Penggunaan Puja Mantra (Stava, Stuti, Stotra dan Sehe)


Pūjāstava tidak dapat dilepaskan dengan teologi Hindu pada umumnya. Untuk itu penguasaan terhadap mantra-mantra Veda maupun pūjā, stuti, stava, stotra atau sêhê sangat mendukung pemahaman terhadap teologi tersebut.

Pemahaman terhadap teologi Hindu hendaknya juga diikuti dengan upaya untuk menyucikan diri pribadi sebagai sarana untuk merealisasikan pemahaman dan penghayatannya itu. Penyucian yang mantap akan membuka atau memberi landasan yang kokoh dalam usaha menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, Para Dewa dan Leluhur. Usaha tersebut merupakan Yoga, sebab Yoga tidak akan pernah dapat dilaksanakan apabila tidak dilandasai dengan kesuician diri, disiplin melakukan tapa-brata dan meningkatkan pemahaman terhadap ajaran agama.

Dalam mantra-mantra pemujaan di Bali ditemukan cukup banyak mantra-mantra yang ditujukan kepada Para Dewa manifestasi-Nya, demikian pula penggambaran masing-masing Dewa yang akan dimohon hadir dalam suatu upacara sangat penting untuk dipahami. Semuanya akan berhasil bila didukung pula oleh kesucian diri seseorang.

 

Pengertian Pūjā, Stuti, Stava, Stotra dan Sêhê

Kata pūjā berasal dari urat kata pūj yang berarti menghormat, memuja, atau memuji. Kata pūjā berarti menghormati, utamanya Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur. Kata pūjā di atas menjadi kata puja di Indonesia yang artinya tidak jauh berbeda dengan kata asalnya, yakni Bahasa Sanskerta.

Selanjutnya kata stuti atau stava berasal dari urat kata yang sama, yakni stu yang artinya juga sama dengan kata puja dalam Bahasa Indonesia. Di Indonesia terjadi perubahan kata karena kaedah bahasa yang berbeda. Orang Indonesia tidak bisa menyebutkan stava atau stuti (dua konsonan rangkap di depan) maka kata-kata tersebut berubah menjadi astava (astawa), Astuti. 

Sedang kata sthāna menjadi istana dalam Bahasa Indonesia atau astana dalam Bahasa Jawa. Dengan demikian kata pūjā, stuti, stava, termasuk juga kata stotra mengandung arti yang sama yakni pemujaan.

Dalam mempraktikkan pemujaan digunakan berbagai sarana, dan salah satu sarana yang terpenting adalah mantra. Oleh karena itu terbentuklah kata pūjāmantra. Oleh karena mantra disamakan dengan stuti, stava atau stotra maka terbentuk pula kata pūjāstava, pūjāstuti dan pūjāstotra, yakni memuja Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur dengan sarana mantra-mantra yang ditujukan untuk itu.

Selanjutnya adalah kata Sêhê. Kata ini adalah kata Bahasa Bali. Di masa yang silam mantra-mantra dalam Bahasa Sanskerta diterjemahkan ke dalam Bahasa Bali dengan maksud memudahkan pemahaman serta memantapkan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur. Hampir di seluruh daerah termasuk di India juga mantra-mantra berbahasa Sanskerta itu diterjemahkan ke dalam bahasa lokal.

Sêhê di Jawa disebut ujug-ujug merupakan sarana doa untuk mempersembahkan upacara yajña. Dalam pelaksanaan upacara yajña di Bali, umumnya para pandita menggunakan pūjāmantra atau pūjāstava, yakni menggunakan mantra-mantra berbahasa Sanskerta, sedangkan para pamangku menggunakan sêhê dalam Bahasa Bali, yakni doa atau mantra yang bersumber pada lontar Kusumadewa dan Sangkul Putih (Sang Akemul Putih) yang disebut sebagai pegangan (agem-ageman) pamangku.

 

Pengelompokan Puja Istadewata

Īṣṭadevatāpūjā atau Īṣṭadevatā mantra adalah mantra untuk devatā (Dewa) tertentu yang digunakan juga pada upacara tertentu, misalnya pada hari Sarasvatī pūjā, yakni hari untuk memuja Dewi Saraswatī yang jatuh pada hari Sabtu Umanis Watugunung, maka mantra yang digunakan dalam upacara pemujaan kepada-Nya adalah mantra Sarasvatī stava atau Sarasvatipūjā.

Demikian pula pada hari Śivarātri, yakni pemujaan kepada Dewa Śiva yang jatuh pada hari Purwanining Tilem Kapitu, maka mantra yang digunakan pada upacara tersebut adalah Śivastava atau Stuti Bhaṭāra Śiva. Bila pemujaan dilakukan di tepi pantai, maka mantra yang digunakan adalah Varuṇastava dan seterusnya sesuai dengan devatā (Dewa) yang dimohon hadir pada saat itu.

