Struktur Pura Masceti
Pura Masceti yang posisinya di pinggir pantai dengan hamparan pantainya yang cukup luas dan ditata sedemikan rupa sesuai kebutuhan zona halaman depannya, sehingga membuat panorama lingkungan alam pisik pura menjadi sangat indah. Berkenaan dengan pembagian halaman (mandala) nya, Pura Masceti dibagi menjadi tiga mandala, yaitu: halaman depan (jaba sisi) sebagai simbol bhur loka; halaman tengah (jaba tengah) sebagai simbol bhwah loka; dan halaman utama (jeroan) sebagai simbol swah loka. Di masing-masing halaman terdapat palinggih-palinggih dan bangunan, baik yang berfungsi sakral maupun profan. Pada bagian berikut akan disajikan penjelasan tentang palinggih-palinggih dan bangunan yang ada di Pura Masceti disertai dengan fungsinya masing-masing, yaitu sebagai berikut.
Bentuk dan Fungsi Palinggih di Utama Mandala (jeroan)
Di Utama Mandala (Jeroan) cukup banyak didapatkan palinggih baik yang berstatus sebagai sthana istadewata, penyawangan, maupun bangunan lainnya yang melengkapi persyaratan jajar kemiri. Palinggih yang tergolong pemujaan pokok di Pura Masceti sesuai dengan yang disebutkan dalam Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul adalah pemujaan untuk Dewi Danu dan Sang Hyang Baruna. Palinggih yang dimaksudkan untuk sthana kedua istadewata tersebut adalah Palinggih Ratu Masceti sebagai perwujudan Bhatara Baruna dan Palinggih Ratu Ulun Suwi sebagai perwujudan Dewi Danu. Kemudian Palinggih Batu Karang dan Tpasana merupakan media pemujaan bagi para petani laut (nelayan) dan para petani sawah, yang merupakan bentuk bangunan sebelum konsep pemujaan di Pura Masceti menggunakan bangunan meru sebagai media komunikasi dengan para istadewata. Dalam pembahasan berikut, disajikan deskripsi dari palinggih-palinggih dan bangunan-bangunan lain yang melengkapinya.
(1) Palinggih Taksu
Di Pura Masceti terdapat dua Palinggih Taksu yang posisinya berjajar kesamping. Keberadaan palinggih taksu kembar tersebut dapat diterima secara logika, dengan alasan merujuk kepada sejarah pendirian Pura Masceti (Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul), yang memang diperuntukan kepada Ida Bhatara Baruna dan Ida Bhatari Danu, sebagai lambang purusa-pradana. Dua palinggih teruntuk beliau berdua yaitu Meru Tumpang Lima dan Meru Tumpang Tujuh, yang sekarang dianggap sebagai sthana Ida Bhatari Ulun Suwi dan Ida Ratu Masceti, niscaya dapat pula dipadankan dengan Ida Bhatari Danu (Meru Tumpang Tiga) dan Sanghyang Baruna (Meru Tumpang Lima). Kemudian untuk taksu yang jumlahnya dua buah berjajar, masing-masing teruntuk pemenuhan jajar kemiri kedua istadewata utama (pokok) yang dimaksud. Fungsi dari Palinggih Taksu adalah sebagai media bagi para panyiwi untuk memohon taksu (daya tarik) agar apa yang dikerjakan agar dapat berhasil guna.
(2) Palinggih Ratu Ngerurah Agung
Bangunan palinggih-nya Ratu Angerurah Agung, tidak dibangun sebagaimana biasanya yaitu sepenuhnya menggunakan batu padas atau batu bata, tetapi pada bagian atasnya menggunakan kayu beratap ijuk. Fungsi dari palinggih adalah sebagai sthana Ratu Angerurah dalam mengemban tugasnya mengawal keamanan Pura Masceti.
3) Palinggih Pasimpangan Gunung Lebah
Gunung Lebah sama dengan Gunung Batur. Palinggih Pasimpangan Gunung Lebah, berfungsi sebagai tempat sthana sementara Ida Bhatara Gunung Lebah. Bilamana ada upacara piodalan di Pura Masceti, Ida Bhatara Gunung Lebah dimohon hadir dan disthanakan di Palinggih Pasimpangan untuk dipersembahkan sesaji (sajen), sehingga tidak harus datang ke Pura Gunung Lebah (Batur). Palinggih-palinggih pasimpangan yang ditujukan ke gunung, seperti: Gunung Agung, Gunung Batur (Lebah), Gunung Batukaru, Gunung Lempuyang dan yang lainnya, sudah umum dibangun untuk melengkapi jajar kemiri pura (tempat suci) yang berstatus Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat, Dang Kahyangan, Merajan Ageng, Pedharmaan, dan lain sebagainya. Keberadaan palinggih penyawangan ke gunung bertolak dari konsep bahwa, gunung diyakini sebagai sumber amerta. Tujuan dari pada umat mengadakan pemujaan di tempat suci adalah untuk memohon amerta (sumber kehidupan).
(4) Palinggih Pasimpangan Gunung Agung
Tidak jauh berbeda dengan penjelasan di atas, bahwa Palinggih Pasimpangan Gunung Agung, mengemban fungsinya sebagai media untuk mempersembahkan sesaji yang ditujukan kepada Ida Bhatara di Gunung Agung, ketika ada upacara piodalan di Pura Masceti. Sehingga tidak perlu lagi datang ke Gunung Agung, dan sebaliknya Beliau dimohonkan hadir dan disthanakan di Palinggih Pasimpangan untuk dipersembahkan sesaji.
(5) Meru Tumpang Lima, dan (6) Meru Tumpang Tiga
Palinggih yang tergolong pemujaan pokok di Pura Masceti sesuai dengan yang disebutkan dalam Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul adalah pemujaan untuk Dewi Danu dan Sang Hyang Baruna. Kenyataannya di Pura Masceti, yang ada adalah Meru Tumpang Lima sebagai Palinggih Ida Bhatara Masceti dan Palinggih Meru Tumpang Tiga, Palinggih Ida Ratu Ulun Suwi. Bilamana demikian halnya bahwa, yang dimaksudkan Palinggih untuk Ida Bhatara Baruna adalah Meru Tumpang Lima, yang saat ini adalah berfungsi sebagai Palinggih Ida Bhatara Masceti. Dan untuk Ida Bhatari Danu adalah Palinggih Meru Tumpang Tiga, yang saat ini disebut sebagai Palinggih Ida Bhatara Ulun Suwi. Jelaslah bahwa yang bersthana di Pura Masceti adalah perwujudan Sang Hyang Purusa dan Pradana. Ida Bhatara Masceti sebagai perwujudan Purusa dan Ida Bhatari Ulun Suwi sebagai perwujudan Pradana.
Selaku Sang Hyang Purusa, dengan jelas disebutkan dalam Raja Purana Ida I Gusti Agung Maruti, pada bagian yang mengisahkan tentang pawisik Ida Bhatara Masceti kepada Bendesa Kedeh, yakni sebagai berikut:
“… Ih, kita Bendesa, hana pawarahinghulun I Gusti Agung akiwi saloring Masceti, tegeg genahnia, wastu sira sampurna katekeng bala mantrinnia. Ulun kang prasama angraksa rajyanira….”,
artinya:
“… Ih, nanak Bendesa, ada pawisik Bapa kepadamu. Kasi tahu anak Bapa I Gusti Agung, supaya tinggal di sebelah utara Pura Masceti, pasti tegar tinggal di sana, semoga sempurna bersama para patih dan rakyat yang menyertainya. Bapa membantu, mengawasi wilayah tempat tinggalmu….”
Ungkapan kata Bapa di sini, tiada lain adalah merujuk kepada simbol lelaki (purusa). Jelaslah bahwa Ida Bhatara Masceti adalah simbol Sang Hyang Purusa. Selain simbol Purusa, Ida Bhatara Masceti juga sebagai simbol prabhawa (cahaya sinar) Ida Sang Hyang Baruna, dan Ida Bhatari Ulun Suwi adalah simbol prabhawa (cahaya sinar) Ida Bhatari Danu, sebagaimana disebutkan dalam Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul.
Dengan demikian, maka fungsi dari Meru Tumpang Lima dan Meru Tumpang Tiga adalah sebagai tempat sthana Ida Bhatara Masceti dan sthana Ida Bhatari Ulun Suwi, yang di dalam Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul disebut sebagai sthana Ida Bhatara Baruna dan Bhatari Danu, dalam kapasitasnya sebagai Dewa dan Dewi pemberi kesuburan dan kesejahteraan.
(7) Palinggih Ida Bhatara Segara
Bangunan palinggih ini berbentuk gedong dikelilingi tembok dengan pintu masuk ke dalam ruangan tempat pratimanya berbentuk candi bentar. Bangunan dibuat dengan batu hitam beratap ijuk sehingga tampak kekar dan berwibawa.
Pratima yang dijadikan wujud manifestasi dari Ida Bhatara Segara adalah benda yang berupa Batu Karang (watu roro). Benda kramat inilah rupanya menjadi embrio pemujaan Hindu tertua di Pura Masceti, sebagai bentuk peralihan dari zaman sebelumnya (pra Hindu), yang dijadikan media oleh para pelaut untuk memohon keselamatan dalam menunaikan pekerjaannya melaut. Ketika Hindu masuk, pratima yang dijadikan simbol pujaannya tersebut tetap dijadikan simbol pemujaan untuk dewa laut, sesuai dengan cara-cara Hindu.
(8) Palinggih Sedahan Segara (kiwa lan tengen)
Di depan palinggih Ida Bhatara Sagara (Baruna) terdapat dua buah palinggih sedahan. Dari posisi yang ditempatinya, kemunginan tugas yang diembannya adalah sebagai penjaga atau pengawal Ida Sang Hyang Segara.
(9) Palinggih Sedahan Ngerurah
Di atas telah dijelaskan tentang keberadaan palinggih taksu dua buah yang posisinya berjajar kesamping. Hal yang sama juga terjadi pada posisi dua buah Ratu Sedahan Ngurah, yang juga dibuat berjajar kesamping. Setelah dikaji dengan seksama, secara logika dapat diterima bahwa kemungkinan dengan adanya Taksu dua buah dan Sedahan Ngurah dua buah yang posisinya berjajar, tampaknya merujuk kepada fungsi Pura Masceti, sesuai dengan yang dijelaskan dalam Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul yaitu sebagai sthana Ida Bhatara Sagara dan Bhatari Danu. Masing-masing dari beliau (Batara Sagara dan Bhatari Danu) yang menjadi pemujaan pokok di Pura Masceti memiliki taksu dan sedahan ngerurah.
(10) Palinggih Dasar
Palinggih Dasar juga disebut Palinggih Saptapatala. Bangunan palinggihnya berbentuk tpas atau mengambil bentuk bagian dasar dari bangunan padmasana, lengkap dengan bedawangnala yang diikat oleh dua ekor naga. Mendengar kata saptapatala, teringat dengan keberadan lapisan bumi yang terdiri atas tujuh lapisan ke bawah, sebagai oposisi dari pada tujuh lapisan dunia ke atas yang dikenal dengan sebutan sapta loka. Seperti diketahui bahwa, saptapatala yang merupakan nama lain dari bumi (Ibu Pertiwi), adalah tempat bersthana dan mepuja dewi bumi (Dewi Ibu). Ibu dalam konsep keyakinan Hindu adalah sebagai lambang kesuburan. Merujuk kepada hal tersebut, maka fungsi yang diemban oleh beliau yang bersthana di Palinggih Dasar adalah mengemban kesuburan. Palinggih Sapatapatala inilah yang juga merupakan palinggih tertua di samping palinggih Batu Karang, yang dijadikan media pemujaan oleh para petani sawah dalam rangka memohon kesuburan hasil pertaniannya. Sebagaimana Palinggih Batu Karang, Palinggih Saptapatala juga merupakan kelanjutan dari bentuk palinggih pemujaan sebelumnya, ketika Hindu belum masuk di Masceti. Begitu masuk pengaruh Hindu, palinggih ini tetap dijadikan media pemujaan oleh para petani sawah, namun bentuk bangunannya berubah disesuaikan dengan bentuk palinggih menurut Hindu.
(11) Patirtaan
Patirtaan bukan sebuah palinggih sebagaimana palinggih-palinggih lainnya. Bangunannya disebut patirtaan, oleh karena ditempat tersebut dijadikan sebagai sumber air untuk kebutuhan di Pura Masceti, terutama tatkala upacara piodalan. Sumber airnya bukan kelebutan, melainkan berupa sumur. Guna amannya, sumber air yang dimaksud dibuatkan gedong tertutup pada tiga sisinya, dan yang satu sisi (arah barat) terbuka.
(12) Palinggih Gedong
Menurut keterangan Pemangku Gede Pura Masceti (wawancara tanggal 16 Oktober 2012, pukul 16.00 Wita, di Pura Masceti), Palinggih Gedong ini difungsikan sebagai sthana Ida Ratu Gede yang berwujud Barong Ket ketika upacara piodalan di Pura Masceti. Ketika upacara piodalan usai dilaksanakan, Ida Bhatara kembali kasineb di Pura Pasimpenan, Banjar Anggar Kasih, Medahan.