana Tattwa, dikisahkan bahwa roh yang masih berstatus sebagai preta (roh yang belum disucikan) harus di-sthāna-kan di setra dengan Pura Prajapati sebagai hulunya. Hal ini untuk menghindari, jangan sampai roh tersebut menjadi atma diya diyu atau roh yang mengganggu kehidupan di alam yang nyata.

Sementara itu Pura Prajapati sebagai bagian dari Pura Kahyangan Tiga itu sendiri dibangun di ulu setra dalam bentuk padma capah dan babaturan sthāna yang disebut sadahan setra. Pura Prajapati ini merupakan tempat pemujaan Dewi Durgā, sekaligus sebagai sthāna Sang Hyang Panca Maha Bhuta, dalam wujud Bhuta Sweta, Bhuta Rakta, Bhuta Jenar, Bhuta Ireng, Bhuta Mancawarna, Bhuta Ulu Singha, Bhuta Ulu Gajah, Bhuta Brahma, Bhuta Yaksa, Bhuta Siwa Geni, Bhuta Udug Basur, yang merupakan unsur-unsur pembentuk alam semesta itu sendiri.

Atas dasar itu maka dapat dikatakan bahwa Pura Prajapati itu merupakan sthāna dewa yang berwenang untuk mengurus kematian manusia. Itu sebabnya muncul kesan bahwa Pura Prajapati ini merupakan pura yang angker.

Namun demikian Pura Prajapati ini mempunyai dua fungsi, yaitu:

  1. Tempat pemujaan Dewa Brahmā Prajapati sebagai pencipta (utpatti) semesta alam, yang dilakukan pada saat piodalan dari Pura Prajapati itu sendiri. Hal ini tampak dalam bunyi mantra yang diucapkan saat piodalan itu
  2. Tempat pemujaan Dewi Durgā. Hal ini tampak pada saat upacaya ngaben yang diselenggarakan. Mantera yang diucapkan ditujukan kepada Dewi Durgā.

Adapun hubungan erat antara Dewa Brahmā dan Dewi Durgā ini terekam jelas dalam kisah turunnya Dewi Uma, yang terkena kutuk Dewa Śiwa menjadi Dewi Durgā, yang lalu ber-sthāna di setra itu. Pada saat itu Dewi Durgā merasa kelaparan yang teramat sangat, karena tidak ada yang dapat disantap. Dewi Durgā lalu memohon santapan kepada Dewa Brahmā. Sang Dewa lalu mengizinkan Sang Dewi untuk menjadikan manusia yang hidup secara adharma sebagai santapannya. Dewa Brahmā juga menganugerahi Dewi Durgā kekuatan gaib berupa pelbagai jenis penyakit guna menghancurkan orang-orang yang adharma itu, di samping sebagai sarana pelebur badan manusia, yang telah saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

 

 


Sumber

Pura kahyangan Tiga
Prof. Drs. I Gusti Gde Ardana

Dan
Kahyangan Ida Sang Hyang Widhi
WasaKoerniatmanto Soetoprawiro



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga