Tatacara Pelaksanaan Upacara dalam Lontar Sundarigama


Isi dari lontar ini adalah tatacara pelaksanaan upacara agama, yang merupakan sabda bhatara guru (Siwa) kepada para pendeta yang menjadi penasehat raja. Karenanya Sundarigama dipandang sebagai tradisi suci yang patut diwariskan secara turun-temurun dan patut disampaikan kepada setiap umat dan krama bali, agar wilayah tempat dilaksanakan upacara menjadi tentram dan kehidupan warga/rakyat pun menjadi sejahtera.
Lontar Sundarigama, merupakan lontar rujukan utama dalam kegiatan ritual di Bali. Kata Sundarigama berasal dari urat kata:

  • Sunar = cahaya terang, sesuluh,
  • ri = siddi atau kesempurnaan, kemampuan luar biasa, kekuatan supranatural
  • sundari = mata air, gadis cantik, pemandangan,
  • gama = agama, pegangan hidup

sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Lontar Sundarigama merupakan Kitab Agama yang memberikan cahaya (jalan terang), sesuluh, tuntunan pelaksanaan upacara/ritual agama untuk mencapai kemampuan, kekuatan dan kesempurnaan hidup yang umumnya dijalankan oleh umat di Bali yang menganut ajaran siwa-budha (gamabali).
Lontar Sundarigama mengatur tatacara upacara suci dan dibenarkan dalam melaksanakan ajaran agama sebagaimana disabdakan oleh bhatara Guru dan patut dilakukan oleh masyarakat. Upacara-upacara tersebut tidak dilaksanakan dan diindahkan terutama oleh Wiku, maka taksunya dikatakan akan sirna.

Terjemahan Lontar Sundarigama

Om Awignam Astu Nama Sidhyam

1. Inilah çundarigama namanya, yang merupakan tatacara yang dibenarkan dalam melaksanakan ajaran Agama, dari sabda Sang Hyang Suksma Licin ( Hyang Widhi nan niskala dan Maha suci ), kepada para Rsi semuanya, sebagai pelaksana tatacara keagamaan diwilayah suatu Negara, dan yang patut dilaksanakan oleh masyarakat sewilayah bersangkutan semuanya, dengan tujuan agar tentramlah negara dan pemerintahan, demikian pula sejahteralah rakyatnya, sebab tata cara yang demikian itu, adalah suci dan sangatlah utama.

2. Maka berkenanlah para Dewata semuanya, menerima puja persembahan suci itu, dan Brahma, Wisnu dan Içwara, karena telah dipuja oleh para para Resing langit. Lalu Sang Hyang Çiwa Budha berkenan merestui, betapa sabda Nya, adalah demikian.

3. Wahai anakku para purohita semuanya, Çiwa dan Budha, dengarlah nasehatku ini olehmu anakku, bahwa dalam ajaran Agama Çundarigama yang merupakan tuntunan pelaksanaan pensucian isi dari Wariga Gemet, sebagai kehidupan dunia, wujud dalam memuja Sang Hyang Widhi, dan menjadi perantara bagi manusia untuk menyelamatkan dirinya, yang menjadi jalan/tuntunan dalam memohon Rahmat Hyang Widhi yang Maha Kuasa : Çundarigama ini diturunkan didunia dan diberikan kepada manusia, untuk mana menyebabkan manusia dapat menikmati kebahagiaan keutamaan, yaitu keselamatan yang terus menerus di alam tiga ini (bhur, bwah, swah ).

