Pelaksanaan Upacara dan mantra Piodalan Tumpek Landep


Pelaksanaan Tumpek Landep di era globalisasi membawa keunikan tersendiri. Masyarakat Hindu mengupacarai segala jenis reralatan atau teknologi yang mendukung aktivitas keseharian. Hari Raya Tumpek Landep tersebut dirayakan setiap saniscara (sabtu) kliwon wuku Landep. Tumpek landep termasuk dalam upacara yang berdasarkan pawukon (wuku) sehingga peringatannya jatuh setiap enam bulan sekali menurut kalender Bali (210 hari).

Kata Tumpek berasal dari dua kata yaitu suku kata “tu (metu)” yang berarti lahir dan “pek” yang berarti putus atau berakhir. Pengertian ini didasari karena hari Tumpek bertetapan dengan pertemuan dari berakhirnya dua buah wewaran yaitu antara Saptawara dengan Pancawara. Hari sabtu/ saniscara merupakan hari terakhir dari Saptawara dan Kliwon merupakan hari kelima atau terakhir dalam Pancawara dan Wuku yang mengikutinya juga berakhir pada hari Sabtu”.

Pengertian Tumpek di atas akan diperjelas di dalam Lontar Sundarigama sebagai berikut:

……. Saniscara Kliwon ngaraning Tumpek, ya wekasing tuduh ikang sarwa janma, away lali sira ngastiti Sang Hyang Parama Wisesa, apa sira tan hana doh tan aparek lawan sira, tan parok tan pasha, apan sira amet pinet, kala sane katemurun kerta nugraha, nira Sang Hyang ring madiapada loka, pangacinia kayeng pralagi, risedenging ratri tan wenang anambut gawe, balik manapuha sira acita nirmala, umengeta ring sasananing Sang Hyang Dharma, nwang kawiadnyane sastra kabeh , telas samangkana, away sira tan wruhin tattwa yeki tan metuhu, nwang alpa ring mami, tan manemuhaken rahayu, saparaning lakunta, apan nian mangkana wang tan pakerti tan payasa, tan pakerama ngarania, sama lawan sato, binania amangan segeha, yan sang wiku tan manut dudu sira wiku, ranakira Sang Hyang Dharma, kalinganika.

Terjemahannya:
…… Saniscara (sabtu) Kliwon disebut hari raya Tumpek itu yang patut diajarkan kepada umat manusia, supaya tidak lalai memuja Sang Hyang Paramawisesa atau Hyang Widhi Wasa, oleh karena beliau berada tidak jauh dan tidak dekat dengan kita, tidak bersatu dan tidak berpisah, sebab beliau mengambil dan memberikan, ketika Beliau turun memberikan anugrah kebahagiaan dan keselamatan kepada siapa saja yang mengharapkan dan berada di dunia yang nyata ini, upacaranya sama seperti yang sudah-sudah, saat malam hari tidak dibenarkan untuk melakukan suatu pekerjaan (patut istirahat), sebaliknya dipergunakan untuk membersihkan pikiran, mengingatkan pada tugas Sang Hyang Dharma, dan memperdalam pengetahuan tentang aksara-aksara, demikianlah. Janganlah hendaknya sampai tidak tahu tentang tattwa-tattwa sebab itu bisa mengakibatkan hidup tidak berarti, apalagi berani menentang, tidak akan menemukan keselamatan segala apa yang sudah kita perbuat, kemudian menjadikan orang yang tidak berbudi dan berarti, tidak tahu tata krama dikatakan sama dengan binatang, bedanya tidak makan segehan, bila hal ini terjadi pada Sang Wiku atau Pendeta maka Beliau disebut sebagai Wiku putranya Sang Hyang Dharma, demikianlah dinyatakan.

Sementara itu, kata Landep memiliki arti: (1) tajam, runcing; (2) nama wuku yang kedua. Pada Tumpek Landep masyarakat Hindu akan melakukan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pasupati sebagai penguasa senjata atau peralatan besi. Dalam Lontar Sundarigama dinyatakan sebagai berikut:

…kunang ring wara Landep Saniscara Kliwon, puja walin Bhatara Sambada mwang payoganira Sang Hyang Paupati, pujawalinira Bhatara Siwa… 

Terjemahannya: …
Adapun
pada hari Sabtu Kliwon wuku Landep, merupakan pujawali Bhatara Siwa Sambada dan juga sebagain payogan Beliau Sang Hyang Pasupati serta pujawali Bhatara Siwa….