Bila melihat perkembangan Agama Hindu di India maka Dewa-Dewa yang umum dipuja sebagai Īṣṭadevatā, yakni Dewa yang dimohon hadir dapat dikelompokan ke dalam 4 kelompok sesuai dengan paksa atau saṁpradaya yang berkembang di India, yaitu:

  1. Śivastava. yang digunakan untuk memuja Dewa Śiva oleh para penyembah Dewa Śiva yang disebut Śaivapakṣa, Śaivasaṁpradaya atau Śivāgama. Pengikut kelompok ini sangat dominan dan sangat banyak jumlahnya. Pada kelompok ini juga dipuja para Parivara Devatā, yakni keluarga Dewa Śiva, misalnya Dewi Parvatī atau Umā sebagai saktinya. Dewa Gaṇeśa dan Kumāra sebagai putranya dan lain-lain, termasuk pula vahana atau kendaraan-Nya. Dewa Śiva juga dikenal memiliki seribu nama, oleh karena itu terdapat mantra Śiva sahasranāma.
  2. Viṣṇustava. yang digunakan untuk memuja Dewa Viṣṇu oleh para penyembah Dewa Viṣṇu yang disebut Vaiṣṇavapakṣa, Vaiṣṇavasaṁpradaya atau Vaiṣṇavāgama yang jumlahnya  juga hampir sama dengan pengikut Śaivapakṣa. Pada kelompok ini juga memuja para Parivara Devatā, yakni Śrī atau Lakṣmī, para avatara-Nya seperti Rāma, Kṛṣna pengiringnya yang setia seperti Hanumān dan kendaraannya seperti Garuda dan sebagainya. Juga terdapat mantra Viṣṇu sahasranāma.
  3. Devīstava. seperti Durgāstava untuk memuja Dewi Durgā oleh penyembah Dewi Durgā oleh pengikut Śakta atau Śaktī yang juga jumlahnya cukup banyak pengikutnya. Berbagai nama Durgā dipuja untuknya. Juga ditemukan Durgā sahasranāma yang lebih populer dengan Lalitā sahasranāma.
  4. Brahmāstava. digunakan untuk memuja Dewa Brahmā dan penyembah dewa ini sangat terbatas. Bahkan di seluruh India, hanya terdapat satu candi untuk memuja Dewa Brahmā terletak di Negara Bagian Maharasthra.

Dalam buku karya T. Goudriaan dan C. Hooykaas ‘Stuti and Stava’, ditemukan mantra sesuai dengan pengelompkan para Dewa dalam teologi Hindu, yakni Dewa-Dewa Trimūrti di samping Dewa-Dewa pada kitab suci Veda yang masih dipuja sampai saat ini. Mantra-mantra tersebut antara lain ditujuan kepada:

  • Dewa Brahmā atau Agni sebanyak 18 mantra
  • Dewa Viṣṇu sebanyak 17 mantra
  • Dewa Śiva dalam bebeberapa jenis:
    • Īśvara atau Maheśvara sebanyak 8 mantra
    • Maheśvara atau Īśvara sebanyak 38 mantra
    • Pasupati sebanyak 7 mantra
    • Rudra sebanyak 52 mantra
    • Śiva sebanyak 27 mantra
    • Mahādeva sebanyak 10 mantra
  • Gaṇeśa/Gaṇapati sebanyak 5 mantra
  • Dewi Durgā sebanyak 11 mantra
  • Sūrya atau Āditya sebanyak 43 mantra
  • Yama sebanyak 5 mantra
  • Ākāśa sebanyak 27 mantra
  • Bhairava sebanyak 25 mantra
  • Brahmā sebanyak 13 mantra
  • Buddha sebanyak 14 mantra
  • Candra atau Soma sebanyak 12 mantra
  • Devī Śrī/Durgā sebanyak 10 mantra
  • Dhyāna sebanyak 9 mantra
  • Gaṅgā sebanyak 11 mantra
  • Gāyatrī sebanyak 21 mantra
  • Kāla sebanyak 8 mantra
  • Kāma sebanyak 4 mantra
  • Kavaca/Pañjara 9 mantra
  • Kubera sebanyak 5 mantra
  • Liṅga sebanyak 11 mantra
  • Pitṛ atau Pitrastava sebanyak 16 mantra
  • Pṛthivī sebanyak 12 mantra
  • Smara atau Kāma 13 mantra
  • Varuṇa/Sāgara/Samudra sebanyak 9 mantra
  • Vāsuki/Anantabhoga sebanyak 7 mantra
  • Yama-Rāja sebanyak 5 mantra

Berdasarkan jumlah mantra tersebut di atas, di samping mantra-mantra yang lepas atau tidak berkaitan langsung dengan devatā tertentu seperti di atas, menunjukkan bahwa mantra pemujaan kepada Dewa Śiva sangat dominan menonjol melebih mantra-mantra kepada Īṣṭadevatā lainnya.


Oleh

I Wayan Sudarma



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga