Tatacara Pelaksanaan Upacara dalam Lontar Sundarigama


Pawukon di Lontar Sundarigama

Uku Sinta 

Lain dari pada yang itu, ada juga menurut Pawukon, yakni pada Uku Sinta :

Coma Ribek
Coma Pon disebut juga Coma Ribek, hari puja wali Sang Hyang Çri Amrta, tempat bersemayamannya adalah di Lumbung, Pulu, adapun upacara memujanya ialah :
Nyahnyah geti-geti, gringsing, raka pisang mas, disertai denga bunga serba harum.
Pada waktu itu, orang-orang tak diperkenankan menumbuk padi, demikian juga menjual beras, karena kalaupun dilakukan, maka dikutuklah oleh Bhatari Çri, sepatutnya orang memuja Sang Hyang Tri pramana ( bayu, sabda, idep ), serta membatinkan inti sari ajaran Agama ; karenanya pada hari itu, tidak diperkenankan tidur pada siang hari.

Sabuh Mas
Pada Hari Anggara Wage, disebutlah sabuh mas, suatu hari yang disucikan untuk memuja Bhatara Mahadewa, dengan jalan melakukan upacara Agama, terhadap harta benda kakayaan, yaitu :
Manik dan segala manikam ; adapun upakara :
Suci, daksina, peras penyeneng, sesayut yang disebut Amrta sari, canang lenga wangi, burat wangi dan reresik.
Tempat melakukan upacara itu, ialah dibalai piyasan ( dan yang semacam itu). Bagi orang-orang , patutlah melakukan pembersihan diri dan janganlah takabur terhadap kesenangan yang bersifat kebendaan belaka, melainkan ratna mutu manikam yang ada dalam diri pun ( jiwa ), perlu dimuliakan. Demikianlah, setelah selesai menyuguhkan kepada Bhatara-Bhatari bebanten sesayut itu, patutlah diayap untuk diri kita.

Pager Wesi
Pada hari Buda Kliwon ( Sinta ), disebutlah Pager Wesi, saat Sang Hyang Pramesti guru ( Çiwa ) dan diikuti oleh Dewata Nawasanga, yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa segala makhluk hidup yang ditakdirkanNya dialam ini semuanya ; karenanya patutlah para sulinggih memuja cipataan Bhatara Prameswara : Upakara nya, ialah :
Daksina, suci 1, peras panyeneng, sesayut, pancalingga, penek ajuman, serta raka-raka, wangi-wangi, dan perlengkapannya, yang dihaturkan (disuguhkan) di Sanggah kemulan. Adapun bebanten bagi orang-orang ialah :
Sesayut pageh hurip 1, serta prayascita, setelah tengah malam, dilakukan yoga samadi (renungan suci). Dan ada pula sesuguh kepada Panca mahabuta (lima unsur alam) yaitu :
Segehan berwarna, sesuai dengan neptu kelima arah, dan diselenggarakan di natar sanggah, dan disertai dengan segehan agung 1, (sebuah).

Tumpek Landep
Juga pada wara Landep, yaitu hari Caniscara Kliwon, adalah puja wali Bhatara Çiwa, dan hari saat beryoganya Sang Hyang Pasupati Adapun untuk pujawali Bhatara Çiwa, ialah :
Tumpeng putih kuning satu pasang, ikannya ayam sebulu, grih terasi merah, pinang dan sirih, dan banten itu dihaturkan di Sanggah.
Adapun yoganya Sang Hyang Pasupati (Hyang Widhi dalam wujud Raja Alam semesta), ialah :
Sesayut jayeng perang, sesayut kusumayudha, suci, daksina peras, canang wangi-wangi, untuk memuja bertuahnya persenjataan.
Demikian juga menurut ajaran, dalam hubungannya dengan manusia ialah hal itu untuk menjadikan tajamnya pikiran ; karena hal yang demikian patut dilaksanakan dengan puja mantra sakti pasupati.

Wuku Ukir
Wuku Ukir, yakni pada Redite Umanis, adalah hari untuk melakukan pujaan kepada Bhatara Guru, adapun upakara bebantennya, ialah :
Pengambean, 1, sedah ingapon 25 ( sirih dikapuri ), kwangen 8 buah, bebanten mana semuanya itu dihaturkan si sanggar kemulan, namun dapat juga ditambahkan dengan pelaksanaan upakara sedemikian rupa menurut kemampuan ; demikianlah patutnya orang, dalam memuja Bhatara Guru, yang dipuja di sanggar kemulan.

 

Kulantir
Uku Kulantir, yakni pada Anggara Keliwon adalah hari unuk memuja Bhatara mahadewa ; dengan Upakara serba berwarna kuning yakni :
Punjung kuning satu pangkon, ikannya ayam putih siungan di betutu, sedah woh (sirih dan pinag), yang berisi kapur, dan bebanten-bebanten itu dihaturkan disanggar.

Uku Wariga
Uku wariga, yakni hari Saniscara keliwon, disebutlah hari Panguduh, suatu hari untuk memuja kepada Sang Hyang sangkara, sebab beliaulah yang menyebabkan menjadinya segala tumbuh-tumbuhan termasuk kayu-kayuan. Adapun upakaranya ialah :
Peras, tulung, sesayut, tumpeng bubur dan tumpeng Agung dengan ikan babi, atau itik diguling. Baik pula disertai dengan raka-raka, penyeneng, tetebus, dan sesayut cakragni. Adapun bebanten tersebut diatas, ialah mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam menentramkan hati, serta sejahteranya hubungan lahir bathin.

Warigadian
Pada wuku warigadian, yakni pada hari coma pon, ialah hari untuk penghormatan kepada Bhatara Brahma, dengan mempergunakan bebanten sbb :
Sedah woh selengkapnya, dan menurut kemampuan, banten mana dihaturkan di Paibon, serta menghaturkan bunga harum, sebagai biasanya dilakukan.

Sungsang
Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati wage, disebutlah hari Pararebon. Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari tersebut, ialah untuk melaksanakan prayascita ( pensucian ), para Bhatara-Bhatara semuanya, yang disemayamkan di Prahyangan . Maka pada hari itu, dilakukanlah upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu dilanjutkan dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi orang yang membathinkan inti hakekat samadhi (meditasi), maka seyogyanyalah melaksanakan Yoga (renungan suci), sedangkan bagi para wiku (pedanda, Rsi, Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti, sebab pada hari itu para Bhatara turun kedunia disertai para Dewa pitara, untuk menikmati upacara pesucian, berlangsung sampai pada hari itu galungan. Oleh karena itu orang-ornag hendaknya melaksanakan upacara agama, dengan natab banten sesayut dan banten tutuan, yakni banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin, demikian patut dilaksanakan.

Dungulan

Uku Dungulan, yakni pada hari Redite paing, disebutkan bahwa Sang Hyang Tiga Wisesa turun kedunia, dalam wujud kala, dan disebut Sang Bhuta Galungan, yang ingin memakan san minum didunia ini, oleh karena itu, orang-orang suci, demikian pula para sujana (bijaksana), hendaknya waspada serta mengekang / membatasi dirinya kemudian memusatkan pikirannya kearah kesucian, agar tiada kemasukan oleh sifat-sifat yang membahayakan dari pengaruh-pengaruh Sang Bhuta Galungan, dan hal yang demikian, disebutlah hari penyekeban.

Pada hari coma pon, adalah hari untuk melakukan yoga samadhi, dengan memusatkan pikiran untuk menunggalnya dengan para Bhatara-Bhatara. Itulah sebabnya, mengapa pada hari itu disebut :
Penyajaan oleh dunia ( Hindu ).

Pada hari Anggara Wage, disebutlah hari penampahan, Pada hari itulah waktunya Sang Bhuta Galungan memangan. Oleh karena itu, patutlah dilakukan penyelenggaraan hidangan oleh desa Adat, dengan korban caru kepada Bhuta –Bhuta, bertempat diperempatan Desa adat, adapun korban yang diberikan kepada Bhuta-Bhuta, bentuknya bermacam-macam, yakni dari bentuk yang sederhana, sedang, dan besar. Dan yang patut memuja, ialah para Sulinggih , unuk memohonkan kepada Hyang . Yang dimaksud Sulinggih, yakni : Pedanda Cwa Budha, karena beliaulah yang mempunyai wewenang dalam hal ini. (termasuk juga dalam golongan Sulinggih, yakni Pemangku).
Lain dari pada itu, segala senjata perang, patutlah semuanya itu diupacarai, dengan upacara pensucian oleh para Sulinggih. Tambahan pula bagi orang-orang kebanyakan ( Umat Hindu bersangkutan ), upacara-upacara tsb, bermanfaat untuk mendapat pahala kekuatan utama dalam perjuangan hidup yang patut disuguhkan di masing-masing pekarangan rumah ialah :
Segehan warna, 3. ditaburkan menurut neptu, yakni : putih, 5. hitam, 4. bang, 9. ikannya olahan babi, tetabuhan, disertai segehan Agung, 1. Adapun tempat melakukan caru, ialah di natah pekarangan rumah, di sanggah, dan dimuka pekarangan rumah, yang dihayat pada waktu menjalankan caru itu, ialah Sang Bhuta Galungan. Sedang yang patut dihayapkan oleh anggota keluarga, ialah banten pabyakala, prayascita, dan sesayut, untuk mendapat kesuksesan dalam perjuangan hidup, sekala niskala (lahir-batin).

Disebut Buda keliwon galungan, keterangannya, ialah, bahwa untuk memusatkan pikiran yang suci bersih, disertai dengan menghaturkan upacara persembahan kepada para Dewa-Dewa, di Sanggar parhyangan, tempat tidur, pekarangan, lumbung, dapur, dimuka karang perumahan, tugu, tumbal, pangulun Setra, pangulun Desa, pangulun sawah, hutan munduk, lautan, sampai pada perlengkapan rumah, semuanya itu diadakan persajian, dengan suguhan yang dilakukan di sanggar parhyangan, menurut besar kecilnya sbb :
Tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen (pembersihan ), itulah yang disuguhkan di Sanggar. Adapun banten dibalai-balai, ialah : tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan, sodaan, dan perlengkapannya. Sedangkan ikannya, ilah jejatah babi, serta asap dupa harum. Setelah selesai itu semuanya diupacarakan, maka biarkanlah semalam, banten itu semuanya jejerang, sampai besoknya pagi-pagi.

 

Kuningan
Pada redite wage, disebut pemaridan guru, pada hakekatnya ialah saat kembalinya para Dewata-Dewata semuanya, menuju kahyangan, jelasnya, bahwa para Dewata-Dewata pergi, dengan meninggalkan kesejahteraan panjang umur. Maka upacaranya ialah :
Menghaturkan ketipat banjotan, canang raka-raka, wangi-wangi, serta menikmati tirtha pebersihan.

Pada coma keliwon, disebutlah Pamacekan Agung. Pada sore harinya, patut melakukan segehan Agung dimuka halaman karang perumahan, dan memakai sambleh ayam semalulung yang disuguhkan kepada sang Bhuta Galungan dan para abdinya agar pergi.

Buda paing kuningan ialah hari pemujaan Bhatara Wisnu, maka upacaranya ialah:
Sirih dikapuri, putih, hijau, dan pinang, 26, disertai tumpeng hitam serta runtutannya. Menurut kemampuan, dan dihaturkan kepada Bhatara di paibon, dan disertai pula bunga-bunga harum sebagaimana mestinya.

Pada hari saniscara kliwon kuningan, turunlah lagi para Dewata sekalian, serta sang dewa pitara (leluhur) untuk melakukan pensucian, lalu menikmati upacara bebanten, yakni :
Sege dan selanggi, tebog, serta raka-raka selengkapnya, pebersihan, canang wangi-wangi dan runtutannya, dan menggantungkan sawen tamiang dan gegantungan caniga, sampai pada tempat / kandang segala binatang ternak. Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari, melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada tengah hari, Dewa-Dewa telah kembali ke sorga.

Lain dari pada itu, yang patut dipakai mendoakan manusia :
Sesayut prayascita luwih, yaitu segejenar, ikannya itik putih, panyeneng, tetebus, yang gunanya untuk mohon kesucian pikiran, yang suci bersih, dan tidak putus-putusnya melakukan semadhi, juga diletakkan pasegehan di natar, yakni segehan Agung, 1.

 

Pahang
Pada Hari Buda keliwon, disebut pegatwakan dan penjelasannya adalah, bahwa pada hari itu titik selesainya memusatkan renungan ngekeb pikiran bersemadhi, dalam hubungannya, bahwa sang wiku dan para orang-orang sekalian patut membathinkan renungan suci, mempersatukan ciptannya untuk mendapatkan kesadaran, dari mana asalnya kita pada mulanya, renungn mana disertai dengan upakara serba suci :
Wangi-wangi dan sesayut dirghayusa, dihaturkan kehadapan Hyang widhi Tunggal, upakara mana dilengkapi dengan penyeneng dan tetebus.

Merakih
Sukra Umanis, adalah hari pemujaan Bhatara Rambut Sedana, dan beliau juga disebut Sang Hyang Rambut Kaphala, adapun upacara bebantennya :
Suci, daksina, pras, penek, ajuman, sodha putih kuning, dihaturkan kepada Sang Hyang rambut Sedana, keterangannya, ialah memuja melalui pralingga beliau, yang berujud perak, mas, wang, namun ditujukan kepada Sang Hyang Kamajaya (manifestasi Hyang Widhi yang memberi kenikmatan hidup).

 

Uye
Uku Uye, yakni pada hari Saniscara keliwon, disebut Tumpek Kandang, hari pelaksanaan upacara kepada binatang-binatang, seperti binatang sembelihan / ternak, kalau untuk sapi, kerbau, gajah, dan sebagainya, upacara yang diberikan, adalah sebagai berikut :
Tumpeng, tebasan, paresikan, panyeneng, dan jerimpen.
Kalau unuk bawi :
Tumpeng, penyeneng, canang raka, –
Kalau untuk bawi betina :
Ketipat bekok, belayag bersama dengan segaaon.
Kalau untuk sebangsa burung, ayam, itik, angsa, kwir, perkutut, dan sebangsanya :
Ketipat sesuai dengan bentuknya, kalau untuk burung, ketipat paksi, kalau untuk ayam ; ketipat ayam, disertai dengan panyeneng, tetebus dan bunga-bungaan.
Keterangannya, ialah bahwa upacara itu, seperti mengupacarai manusia, dengan mengambil bentuk utamanya pada binatang, seperti burung, ikan, karena badan itulah umpama binatang, sedangkan jiwanya adalah Sang Hyang Rareangon ( Çiwa ).

 

Wayang
Secara keseluruhan pada hari itu, adalah saat bertemunya Sang Wayang dengan Sang Sinta. Disebutlah bahwa wuku itu cemar, sehingga tidak dibenarkan kalau melakukan pensucian, berhias-hias, demikian juga bersisir, terutama pada hari Sukranya, karena berakibat ternodanya nilai diri.

Pada hari Sukra Wage, dinamai hari kala paksa, ( Ala paksa), yakni waktu karogan namanya. Oleh karena itu orang-orang sewajarnyalah melakukan pembatasan, (secara simbolis), dengan menggoreskan kapur, tepat pada dadanya (tapak dara). Dan mesesuwuk (menempatkan suatu tanda) dengan daun pandan berduri, bertempat dibawah dipan tempat tidur, (juga diruangan pintu). Pada esok paginya, semua sesuwuk pandan tsb, dikumpulkan dan bertempat pada sebuha nyiru ( sidi ), disertai segehan lalu buanglah didengen, yakni dimuka halaman keluar pekarangan. Dalam pada itu, perlu disertai ucapan dalam pembuangannya dengan sesapa yang bermaksud membuang kecemaran-kecemaran.

Menjelang hari Saniscara keliwon, adalah hari pemujaan pada Dewa Iswara, dengan prantara mengupacarai segala kesenian (baik yang bersifat sakral,maupun yang bersifat propan), yaitu : gong, gender, dan segala unen-unen lainnya. Adapaun bebanten untuk itu, ialah :
Suci, pras, ajengan, ikannya itik putih, sedah woh. Canang raka, dan pasucen selengkapnya.
Sedangkan widhiwidhana untuk manusia yang diibaratkan sebagai wayangnya Hyang Suksma, perlu diadakan pangastiti terhadap diri pribadinya, yakni :
Sesayut tumpeng Agung, 1, dan penyeneng.
Sebab badan kita itu, juga ibarat wayang, dan Sang Hyang Iswara ibarat dalang. Adapun pelaksanaannya, itulah ibarat gerak gerik dalam lakonnya. Jadi tidaklah berkenan ia dijadikan pengantar yadnya (apabila) tiada dilakukan pemujaan. Maka janganlah hendaknya orang tidak mau melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Iswara atau Sang Hyang Triwiradnyana (yang menjadi sumber gerak, kata-kata, dan pikiran). Jika dilanggar nerakalah jiwanya.

Watugunung
Saniscara Umanis, adalah hari pujawali Bhatara Saraswati adapun upacaranya :
Suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang cane dan kembang biasa, sesayut saraswati, prangkatan )rantasan) putih kuning, serta raka-raka tidak terkecuali dengan runtutannya, Sang Hyang pustaka (Lontar-lontar keagamaan), tempat menuliskan Aksara, itulah yang patut diatur yang sebaik-baiknya, dipuja, dan diupacarai dengan puspa wangi : inilah yang disebut memuja Sang Hyang Bayu (gerak, kata-kata dan pikiran).
Pada umumnya waktu keadaan yang demikian (dalam memuja dengan bebanten), tidak wajar menulis surat, tak wajar membaca buku-buku weda, dan kidung kekawin, melakukan kewajarannya ialah melakukan yoga.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Dapatkan Dalam Versi Cetak
Baca Juga