Itulah keutamaan yang amat mulia, bagi manusia, dan itulah yang menyebabkan langgengnya kesucian bagi negara dan rajanya. Mening, yaitu murnilah kebahagiaan para Purohita semuanya, dan makmurlah rakyatnya, gairah pula para pelajar-pelajarnya ; betapakah misalnya adalah sebagai beikut :

4. Pada saat hari yang baik, yakni hari yang disebut sasucen Hyang, yang diikuti oleh para Dewata semuanya, para Gandarwa-gandarwi, Widyadara-widyadari, Resinglangit, dan diikuti pula oleh Hyang pitara yang telah disucikan, sehingga dapat mencapai alam Sorga, demikian pula para pitara yang masih dalam alam pitara loka kesemuanya itu ikut serta memanfaatkan waktu bersucian, beryoga semadi untuk keselamatan dunia, karenanya bersenanglah beliau, bersemayam didunia dan akasa. Maka menjadi sucilah dunia ini, seakan-akan melimpahkan ketentraman, baik terhadap manusia semuanya, maupun terhadap segala mahluk yang ditakdirkan didunia. Demikianlah maka manusiapun patutlah ikut serta melaksanakan cinta kasih seperti yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang disuguhkan kepada para Bhatara, demikianlah tata caranya.

5.a. Purnama Sasih Kapat

Beginilah prihalnya menurut perhitungan masa yaitu pada masa sasih kapat (oktober), pada saatnya bulan penuh(Purnama) maka beryogalah Bhatara Paramecwara, Sag Hyang Purusangkara, (setahun untuk Hyang Widhi sebagai Mahadewa dan Maha Purusa), manunggal dengan Bhatari(mewujudkan wisesa Nya), diikuti oleh golongan Dewa semuanya, serta golongan widyadara-widyadari dan Resing langit semuanya sejak dahulu kala. Dalam halnya yang demikian, sepatutnyalah orang-orang suci (Pandita dan pinandita), melakukan puja stuti dengan memakai tanda/busana sebagaimana mestinya, dan bersiap-siap melakukan puja bakti kehadapan Sang Hyang Candra. Demikian pula kepada Hyang Kawitan mengaturkan bebanten serba suci.

Adapun yang dihaturkan kehadapan Hyang Ratih, (sebutan terhadap Hyang Widhi sebagai Soma), ialah : Penek kuning, prayascita luwih, pangreresik, serta daging dalam penek itu, ialah ayam putih siyungan. Adapun banten yang di Sor (bawah), ialah :

  • Segehan agung 1 soroh.
  • Lain daripada itu, orang-orang (umat bersangkutan), hendaknya melakukan bhakti dengan muspa dihadapan Sanggar dan Perhyangan, demikian juga pada Pelinggih-pelinggih di pedarman, yang menjadi penyungsungnya. Akhirnya pada malam hari itu usahakanlah melakukan renungan suci, dengan dyana dan samadi.

5.b. Tilem Sasih Kapat
selanjutnya pada saat datangnya hari Tilem sasih Kapat, patut melakukan upacara pemusnah kecemaran-kecemaran diri, yang disebut “Pamugpug raga roga”, dengan jalan menghaturkan banten wangi di Sanggar Parhyangan, sedangkan yang patut dihaturkan diatas tempat tidur, ialah sesuatu yang dapat mewujudkan ketenangan hati.

Antara lain; bebanten sesayut Widyadari, yang umum disebut bebanten Dedari, sebanyak satu soroh, untuk memuja Hyang Widyadara-widyadari.

Adapun tujuan menghaturkan bebanten itu, ialah memohon ketenangan pikiran, didalam melakukan tugas hidup sehari-hari, khususnya bagi kaum wanita, disebut kepatibratan. Karena itulah, maka pada tengah malamnya disarankan untuk melakukan “Monabrata” yakni memusatkan segenap pikiran untuk sesaat dan mengarahkan kepada Sang Hyang Widhi. Jika hal itu tepat dapat dilakukan, maka pahalanya akan dapat mensucikan kecemaran diri, yang disebut : “Lukat papa pataka letuhing sarira”

6. Bulan mati pada bulan Maret
Tersebutlah pada saat datangnya casih Kasanga (Maret), yang disebut “Centramasa”, terutama pada bulan mati (tilem), adalah hari untuk bersucinya para Dewa semua, bertempat dilautan, guna menikmati inti hakekat air suci kehidupan abadi (yang bertempat di lautan). Karena itu seyognyalah orang-orang (umat bersangkutan) semua menghaturkan puja bakti kehadapan raja Dewata, dengan tata cara sebagai berikut :

Pada panglong ping 14 sasih ke Sanga, hendaknya melakukan Bhuta Yadnya, bertempat di perempatan Desa Pakraman (Desa Adat). Adapun tingkatan-tingkatannya, ialah sekecil-kecilnya dengan cara yang disebut Pancasata (ayam 5 ekor); ditingkatan menengah, dengan Pancasanak (dasar caru ayam 5 ekor, ditambah itik bulu sikep sebagai ulu), sedangkan dalam tingkatan utama (besar), ialah tawur Agung (Pancawalikrama), dan seterusnya dengan memakai Yamaraja. Adapun Bhuta Yadnya tersebut dipuja oleh Sang Maha Pandita (Pedanda, Rsi, Empu, dsb).

Untuk karang paumahan dilakukan upacara pasuguh-suguh, yang berbentuk segehan mancawarna, banyaknya sembilan tanding, dengan ikannya ayam brumbun yang diolah, petabuh tuak dan arak. Adapun caru tersebut diupacarakan didengen (dimuka karang perumahan), yang disuguhi, ialah Sang Butha Raja, Sang Butha kala dan Kalabala diberi sesuguh dengan sege nasi sasah 108 tanding berisi jejeron mentah, serta segehan Agung satu tanding. Pada sore harinya sepatutnya tawur itu dilaksanakan semuanya.

Apabila tawur itu selesai diupacarakan barulah dilakukan Pangrupukan, dan itulah suatu jalan upacara yang bertujuan dapat mengembalikan Butha kala serta membatalkan usahanya membuat mara bahaya. Adapun alat yang lain ialah melakukan obor-obor dengan membawa api prapak, sembur meswi, dengan diantar puja mantra penolak mara bahaya, mantra penyengker agung, dengan mengelilingi pekarangan perumahan dan membawa api/obor.

Setelah selesai melakukan obor-obor itu, maka orang-orang (umat) dalam keluarga baik laki-laki maupun perempuan lalu melakukan upacara abyakala ditengah-tengah pekarangan serta natab sesayut pamyak kala, lara malaradan, dan prayascita. Hari esoknya, lakukan sipeng amati geni, dan tidak melakukan pekerjaan jasmani, bahkan berapi-apipun ditiadakan ditempat pekarangan desa pakraman.

Yang penting diperhatikan, ialah bagi mereka yang mendalami ajaran brata-semadi, patut melakukan yoga samadi pada hari itu.

7. Melelastikan / Mensucikan Pratima
Demikian pula hendaknya pada bulan panglong ke 13 sebelum Tilem, hendaknya dilakukan pensucian bagi pratima, yang menjadi lambang dari Sang Hyang Tiga Wisesa, misalnya : di Pura Puseh, Desa dan Dalem.

Lain pada itu, diikut sertakan pula segala arca-arca yang menjadi simbul melambangkan Lingga para Dewa-Dewa, yang diperhyangan. Itulah dikeluarkan semuanya dan disucikan dilautan, serta diiringi oleh orang-orang yang tergabung dalam Desa Adat/Pakraman, semuanya.

Dalam pada itu dilakukanlah “Widhiwidana”, suguhan, dan ditujukan kepada Sang Hyang Baruna, guna memohon anugrah, termusnahnya kesengsaraan dunia, dalam segala bentuk penderitaan, dan kecemaran dunia menjadi musnah, lebur didalam lautan.

Setelah selesai itu semuanya dilakukan, barulah dikembalikan pratima-pratima itu, dan kemudian ditempatkan (kejejerang) di Bale Agung.

Disinilah Pratima-pratima itu diupacarai dan Bhatara-bhatari disuguhi banten datengan, dan banten-banten lainnya. Kemudian setelah selesai, barulah pratima-pratima dikembalikan ke Pelinggih masing-masing.

Apabila hal itu tidak dilakukan demikian dapat menyebabkan kacaunya Desa Pakraman, dimana akan mendapatkan gangguan yang bermacam-macam cara, dan sang Adikala memang berhak memangan orang-orang yang tidak melakukan amal keagamannya masing-masing apa gerangan yang menyebabkan demikian, ialah karena tidak memperhatikan kebenaran/kewajiban menjadi manusia. Itulah yang menyebabkan mereka dianiaya. Apabila hal itu terjadi, niscaya menyusahkan Sang Guru Wisesa, karena hal yang demikian rusaknya kedudukannya sebagai Guru Wisesa.

Adapun kerusakan itu berwujud dalam bentuk mrana yang mengganas dari Bhuta Kala. Suatu alamat terhisapnya darah (kekuatan hidup) manusia seluruhnya, dan pencabutan jiwa manusia oleh para abdi Sang Hyang Adikala. Kalau kita bertanya siapakah yang menyebabkan demikian?

Jawabnya, ialah bahwa Bhatara Wisnu (yang bersifat memelihara), berubah wujud kedewataanya menjadi kala (waktu pemusnah), Bhatara Brahma (yang bersifat mencipta), akan menciptakan Bhucari desa (mahluk berbisa), Teluh Tranjana (Penyebab kesedihan manusia), dan Bhatara Içwara (bersifat menyempurnakan), akan berwujud penyakit yang meraja lela dan mengerikan. Dan hal yang terakhir inilah yang paling membahayakan, karena dapat menyebabkan dunia basmi bila kehendaknya.

Demikianlah halnya, hai para pendeta anakku karenanya janganlah alpa terhadap hal yang demikian, seperti ajaran-ajaran yang kami utarakan. Kalau hal itu dapat dilaksanakan, maka kembalilah keselamatan dunia, termasuk pula keselamatan serba mahluk. Dengan demikian, menjadi sempurna dan sucilah wibawa dunia ini, sejahtera segala yang masih hidup, menjadi suburlah segala tumbuh-tumbuhan, karena penyebab dari penyakit yang meraja lela itu telah dilebur kembali dalam lautan.

8. Sasih Waisaka
Tersebutlah pada sasih waisaka ( kedasa bulan April ), Tanggal ping 15 ( hari purnama Kadasa ), pada waktu itulah hari penghormatan kepada Sang Hyang çuniamrta ( manifestasi Tuhan dalam sifat menghidupkan ), yang bersemayam di kahyangan sakti, serta disucikan sejak dahulu kala. Pada saat itulah disebut purnama Sada ( inti dari purnama-purnama, sasih yang lain ), karenannya patutlah orang-orang memuja leluhurnya, bertempat di Sanggah kemulan. Kalau di Desa Pekraman, ialah bertempat Sad Kahyangan Sakti ( Tri Kahyangan untuk Desa pakraman, dan Dang kahyangan untuk tingkat yang lebih luas.

Adapun upakaranya, ialah tingkat sederhana :
Suci 1, daksina 1, ajuman, dandanan aprangkat 1, ikannya serba suci, canang wangi-wangi, serta reresik, dan perlengkapannya.
Yang dihaturkan ( palaba ) dibawah, ialah :
Segehan Agung 1, segehan sasah 6, tanding, dan ikannnya bawang jahe, dan Sang purohita yang patut menjalankan, dengan puja sebagaimana mestinya. Sedangkan yang patut dilaksanakan oleh Umat pada umumnya ialah :
Upakara /upacara pamrayascita lwih, panyeneng dan teenan.

9. Purnama dan Tilem
Dan ada pula hari sesucen terhadap Sang Hyang Rwabhineda, yakni Sang Hyang surya dan Sang Hyang Ratih, itulah yang jatuh pada hari purnama dan hari tilem. Kalau hari purnama, Sang Hyang Wulanlah yang beryoga, demikian pula kalau hari Tilem Sang Hyang Suryalah yang beryoga.
Demikianlah bagi para Sulinggih dan setiap Umat ( yang beragama Hindu ), patutlah melakukan pensucian diri, dengan menghaturkan wangi-wangi, canang biasa, yang disuguhkan kepada para Dewa. Dan oleh karena perbuatan itu dilakukan dalam ciptaan Tuhan, wajarlah bila dilakukan dengan air suci, serta bunga serba yang harum.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Dapatkan Dalam Versi Cetak
Baca Juga