Tumpek Landep telah dilaksanakan sejak zaman dahulu secara turun-temurun. Manik Mas (1996: 17-19) menyatakan “pelaksanaan upacara Tumpek Landep ada kaitannya dengan proses perjalanan Rsi Markandeya dari Jawa ke Bali. Sekitar abad IX, Rsi Markandeya yang sebelumnya bertapa di kaki Gunung Rawung Jawa Timur, pergi ke Bali bersama delapan ribu pengikutnya merabas hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Rombongan tersebut tiba di Desa Sarwada (yang sekarang disebut Desa Taro Gianyar) dan mereka memulai pekerjaan merambah hutan. Usaha mereka gagal karena banyak pengikutnya meninggal diserang wabah penyakit dan binatang buas sehingga dari kegagalan tersebut Rsi Markandeya bertolak kembali ke Jawa Timur untuk melakukan pertapaan di kaki Gunung Rawung guna meminta petunjuk. Beliau mendapatkan petunjuk supaya sebelum melakukan pekerjaan merabas hutan hendaknya di dahului dengan melakukan korban Bhuta Yadnya, menanam lima jenis logam yang disebut dengan Panca Datu. Petunjuk itupun dilakukan dan beliau melakukan penanaman Panca Datu di kaki Gunung Agung yang merupakan cikal bakal terwujudnya Pura Besakih sekarang ini. Dengan upacara tersebut maka perabasan hutanpun menjadi lancar. Karena desa tempat merabas hutan penuh dengan kayu- kayuan besar maka desa tersebut diberi nama Desa Taro”.

Tradisi penanaman lima jenis logam dalam upacara Bhuta Yajna, karena diyakini logam memiliki kekuatan khusus untuk menetralisir kekuatan- kekuatan dari roh- roh jahat yang mengganggu. Disisi lain dinyatakan bahwa kepercayaan akan kekuatan logam telah ada kurang lebih sejak 2000- 3000 tahun yang lalu jauh sebelum era Markandeya. Hal ini di buktikan dari ditemukannya peninggalan dalam situs Gilimanuk berupa benda-benda dari logam yang dipakai sebagai perhiasan dan senjata.

Kepercayaan terhadap logam diwarisi secara turun-temurun dan khusus untuk Warga Pande yaitu warga yang memiliki keahlian dalam bidang senjata dan sangat dihormati oleh Raja-raja di jaman dahulu dan mendapat tempat dimasyarakat.

Dari Warga Pande inilah secara turun-temurun melaksanakan upacara Tumpek Landep untuk menghormati senjata-senjatanya khususnya yang dibuat oleh logam.

Pada Hari Raya Tumpek Landep yang di puja adalah Dewa Siwa sebagai Sang Hyang Pasupati. Pasu artinya hewan dan Pati artinya Raja. Maksudnya pada hari ini manusia diingatkan agar menguasai sifat-sifat kebinatangannya. Apabila sifat- sifat tersebut dapat dikuasai maka manusia tidak akan sembarangan menggunakan senjata. Alat-alat yang serba tajam tersebut jika disalahgunakan akan terjadi suatu malapetaka, seperti halnya pisau dipakai memotong sayur untuk kebutuhan makan sangatlah baik namun kalau pisau yang tajam itu dipergunakan untuk menusuk orang maka sangatlah berbahaya, demikian pula halnya dengan senjata-senjata lainnya.

Lontar Sundarigama menyebutkan

Tumpek Landep pinaka landepin idep

Artinya
Tumpek Landep adalah sebagai media untuk mempertajam pikiran.

Melalui Hari Raya Tumpek Landep itulah kita diingatkan untuk mempertajam pikiran kita agar berbagai persoalan hidup dapat diatasi dengan tepat, baik dan benar.

Perkembangan jaman demikian pesatnya sekarang upacara Tumpek Landep ini tidak hanya dilakukan oleh Warga Pande saja melainkan oleh seluruh umat Hindu Bali, tentu dalam hal ini ada suatu makna yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran masyarakat. Hal- hal yang mereka anggap bernilai dalam hidup sebagai pedoman bagi kelangsungan hidup manusia, sehingga tetap eksis di tengah-tengah kehidupan masyarakat hingga saat ini. Meskipun kurang dipahami segi fungsi dan makna tradisi tersebut.

Upacara Tumpek Landep yang kenyataannya kurang dipahami fungsi dan maknanya di masyarakat. Secara tradisi Tumpek Landep sering dikatakan sebagai upacara ngotonin senjata- senjata yang tajam terbuat dari logam seperti keris.

Kemudian berkembang menjadi upacara ngotonin benda-benda yang mengandung unsur besi seperti motor, televisi, mobil, kulkas dan sebagainya. Harapan dilakukan pada upacara ini agar benda- benda tersebut dapat digunakan dengan baik.

Tumpek Landep mengajarkan kepada umat manusia agar senantiasa merawat dan memelihara segala perlengkapan dan sarana yang menunjang kehidupan manusia, agar mampu menghadapi perkembangan modernisasi yang serba cepat, tepat dan akurat. Menangani setiap denyut kehidupan lahir maupun batin hendaknya harus kembali kepada kesadaran diri kita sendiri jangan setengah-setengah, harus disadari bahwa Tumpek Landep adalah hari raya untuk meningkatkan agar umat selalu hidup dengan daya nalar yang tajam dalam menyelenggarakan hidup ini, seperti menetapkan segala prioritas perjalanan hidup yang akan dilakukan selanjutnya.

Salah satu yang diharapkan dalam merayakan Tumpek Landep adalah perjalanan dalam kegiatan hidup ini harus direncanakan dengan pemikiran yang tajam atau landepin idep.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga