Segehan Nasi Wong-Wongan Sebagai Penyomya Bhutakala


Beraneka ragam persembahan yang dapat dipersembahkan kepada Tuhan seperti jenis-jenis nasi sebagai sarana upakara. Adapun jenis-jenis nasi tersebut yaitu: nasi kepelan, nasi sasah, nasi angkeb, nasi kojong, nasi bira, nasi prajnan, nasi isehan, nasi sega dan nasi wong-wongan. Terjadinya wabah yang melanda suatu wailayah membuat umat Hindu di Bali melakukan persembahan berupa nasi wong-wongan. Segehan Nasi wong-wongan yaitu persembahan nasi yang dibuat sebagai sarana upakara dalam bentuk menyerupai manusia kepada bhutakala.

Bentuk Nasi Wong-wongan

Nasi wong-wongan termuat dalam salinan lontar pupulan Indik Caru Lan Tawur. Dalam salinan lontar tersebut dikatakan sebagai berikut.

Malih caruning bilang bucu pekarangan segaa wong-wongan amanca warna anut panca warna pada asiki maaled don telujungan matatakan klakat pada misi dupa asiki sowang-sowang.
Artinya:
Dan lagi upacara mecaru di setiap pojok pekarangan rumah dengan segaa wong-wongan amancawarna sesuai dengan lima warna menurut tempatnya memakai daun atau ujung daun pisang/talujungan dengan wadahnya klakat yang dibuat dari bambu dan diisi dengan dupa setiap segaa wong-wongan satu.

Berdasarkan apa yang tersurat tersebut dalam menghaturkan segehan wong-wongan disesuaikan dengan tempat arah mata angin dan tujuannya seperti menjaga pekarangan rumah sehingga setiap pojok di rumah dipersembahkan segehan. Hal ini juga bila mengadakan upacara yang lebih besar. Seperti segehan bang/barak /merah letakkan di daksina/selatan, segehan ireng/hitam tempatkan di utara, segehan petak/putih tempatkan di timur, di tengah-tengah segehan brumbun. Nasi wong-wongan yang lazim digunakan di masyarakat yaitu berwarna putih sebagai pelengkap upacara caru yang lebih besar.

Ada yang membuat nasi wong-wongan dengan wujud orang diberi warna-warni seperti tangan kanan diberi warna merah, tangan kiri diberi warna kuning, kepala warna putih, kaki warna hitam dan badan warna manca warna. Ada juga orang yang membuat nasi wong-wongan lengkap dengan mata hidung dan lainnya. Hal ini merupakan kearipan local, dimana umatnya kreatif berimajinasi sehingga ada berbagai bentuk nasi wong-wongan.

Berdasarkan pupulan indik caru lan tawur, nasi wong-wongan disebutkan amanca warna. Namun, berdasarkan pengamatan di lapangan menurut sarati/tukang banten nasi wong-wongan berwarna putih dan berwujud manusia, tidak berwarna warni karena segehannya sudah amanca warna.

Selain dalam bentuk orang ada lagi nasi dalam berbagai bentuk seperti yang disebutkan dalam salinan lontar Pupulan Indik Caru Lan Tawur yaitu pada caru karang panes disebutkan sebagai berikut.

Muah bhuta slurik paha ganjaraning sarwa bhucari sedananya sega mawarna mareka jati, mapinda macan ring gneya, mapinda durgadewi ring neriti, mapinda nagaraja ring wayabya, mapinda garudapati ring airsanya, mapinda wong-wongan ring madya, jangkep sowang-sowang ring pasangannya, pada sowang-sowang maaled don talujungan, matatakan klakat sudhamala…

Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa bentuk nasi tersebut tidak hanya dalam bentuk orang tetapi juga ada berbagai bentuk sesuai dengan tujuan tujuan tertentu seperti : nasi bentuk macan, bentuk durgadewi dan bentuk garuda. Dari berbagai bentuk tersebut disesuaikan dengan tempatnya gneya/tenggara nasi dengan bentuk macan, neriti/di barat daya nasi dalam bentuk durgadewi, wayabya/barat laut nasi dalam bentuk nagaraja, airsanya/timur laut nasinya berbentuk garuda dan madya/di tengah nasi berbentuk manusia.

Adapun nasi wong-wongan tersebut dilengkapi dengan bawang, jahe, garam, isinya sama dengan segehan biasa yang dilakukan setiap hari kajeng kliwon. Nasi wong-wongan ini sama dengan segehan yang berfungsi sebagai (1) persembahan, (2) sebagai permohonan dan (3) sebagai penetralisir/somya dari hal-hal yang bersifat negatif.

Adapun bentuk nasi wong-wongan itu sebagai berikut.

Pembuatan Nasi wong-wongan

Adapun sarana dan cara pembuatan nasi wong-wongan itu antara lain :

  1. Nasi. Nasi dibuat dari beras, kemudian direndam sampai berasnya lembut kurang lebih tiga puluh menit, kemudian dimasak/dikukus selama sepuluh sampai dengan lima belas menit. Setelah lima belas menit beras yang setengah matang tersebut diaru, diamkan selama sepuluh menit sampai airnya meresap ke beras yang diaru. Setelah itu panaskan panci pengukus, masukkan aruannya itu dimasak sampai sepuluh menit, inilah nasi yang sudah matang. Nasi sebagai sarana untuk membuat nasi wong-wongan, ada yang membuat nasi wong- wongan putih, ada yang amanca warna.
    Nasi wong-wongan dialasi dengan daun pisang/talujungan/ujung daun pisang. Dalam satu porsi nasi putih berukuran satu mangkok (180 gram), setidaknya mengandung 50 gram karbohidrat. 
  2. Bawang Merah (Allium Cepa. B). Bawang adalah salah satu bumbu dapur yang juga dapat digunakan sebagai sarana dalam membuat sesajen. Bawang juga sering digunakan untuk obat tradisional, misalnya bila sakit panas, punggung diusug dengan menggunakan minyak kelapa dan bawang merah. Bawang merah di dalam Ayurweda disebut dengan Palandu. Umbi bawang merah/palandu mula khasiatnya sama dengan rasona/bawang putih. Umbi palandu/bawang merah ini mempunyai usna guna, tetapi tidak terlalu panas, serta memiliki svadu rasa dan svadu vipaka (manis). Campuran ramuan bawang merah ini sering digunakan sebagai vajikarana yaitu untuk meningkatkan seksual, meningkatkan bala/kekuatan dan sebagai rucya meningkatkan nafsu makan. Secara sekala bawang merah dapat digunakan sebagai sarana obat, secara niskala bawang merah diyakini dapat menolak bala atau kekuatan yang negatif. Bawang merah ini biasanya juga digunakan pada saat bayi baru lahir, dibuatkan pelangkiran salah satu isinya adalah bawang merah. Dalam pupuh pucung disebutkan sebagai berikut “Bibi anu lamun payu luwas manjus, antenge tekekang, yatnain ngaba masui, tiyuk puntul bawang anggen sasikepan”. Dari pupuh tersebut memberikan gambaran bahwa betapa pentingnya bawang merah itu, yang digunakan sebagai sasikepan (semacam senjata) untuk menangkal hal-hal yang kurang baik. Dalam pengobatan tradisional banyak sekali manfaat dari mawang merah.
  3. Jahe (Adraka) (Zingiber Officinale R).  Jahe selain sebagai sarana upakara seperti dalam segehan atau nasi wong-wongan. Jahe dalam Ayurweda disebut dengan adraka. Adraka merupakan tanaman yang mempunyai rimpang, yang dapat dipergunakan untuk meurunkan unsur kapha dan vatta. Jahe ini juga digunakan untuk memperbaiki suara. Disamping itu pula dapat digunakan unutk mengobati sembelit, obat sula/sakit kolik. Rimpang jahe ini memiliki rasa pedas dan usna guna/panas, meningkatkan seksual, sebagai tonikum atau penguat jantung.
    Disisi lain, jahe dinilai menjadi simbol kekuatan rajah dalam banten segehan yang dapat menjadi penetralisir sebuah energi negatif. 
  4. Garam. Garam dalam agama Hindu diyakini dapat menangkal hal-hal yang besifat negatif, di Bali disebut dengan uyah areng. Uyah areng ini diperoleh dengan tunggku dapur/bungut jalikan (tempat memasak tradisional). Uyah areng dioleskan di bungut jalikan, sehingga garam berubah menjadi hitam. Dalam mengoleskangaram ke tunggu dapur sambil memohon kepada dewa Brahma agar dapat memusnahkan penyakit yang diderita oleh seseorang. Demikian juga untuk menjaga pekarangan rumah/nyengker, ditaburi dengan uyah areng di sekeliling rumah. Hal ini dilakukan bila ada salah satu anggota keluarga yang sedang sakit.
    Jadi garam digunakan sebagai penetralisir, karena garam merupakan sebuah komponen penyeimbang yang memiliki sifat bijaksana.
  5. Uang Kepeng (tambahan). Uang dalam bahasa Sanskerta mempunyai arti artha. Pengertian artha sesungguhnya adalah tujuan. Uang membantu melancarkan seseorang untuk mencapai tujuan, karena itu uang disebut artha. Di dalam keyakinan umat Hindu uang kepeng digunakan sebagai sesari dan lambang untuk mengganti segala kekurangan yang tidak disengaja dalam pelaksanaan upacara yadnya. Uang sebagai sesari yang juga mempunyai arti sarining manah/idep atau pikiran yang suci dipersembahkan kepada Tuhan.

 

Nasi Wong-wongan sebagai penyomya para bhuta

Persembahan berupa nasi wong-wongan mempunyai nilai magis. Dimana magis adalah berhubungan dengan hal-hal yang bersifat gaib. Umat Hindu di Bali meyakini adanya dua unsur yang berbeda yaitu sekala dan niskala. Penyakit yang berhubungan dengan sekala dapat disembuhkan oleh perawat, dokter. Apabila sakit yang disebabkan oleh niskala yaitu yang tidak tampak oleh mata maka umat Hindu disamping berobat ke dokter, ke Balian juga melalui berdoa dengan sarana sajen yaitu nasi wong-wongan.

Persembahan berupa nasi wong-wongan ini dilakukan biasanya terjadi hal-hal yang ganjil atau dalam satu keluarga mengalami sakit keras yang tidak kunjung sembuh, seperti wabah virus yang terjadi yang tidak tampak oleh mata. Hal ini merupakan suatu keganjilan yang sedang melanda suatu daerah. Umat Hindu di Bali berdasarkan keyakinannya maka nasi wong-wongan sebagai pilihan untuk mengurangi penyakit atau gerubug itu.

Menurut kepercayaan umat Hindu gerubug disebabkan oleh bhuta bhuti dan durgadewi untuk mengacau alam ini. Durgadewi/Dewi Durga merupakan manifestasi Tuhan dalam fungsinya untuk memberikan sangsi pada perbuatan yang jahat. Sangsi dari Tuhan itu sebenarnya bukanlah suatu hukuman tetapi sebagai media pendidikan untuk memacu umat manusia agar lebih sadar berbuat yang benar atau di jalan dharma.

Oleh karena itu nasi wong-wongan ini sebagai penyomya para bhutakala tersebut agar tidak lagi menyebarkan penyakit. Nasi wong-wongan yang dilengkapi dengan sarana bawang, jahe dan garam merupaka perpaduan yang sangat sempurna untuk menetralisir dan menyeimbangkan unsur sekala dan niskala demikian juga unsur vatta, pitta dan kapha yaitu tiga unsur yang ada dalam tubuh. Apabila salah satu dari unsur tersebut tidak seimbang maka tubuh akan sakit.

Tubuh adalah bhuwana alit dan alam semesta adalah bhuwana agung, keduanya ini hendaknya ada dalam keseimbangan. Penggunaan bawang, jahe dan garam apabila dilihat dari cara memperolehnya yaitu jahe dan bawang adalah tanaman yang terdapat di darat dan garam terdapat di laut. Jadi dengan demikian darat dan laut menyatu dalam satu kesatuan yang dapat menciptakan keseimbangan. Berdasarkan persembahan berupa nasi wong-wongan dengan sarana yang lainnya diyakini dapat menyomya bhuta atau hal yang negatif menjadi positif atau menjadi dewa sehingga tidak lagi mengganggu kehidupan manusia.

 

Tata Cara Pelaksanaan 

Segehan wong-wongan diletakkan di area pekarangan rumah atau di lebuh angkul-angkul, tepatnya di depan pintu, pada sore hari sekitar pukul 6 atau pada saat Sandika atau saat pergantian siang menuju malam pada hari Kajeng Kliwon.

Sedangkan di kemulan taksu menghaturkan piuning dengan pejati. Di lebuh fungsinya menyetop agar bhutakala yang hendak menyakiti pemilik rumah. Hyang Guru simbol Siwa dan Bhatari Durga dewinya. Sedangkan bhutakala yang hendak memangsa itu adalah anak buah / rencangan dari Bhatari Durga.

Untuk Pejati yang dihaturkan di pemerajan atau di Bhatara Hyang Guru mantranya :

Dengan Sehe atau sesontengan :

Ong Pakulun Ratu Bhetara Hyang Guru (Kamulan) tiyang ….. (nama yang nganteb) ngaturang canang sebit sari, minakadi ajengan lan kejangkepin dening canang sari, pinake bhakti tiyang lan keluarga. Kebakaran antuk manah suci nirmala, tiyang lan keluarga nunas kerahayuan lan kerahajengan tur luput saking trimala pancamala lan dasamala rawuhing kaberebehan jagat sekadi mangkin minàkadi pandemi Covid-19 virus korona lan kacuntakan sane tyosan.
Akidik aturang manusañta nanging akeh pinunasnia, astungkara pakulun micayang manut ring pinunas lan pengaptin tiyang lan keluarga sami. Antuk paswecan pakulun, tiyang lan keluarga ngaturang suksma ning manah.

Atau dengan Mantra :

Om Sidhir Astu Tad Asthu Nama Swaha. Om Tryam Bhakam Ya Jamahe, Sugandhim Pasti Wardhana, Urwarrukham Siwa Bandanat, Mriryor Muksya Mammritham.
Om Sarwa Lara Wighna, Sarwa Klesa, Sarwa Rogha Winasa Ya Namah Swaha
Om Anugrah Manohara, Dewadhatta nugraha, Arcanam sarwa pujanam, Namo namah nugrahakham.
Om Dewa Dewi maha siddhi, Yadnya Nirmala, Atmakham Laksmi, Siddhisca Dirgahayu, Nirwighna suka wredischa.
Om Ksama Swamam Maha Dewa Sampurna Ya Nama Swaha.

Sedangkan mantra untuk di lebuh, yaitu menghaturkan wong-wongan sebagai berikut :

Ih… Ta kite Sang Bhuta Kala (di Lebuh) manusañta angaturaken badi wong -wongan pinaka larapan bhakti manusañta. Enak ta kite amuktyaken, asing kurang asing luput haywa ta kite silik-ugik, uwuhin manusañta kerahayuan kedirgayusan. Abih manusañta lemah peteng selid sanje ring darat ring toyo ring udara. Ebek danuh ebek segara bhaktanmu. Dohakena manusañta saking kaberebehan jagat sekadi mangkin. Pomo pomo pomo (sambil ayabang lan metaluh arak-tuak-berem).

Atau Mantra yang lebih singkat :

Iki sang kala bucari,  Sang kala bala lan sang kala raja, Kita tan wenang nadah i manusa, Iki tetadahan nia, Pasegehan wong wongan, Usan mangan usan minum kita, budal ke genah soang soang tan patut kita ngrubeda ring mercapada. Poma poma poma.

 


Sumber

Sang Ayu Made Yuliari
Program Studi Kesehatan Ayurweda Fakultas Kesehatan
Universitas Hindu Indonesia Denpasar



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga