Penggunaan Hewan dalam Upacara Bhuta Yadnya (Caru)


 

Penggunaan Ayam Dalam Upacara Agama

Ayam sebagai pelengkap dari upacara yadnya tidak hanya berfungsi sebagai ulam atau daging banten, melainkan juga untuk dipersembahkan kepada Sang Pencipta, sebagaimana disebutkan dalam Lontar Pelelintangan sloka 7:

Sesayut kasuma yudaha atau geni bang kasuma jati, mange ring woong wutu saniscara, nasi bang kinolopakan, raka sip biing mapanggang pinikang dadi lima, winangun urip tempeng kwonan, ring raga, be siap ika, sesaur sambel jahe, magiring tinarasan, tetebus bang apasang sassojan, lis daksina masesari 999”.

Artinya : Sesayut kasuma yudha atau geni bang kasuma jati dipergunakan pada orang yang lahir pada hari sabtu, nasi merah dikelompokkan berisi ayam merah, dipanggang dipotong menjadi lima bagian atau membentuk urip diletakkan pada tumpeng, ikan ayam itu, penyeneng tahanan, benang tetebus merah satu pasang sasrojan lis, daksina mesesari 999.

Dalam konteks ini, pada dasarnya penggunaan binatang sebagai sarana upacara tidak sekedar berdemensikan horosontal atau sekedar untuk korban, melainkan bermaknan transedental vertical, untuk tujuan yang lebih mulia, menyelamatkan kualitas kehidupannnya pada kelahiran kehidupan mendatang.

Bagi masyarakat Hindu di Bali, realitas kehidupan binatang termasuk ayam, merupakan realitas kehidupan ayam hina. Kualitas kehidupan binatang merupakan cerminan dari proses pencitraan mahkluk dengan segala kekuarangnnya, utamanya dalam konteks rohaniah atau spritualitas. Binatang dalam persepektif tradisi Hindu, tidak memiliki kesadaran atas kelahiran kembalin dalam kehidupan mendatang. Ketidak mampuan untuk menghadirkan keinatang untuk memerlukan kesadaran akan kehidupan yang lebih baik membuat binatang memerlukan bantuan manusia untuk merubahnya, Salah satunya adalah melalui penggunaan binatang tersebut sebagai sarana upacara.

Kualitas kehidupan yang rendah melekat pada kehidupan binatang ayam, misalnya sifatnya yang serakah atau rakus, tidak pernah mau mengalah. Kualitas kehidupan yang demikian harus dapat dimaknai oleh manusia, tidak saja untuk kepentingan binatang itu sendiri, melainkan juga sebagai media penyadaran agar tidak terjebak kedalam nafsu kebinatangan. Keterjebakan hanya menjadi simbol dari ketidak manpuan keluar dari pencitraan nafsu kebinatangan. Senada dengan yang terdapat pada bhagawad Gita manusia hendaknya mampu melepaskan jeratan nafsu seperti pada sloka 9 dan 10 sebagai berikut: “

Janma karma cha me divyam, evam yo vettitattvatah, tyaktva deham panurjanma, nai t imam eti so rjuna”.

Artinya: Dia yang mengenal rahasia ini, perbuatan dan kelahiran-Ku yang suci, tidak menjelma lagi setelah menanggalkan jasmaninya, dan datang kepada-Ku.

Vita raga bhaya krodha, manmaya mam upassritah,bahavo jnana tapasa, puta madbhavam agatah”.

Artinya: Terbetas dari hawa nafsu, takut dan benci, Bersatu dan berlindung kepada-Ku, dibersihkan oleh kesucian budhi pertiwi, Banyak yang telah mencapai diri-Ku.

Dalam tradisi Hindu, usaha untuk meningkatkan kehidupan binatang tersebut dapat diperhatikan melalui sebuah ajaran dalam Puja Wenang atau Wnangprani, yang sering kali diucapkan oleh peminpin upacara pada pada akhir ritual, seperti dalam upacara Mepada (Kajeng,dkk, 1978:7) yang berbunyi sebagai berikut:

“Manusah sarvabhutesu varttate vai cubhacubhe, acubeshu samavistam cubhesvevakrayat. Risakwehing sarva bhuta, ikang jadma wwang juga wenang gumaweyaken ikang cubhacubhakarma, kuneng panentasakene ring cubhakarma juga ikangacubha karma phalaning dadi wwang”.

Artinya: Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan jadi manusia saja yang dapat melaksanakan perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk hendaknya dilebur kedalam perbuatan yang baik, demikian gunanya (pahalanya) menjadi manusia.

Penggunaan yang tinggi atas derajat manusia dalam persefektif Hindu adalah kemampuannya untuk menentukan pilihan; antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Itulah sebabnya, manusia dalam setiap bentuk perbuatannya, tidak hanya menolong dirinya sendiri, melainkan juga harus dapat menolong orang atau makhluk lain seperti binatang ayam salah satunya.

Dalam tradisi masyarakat Hindu di Bali, setiap melakukan upacara keagamaan selalu diadakan penyemblihan binatang, baik untuk keperluan daging (ulam) sesajen, juga untuk keperluan pesta atau yang dikenal dengan istilah ebat-ebatan atau olah-olahan. Ebat-ebatan atau olah-olahan tersebut biasanya digunakan sarana banten yang merupakan keinginan hati nurani manusia untuk menyatakan terima kasih, baik kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasinya.

Penggunaan binatang untuk keperluan banten biasanya dilakukan menurut tingkatan upacaranya itu sendiri. Hal ini karena dalam tradisi masyarakat Hindu di bali, kegunaan binatang sebagai sarana yadnya dapat dibagi dua (2) macam yaitu:

  1. Hewan atau benatang untuk sesajen suci atau lazim disebut dengan “Selam”.
  2. Hewan atau binatang untuk sesajen di bawah (ringsor) atau lazim disebut dengan kapir.

Penggunaan binatang pun dalam setiap upacara juga berbeda tergantung tujuan dan maksud upacara tersebut diselenggarakan. Pensifatan binatang menjadi referensi utama bagi penggunaannya dalam upacara keagamaan. Binatang itik misalnya, karena memeliki makna kesucian, seringkali digunakan untuk “Selam”.

Sedangkan binatang yang dipakai ‟ sesajen‟ di bawah (ringsor) misalnya ayam, sapi, kerbau, babi. Ini disebabkan watak dan prilakunya masing-masing, seperti ayam, yang dianggap memiliki watak rakus, tidak bisa hidup rukun dan selalu menang sendiri.

Secara simbolik, watak-watak tersebut harus dihilangkan melalui bentuk-bentuk pengerbanan. Perluasan dimensi simboliknya adalah bahwa manusia bertugas untuk membebaskan sifat binatang tersebut, sekaligus juga agar pencitraan kerendahan binatang tidak ditiru oleh manusia. Keasadaran ini mengandung dimensi vertical transcendental, berkaitan dengan perbuatan watak prilaku manusia.

Jenis Jenis Ayam Dalam Upacara Keagamaan

Dalam upacara caru misalnya, juga dipergunakan lima macam ayam yang disesuaikan dengan arah mata angin. Penggunaannya memiliki makna simbolik, untuk arah Timur, memakai ayam berwarna putih, di Selatan memakai ayam merah, di Barat memakai ayam berwarna kuning (putih siungan), di Utara menggunakan ayam berwarna Hitam (selem) dan di Tengah memakai ayam Brumbun (manca warna). Pengunaan ayam dengan berbagai jenis tersebut dalam Hindu merupakan simbolisasi dari keinginan penganutnya, dan penjabaran dari sumber-sumber sastra yang tertuang dalam kitab suci Weda.

Dalam upacara Ekada Dasa Rudra di Pura Besakih, terdapat puja korban (caru) yang disebut bayang-bayang. Bayang-bayang Caru (kurban bayang-bayang ialah semua binatang atau hewan yang dipergunakan untuk keperluan korban. Pada upacara caru ini banyak binatang disemblih dan kulitnya diletakkan di atas tanah dekat pada sesajen korban. Letaknya menurut arah mata angin misalnya:

  1. Purwa atau Timur, bayang-bayang binatang lembu,angsa, dan ayam putih mulus.
  2. Agneya di Tenggara bayang-bayang binatang Kambing atau Ayam Wangkas.
  3. Daksina atau diselatan, bayang -bayang binatang Harimau,Lembu, Anjing dan Ayam Merah.
  4. Nariti atau di barat laut, bayang-bayang binatang, kerbau, menjangan dan ayam klawu
  5. Pascima atau di barat, bayang-bayang binatang, kuning (buwik)
  6. Wayabya bayang-bayang binatang, gajah, merak dan ayam hijau
  7. Utara bayang-bayang binatang irengan (kera hitam), garuda dan ayam hitam
  8. Ersanya atau ditimur laut bayang-bayang binatang, kuda, kerbau biru ayam putih siungan
  9. Madya atau ditengah bayang-bayang binatang, angsa, itik belang kalung, ayam berumbun buaya biawak,rase musang, landak, klasih, ular dan sebagainya.

