Panca Durga

Pañca Durgā – Lima Kekuatan (Śakti) Dewi Durgā


Pañca Durgā adalah konsep penting dalam kepercayaan Hindu Bali, khususnya dalam tradisi Śaiva-Tantra, yang merujuk pada lima manifestasi atau kekuatan (Śakti) dari Dewi Durgā. Kelima kekuatan ini diyakini menguasai lima penjuru mata angin di dunia niskala (tidak tampak) dan berperan penting dalam menjaga keseimbangan alam semesta dengan mengendalikan berbagai jenis energi negatif atau makhluk halus.

Secara teharfiah, Pañca berarti “lima” dan Durgā merujuk pada Dewi Śakti (kekuatan) dari Dewa Śiwa. Konsep Pañca Durgā ditemukan dalam beberapa lontar di Bali, yang menguraikan fungsi spesifik dari masing-masing Śakti. Kelima aspek Durgā ini terkait erat dengan arah mata angin dan manifestasi dari Bhuta Kāla (kekuatan waktu dan unsur-unsur negatif) yang mereka kendalikan :

Nama Bhatari (Durgā) Manifestasi Kekuatan/Entitas yang Dikendalikan Arah (Penguasaan)
Bhatari Durgā (Sri Bhatari Durgā) Kālikā-kālīku, Yaksa-yaksi, Dengen, Spah, Kubanda. Tengah (Kemahakuasaan)
Bhatari Raji Durgā Pemali, Jin, Jukih, Setan, Bregala-bregali. Timur
Bhatari Suksmi Durgā Sampulung, Pemala-pemali, Karaseta. Selatan
Bhatari Gori Durgā Preta, Sajer, Bhuta Kapiragan. Barat
Bhatari Maya Dewi Durgā Pañca Bhuta, Bhuta Jangitan. Utara

Pañca Durgā tidak dipandang semata-mata sebagai sosok jahat, melainkan sebagai manifestasi Dewi Adi Śakti yang menjalankan tugas untuk mengatur dan mengendalikan energi-energi kosmik yang cenderung merusak atau mengganggu (Bhuta Kāla), agar berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Mereka adalah pemegang senjata (kekuatan) di dunia niskala.

Keterkaitan dengan Upacara Bhūta Yadnya

Konsep Pañca Durgā sangat relevan dalam pelaksanaan Bhūta Yadnya atau upacara persembahan kepada Bhuta Kāla, yang bertujuan untuk menyeimbangkan alam dan menetralisir energi negatif. Dalam upacara ini, persembahan (Caru) ditujukan kepada Pañca Durgā dan Bhuta Kāla yang berada di bawah kekuasaan mereka.

Salah satu upacara yang secara eksplisit menyebut Pañca Durgā adalah Caru Pañca Sata MaDurgā atau Laba Kama Durgā, yang sering dilaksanakan saat Tilem Kapitu (Bulan Mati di bulan ketujuh penanggalan Saka Bali), yang dipercaya sebagai hari paling gelap dalam satu tahun. Upacara ini dimaksudkan untuk memohon keselamatan, membersihkan desa dan lingkungan dari mala (kotoran), serta menenangkan kekuatan-kekuatan Bhuta Kāla.

Dalam Seni dan Mitologi

Dalam tradisi Bali, perwujudan Dewi Durgā sering dikaitkan dengan figur Rāngda (Ratu Nini/Calonarang) dalam Drama Tari Calonarang. Meskipun Rangda sering digambarkan sebagai sosok menyeramkan yang menyebarkan wabah (grubug), ia juga adalah manifestasi suci (Sesuhunan) dari Dewi Durgā yang menjalankan hukuman atau tugas spiritual tertentu. Ketika para Sesuhunan (pelawatan Ida Bhatara berupa Rangda, Barong, dan lainnya) hadir dalam upacara, ini sering disebut sebagai momen di mana Pañca Durgā Sesuhunan Medal Sami (kelima manifestasi Durgā dari tempat suci keluar bersama-sama), menandakan kehadiran kekuatan magis dan pelindung yang luar biasa.

Dengan demikian, Pañca Durgā adalah pilar penting dalam spiritualitas Hindu Bali, mewakili aspek yang tak terpisahkan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam peran-Nya sebagai pelebur dan pengatur kekuatan alam.

Pemujaan Pañca Durgā tidak hanya sebatas ritual menenangkan makhluk halus, tetapi memiliki dasar filosofis yang mendalam :

  • Aspek Dualitas dan Keseimbangan : Pañca Durgā mewakili aspek Pelebur (Pradhana-Purusa Śakti) dari Dewa Śiwa. Kehadiran mereka menegaskan bahwa dalam penciptaan (Utpetti), pemeliharaan (Sthiti), dan peleburan (Pralina) alam semesta, selalu ada dua kutub energi : positif (Dewa) dan negatif (Bhuta Kāla). Pañca Durgā adalah jembatan atau pengontrol yang memastikan kekuatan negatif (Asubha Karma) tetap terkelola, sehingga tidak mengganggu keseimbangan Tri Hita Karana.

  • Penyatuan Śakti : Kelima Durgā adalah manifestasi dari Adi Śakti (Kekuatan Utama), yang tak terpisahkan dari Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam pandangan Tantra Śaiva yang kuat di Bali, Durgā adalah representasi dari Rudra (aspek Śiwa sebagai Pelebur) dan memiliki peran aktif dalam membersihkan jagat raya dari kotoran (mala) dan dosa.

  • Pencerahan dan Pengendalian Diri : Secara personal, konsep Pañca Durgā mengajarkan umat Hindu untuk mengendalikan musuh-musuh dari dalam diri sendiri, yang dalam filsafat Hindu disebut Sad Ripu (enam musuh). Lima manifestasi Durgā di niskala mengajarkan kita untuk waspada terhadap kekuatan yang dapat merusak (destruktif) yang juga hadir dalam diri manusia (misalnya, keserakahan, kemarahan, dan kegelapan batin).

Pemujaan kepada Pañca Durgā terpusat di Pura yang berasosiasi dengan aspek peleburan dan pembersihan, yang secara umum dikenal sebagai Pura Dalem.

  • Pura Dalem : Pura Dalem adalah pura yang secara kosmologis sering terletak di arah Kajang (kuburan) atau wilayah yang berkaitan dengan peleburan. Pura ini adalah tempat berstananya Ida Bhatari Durgā. Dengan berstana di sana, Bhatari Durgā bertugas membersihkan Bhuwana Agung (alam semesta) dari segala kekotoran.

  • Upacara Khusus : Selain Bhuta Yadnya, Pañca Durgā juga dihormati dalam ritual-ritual tertentu seperti Pamelastian (upacara penyucian) dan Guru Piduka (upacara menenangkan kemarahan dewa).

  • Pentingnya Penyucian : Melalui upacara yang melibatkan Pañca Durgā, umat Hindu Bali melakukan penyucian (sudha) secara berkala, baik secara fisik (alam) maupun mental-spiritual (diri), guna mencapai keselarasan hidup.

Secara ringkas, Pañca Durgā adalah representasi dari hukum universal tentang aksi dan reaksi, energi gelap dan terang, yang harus dihormati dan dinetralisir melalui keyakinan, ritual (Yadnya), dan pengendalian diri.

Hubungan antara Pañca Durgā dan Pura Dalem sangat fundamental dalam konsep tata ruang dan kepercayaan Hindu Bali. Pura Dalem adalah tempat berstana (kediaman suci) utama bagi Bhatari Durgā.



Relevansi Panca Durga ini ada di Buku Kanda Pat
Baca Juga