Penempatan binatang menurut arah mata angai mengandung makna untuk menyeimbangkan kesemestaan. Pada konteks kosmologis yang berkembang dalam segenap aktifitas hidup keseharian. Arah mata angin menunjukkan adanya perilaku keselarasan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, penggunaan binatang untuk sarana upacara tidak lain sebagai aikhtiar manusia dalam menjaga hubungan dengan kehidupan masa yang akan datang, termasuk penggunaaan jenis ayam.

Penggunaan jenis ayam berkaitan dengan jenis upacara yang diselenggarakan, baik baik dalam upacara Dewa yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya. Dalam upacara Bhuta Yadnya digunakan jenis ayam yang berkaitan dengan makna dan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat berbagai jenis ayam, tetapi dalam tradisi ritual keagamaan Hindu di Bali, hanya dipergunakan ayam kampong, meskipun namanya berjenis-jenis, Misalnya upacara Caru, yang sesuai dengan tingkatannya dan sesuai dengan letak pengindraan Dewa Nawa Sanga. Dalam Lontar Tingkahing Caru disebutkan sebagai berikut: 5a dan 5b sebagai berikut:

Dalam Lontar Tingkahing Caru disebutkan sebagai berikut: 5a dan 5b sebagai berikut:

“Sata berumbun, ditengah genahnya, ingolah ketengan 8, dadi akarang, bayuannya sami 8, katiknya sami 8, katiknya sami 8.Sata putih siungan kauh genahnya, inolah ketengan 7, dadi akarang bayuannya, 7 katiknya sami 7. Sata wiring kelod genahnya, ingolah ketengan 9, dadi akarang, bayuannya 9, dadi akarang katinya sami 9,, Sata putih kangin gnahnya, ingolah ketengan 5 dadi akarang, bayuannya 5, katiknya 5. Sata ireng kaja gnahnya, ingolah ketengan 4 dadiakarang, bayuannya 4 katiknya sami 4”.

Artinya: “ Ayam Brumbun ditengah letaknya, diolah dijadikan ketengan 8, ditaruh menjadi satu tempat, Banten bayuannya semua 8, katiknya 8. Ayam putih Siungan (kuning) di Barat letaknya, diolah dijadikan ketengan 7 menjadi satu tempat, banten bayuannya 7, katiknya semua 7. Ayam Bieng (merah) di Selatan letaknya, diolah menjadi ketengan 9, diletakkan menjadi satu tempat, katinya semua 9. Ayam putih di Timur letaknya, diolah menjadi ketengan , ditempatkan menjadi satu tempat, katiknya semua 5. Ayam Hitam (selem) di utara letaknya, diolah menjadi ketengan 4, ditempatkan menjadi satu tempat, banten bayuannya 4 (Tingkahing Caru, 5a dan 5b).

Seetiap penggunaan ayam dalam upacara keagamaan, misalnya dalam upacara caru Bhuta  yadnya,  khususnya  upacara  caru  yang  tingkatannya  lebih  besar  mempergunakan Sembilan (9) jenis ayam sesuai dengan pengideran urip Dewata Nawa Sanga yaitu:

  1. Arah Timur warnanya putih, Dewanya Iswara, memakai ayam putih, uripnya 5, aksaranya SA dan senjatanya Bajra.
  2. Arah Selatan warnyanya merah, Dewanya Brahma, memakai ayam merah, uripnya 9, aksaranya BA, senjatanya Gada
  3. Arah Barat warnanya kuning, Dewanya Mahadewa, memakai ayam kuning (buwik), uripnya 7, aksaranya TA, senjatanya Nagapasah.
  4. Arah Utara warnanya hitam Dewanya Wisnu, memakai ayam hitam, uripnya 4, aksaranya A, senjatanya Cakra.
  5. Arah Tengah warnanya Manca Warna, Dewanya Siwa, memakai ayam Brumbun, uripnya 8, aksaranya I da YA, senjatanya Padma.
  6. Arah Tenggara warnanya dadu, Dewanya Mahisora, memakai ayam Wangkas, uripnya 8, aksaranya NA, senjatanya Dupa.
  7. Arah Barat Daya warnanya Jingga, Dewanya Rudra, memakai ayam klawu, uripnya 3, aksaranya MA, senjatanya Moksala.
  8. Arah Barat Laut warnanya Hijau, Dewanya Sengkara, memakai ayam hijau gading (wilis), uripnya 1, aksaranya SI, senjatanya angkus.
  9. Arah Timur laut, warnanya putih, Dewanya Sambu, memakai ayam putih siungan, uripnya 6, aksaranya WA dan Senjatanya Tri Sula.

Jenis-jenis ayam yang digunakan dalam upacara keagamaan pada dasarnya merupakan bentuk penghormatan atas ragam perilaku yang berbeda-beda. Setiap jenis ayam tidak ada kecualinya harus diselamatkan kualitas kehidupannya. Dalam konteks ini terlihat betapa ayam tidak digunakan sebagai daging korban, melainkan digunakan sebagai pengganti manusia untuk dijadikan korban. Upacara Panca Sanak dan Panca Sata dipersembahkan kehadapan Panca Kala, perwujudan kroda murtinya Bhatara Pancawarna yang tinggal di lima arah mata angin yaitu: Timur Sang Hyang Iswara, Selatan Sang Hyang Brahma, Barat Sang Hyang Mahadewa, utara Sang Hyang Wisnu dan di Tengah Sang Hyang Siwa.

Penafsiran Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifwstasinya memungkinkan manusia mengekpresikannya dengan menggunakan simbol-simbol ayam dengan jenis yang berbeda-beda. Meskipun memiliki perbedaan jenis, tetapi simbol tersebut mengandung dimensi ontologism sebagai pencitraan dari Yang Kuasa dalam berbagai ragam tetapi substansinya tetap satu, seperti berikut ini:

Fungsi Ayam Sebagai Simbol

Dalam tradisi hindu, simbol dipergunakan dalam ritual keagamaan tidak dapat dimaknai dengan pendekatan rasio belaka, tetapi melalui proses kejiwaan yang lebih tinggi yaitu rasa. Simbol dengan berbagai bentuknya merupakan alat komunikasi manusia untuk mengaabstraksikan pendapat atau pikiran kepada sesamanya, kepada alam dan kekuatan Tuhan lainnyanya ( Gde Yudha Triguna,2000:69).

Fungsi Ayam Sebagai Penyupatan

Istilah penyupatan dalam tradisi Hindu berasal dari kata”Supat” yang artinya bersih (Simpen BA, 1985: 210). Fonem “S” yang mengawali kata supat yang mengalami nasalisasi semacam penyengauan bahasa menjadi „ny‟, Sehingga berbunyi nyupat. Dari kata tersebut, mendapat awalan „pa‟ dan akhiran „an‟ yang menyatakan tindakan berhubungan dengan pembersihan. Anandakasuma (1986:188) mengartikan „penyupatan‟ sebagai dosa yang harus dihilangkan. Dalam pergaulan hidup di dunia, manusia tidak bisa melepaskan diri dari jeratan pengaruh dunia dengan segala kekotorannya, sehingga menyebabkan kehidupannya menjadi terkotori oleh dosa. Demi menghilangkan dosa-dosa tersebut harus dilakukan perbersihan jasmani dan rohani, agar tidak ternodai dan kembali dalam keadaan murni.

Fusngsi Ayam Sebagai Penyucian

Penyucian dalam konteks ini berkaitan dengan adanya kesadaran atas dosa yang dimiliki manusia. Dalam Menawa Dharmasastra mengatakan sebagai berikut: “Adbhirgatrani cuddhanti, manah satyuena cuddhayanti, widyatapobhyam bhutattma,buddhir jnanena cuddhyanti”. Artinya: Tubuh dibersihkan dengan air, oikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dibersihkan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar, ( Pudja dan rai Sudharta, 1976/1977:313). Ayam dalam kaitan ini dipergunakan untuk menyucikan bangunan, mutlak mengngunakan ayam.

Fungsi Ayam Sebagai Pembayaran Hutang

Pencapaian tujuan dalam pembayaran hutang harus dilakukan dilalui dengan berbagai upacara keagamaan yang didalamnya harus menyertakan sarana, yang slah satunya adalah menggunakan dan mengorbankan ayam dalam hal ini sebagai penebus oton yang berdasarkan wuku dan urif saptawara menurut hari kelahirannya seseorang. Dalam hal ini simbolisasi ayam tersebut pada dasarnya mengandung ajaran kefilsafatan yang bersifat perenialis. Sebagaimana dijelaskan di atas ajaran filsafat pereniali8s atau ajaran keabadian dalam banyak hal mencoba mengungkapkan tentang problem-problem yang menyangkut aspek mendasar dan tetap yang muncul dan berkembang dalam sejarah umat manusia. Filsafat keabadian tersebut dapat diperhatikan melalui prinsip-prisip moral yang harus dianut dan dijalankan oleh umat manusia dalam kehidupan sehari-hari.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga