Dalam kebudayaan Bali, antara bhuana agung dan bhuana alit memiliki hubungan yang bersifat integralistik. Apapun yang terjadi di dalam bhuana agung, memiliki hubungan secara langsung dengan bhuana alit, begitu pula sebaliknya. Segala jenis aktivitas ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali untuk memuliakan dan menjaga keseimbangan kosmik didasarkan pada munculnya kesadaran manusia yang terpusat pada alam (kosmos). Di sinilah ekosentrisme muncul. Segala ekspresi keagamaan manusia berorientasi pada kosmos – menyucikan gunung, danau, hutan dan laut. Secara fenomenologis, intensionalitas kesadaran manusia yang terpusat pada alam inilah membentuk kepercayaan dan kebudayaan masyarakat Bali. Kesadaran akan bencana juga muncul dari pola ini. Masyarakat Bali menggunakan tanda-tanda alam untuk menjelaskan terjadinya bencana. Setidaknya, hal ini tersirat dalam beberapa teks lontar khususnya Roga Sangara Bhumi dan Bhama Kertih.
Segala jenis aktivitas ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali untuk memuliakan dan menjaga keseimbangan kosmik didasarkan pada munculnya kesadaran manusia yang terpusat pada alam (kosmos). Manusia sadar bahwa ‘kemarahan’ alam akan membawa bencana besar terhadap kehidupannya. Destruksi alam semesta juga akan berdampak pada kehidupan manusia. Di sinilah ekosentrisme muncul. Segala ekspresi keagamaan manusia berorientasi pada kosmos.
Secara fenomenologis, intensionalitas kesadaran manusia yang terpusat pada alam inilah membentuk kepercayaan dan kebudayaan masyarakat Bali. Kesadaran yang terpusat pada alam ini juga mempengaruhi pola relasi dan hubungan antara manusia dan alam di Bali. Di sini sadar akan alam, berarti pula hormat akan alam. Hormat akan alam berarti juga siap melindunginya. Pada titik ini muncul hubungan yang ‘puitis’ dan ‘intim’ antara manusia dan alam. Relasi manusia dan alam bukanlah hubungan dualisme subyek dan obyek – yang satu menundukkan yang lain, melainkan hubungan yang resiprokal.
Ketika manusia sadar akan keberadaannya dalam dunia, maka ia wajib memelihara ‘dunia’. Salah satu bentuk upaya ‘memelihara’ dunia oleh umat Hindu di Bali adalah dengan melaksanakan upacara ritual yang diperuntukkan pada alam dengan menggunakan sarana yang berasal dari alam pula. Selain itu, ‘keintiman’ manusia dengan alam di Bali membentuk manusia-manusia yang punya kepekaan terhadap gejala-gejala yang datangnya dari alam – termasuk salah satunya adalah akan terjadinya chaos atau bencana. Pada titik ini,
Masyarakat Bali memiliki pemahaman dan cara tersendiri dalam menyikapi kondisi alam yang kurang bersahabat, sesuai dengan yang terdapat pada lontar Roga Sanghara Bhumi.
Naskah Roga Sanghara Bhumi sesungguhnya bukan hanya penting bagi masyarakatBali, tetapi bagi kita semua di nusantara. Kajian ini akan membuka cakrawala wawasan pemikiran bagi daerah lain, karena prosesi tradisi memohon maaf dan keselamatan pada penguasa alam ( Tuhan ) masih berlangsung. Barangkali ada referensi naskah tradisional yang perlu dikaji lebih jauh. Tujuannnya untuk mengantisipasi dan menetralisir berbagai mala petaka dalam kehidupan.
Secara umum, lontar Roga Sangara Bhumi berisi tentang :
- Sebab-sebab malapetaka/bencana terjadi di dunia,
- Jenis-jenis malapetaka/bencana yang dapat terjadi di dunia
- Beberapa ciri akan datangnya malapetaka/bencana
Lontar Roga Sangara Bhumi diartikan:
- Roga: penyakit, sakit, dan cacat badan.
- Sanghara /Samhara: menarik kembali; meniadakan; rusak; lebur; kehancuran; pembinasaan (Mardiwarsito, 1981: 507).
- Bhumi: bumi.
Jadi Roga Sangara Bhumi berarti menetralisir atau meniadakan bencana di dunia.
Menurut lontar Widhi Sastra yang terdapat dalam Lontar Roga Sangara Bumi, masyarakat Bali setiap lima tahun sekali harus melaksanakan upacara tawur agung yang disebut dengan Panca wali krama. Upacara ini dilaksanakan di Pura Besakih. Dikatakan ini merupakan sabda dan titah dari Bhatara Putrajaya yang berstana di Gunung Agung.
Sebagai konsekuensi apabila upacara itu tidak dilakukan, maka Bhatara Putrajaya akan kembali ke Gunung Mahameru. Dari situ beliau akan menyebarkan segala penyakit mematikan dan dunia dibuat hancur. Saudara bertengkar dengan saudara, terjadi kerusuhan di sana-sini. Adapun tujuan dari upacara tawur agung Pancawalikrama adalah untuk menghaturkan persembahan berupa jenis-jenis hasil bumi, beberapa satwa, yang dipersembahkan kepada para dewa dan para bhutakala.
Kepercayaan masyarakat Bali bahwa dalam kurun waktu lima tahun sudah dapat dipastikan daerah Bali dan juga daerah lainnya telah terjadi kekotoran. Setidak-tidaknya kekotoran pikiran manusia (manacika), perkataan (wakcika), dan perbuatan (kayika), yang menyebabkan bumi kotor (cemer ikang bhuwana). Melalui upacara tawur agung Pancawalikrama diharapkan para dewa tidak lagi marah dan dapat memaafkan kelakuan manusia. Bumi menjadi bersih (kaparisudha). Demikian pula para bhutakala dapat dinetralisir sehingga tercipta kedamaian di bumi (sutrepti ikang rat).
Apabila terjadi bencana alam secara insidental, dan masyarakat Bali menginginkan kerahayuan jagat, maka dalam Lontar Roga Sangara Bumi disebutkan ada beberapa jenis upacara keselamatan yang dapat dilakukan:
- Upacara prayascita, yaitu upacara penyucian bumi pada tatanan yang kecil seperti bangunan pribadi, kebun, dan sebagainya.
- Guru Piduka, yaitu upacara permohonan maaf kepada para dewa karena ulah manusia bumi menjadi kotor (cemer),
- Labuh Gentuh, yaitu upacara penyucian bumi yang tingkatnya lebih tinggi dari prayascita.
Upacara-upacara penyucian bumi segera dilakukan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya. Mulai dari upacara penyucian bumi tingkat rumah tangga, tingkat desa, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat propinsi. Upacara ini ditujukan kepada para dewa, bhutakala, agar sudi memaafkan ulah manusia, mengmbalikan bumi ini menjadi bersih dan suci kembali. Tujuan yang paling penting sudah tentu agar tidak lagi terjadi bencana alam atau dijauhkan dari segala malapetaka.
Lontar Roga Sangara Bumi juga menjelaskan ciri-ciri atau tanda-tanda alam yang bermuara akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Di samping itu ada pula ciri-ciri atau tanda-tanda alam yang mengarah ke kebaikan.
Adapun berikut ini beberapa tanda-tanda alam yang berarti keburukan akan terjadi:
- Ada pelangi yang masuk ke keraton dan minum air pada saat hujan. Ini pertanda raja atau pemimpin akan berumur pendek. Untuk mengantisipasi hal seperti itu harus dibuatkan caru (kurban) keselamatan.
- Ada binatang kijang, menjangan, berlari-lari masuk ke desa, masuk ke rumah-rumah berkeliling. Ini pertanda buruk bahwa desa itu katadah kala (dimakan bhutakala). Para satwa itu diperintahkan oleh para dewa karena desa itu kotor, tidak ada rohnya bagaikan hutan belantara. Untuk mengantisipasi hal itu, penduduk harus segera membuat upacara selamatan.
- Kahyangan (tempat pemujaan) ditimpa pohon, terbakar, diterjang angin puyuh, apalagi saat melaksanakan upacara yadnya. Ini pertanda buruk dan akan terjadi bencana yang lebih dahsyat. Masyarakat harus segera membuat upacara prayascita (penyucian).
- Ada bintang berekor (bintang kukus) di langit. Ini isyarat raja atau pemimpin akan kena musibah besar seperti ajal dalam sebuah pertempuran.
- Bila ada hujan darah, anjing melolong-lolong di jalan raya, burung gagak bersuara di malam hari, burung hantu bertarung dengan burung hantu, ada percikan darah di balai-balai atau di lantai. Ini pertanda masyarakat akan tertimpa wabah penyakit mematikan. Untuk menetralisir akibat dari tanda-tanda itu, masyarakat harus segera melakukan upacara selamatan.
- Segala hewan piaraan manusia seperti sapi, kerbau, kambing, dan sebagainya terjadi salah pasangan . Artinya terjadi perkawinan bukan sesama hewan sejenis, umpama: sapi kawin dengan kerbau, ayam dengan itik, anjing dengan babi, dan sebagainya.
- Hal salah pasangan pada diri manusia seperti: paman kawin dengan kemenakan, ayah dengan anak, saudara kawin dengan saudara. Ini pertanda bhutakala telah merasuk ke tubuh manusia. Ini harus segera dinetralisir dengan upacara penyucian jagat agar bhutakala kembali ke alamnya.
- Ada orang melahirkan dengan wujud yang tidak normal atau aneh, pohon kelapa di halaman disambar petir, pintu gerbang juga disambar petir. Semua tanda-tanda ini menandakan dunia telah kotor dan rusak. Untuk menetralisir segera dibuatkan upacara selamatan.
Di samping tanda-tanda yang menunjukkan alam akan terjadi mala petaka atau alamat buruk, dalam Lontar Roga Sangara Bumi juga berisi beberapa tanda-tanda yang menunjukkan alamat dunia akan baik, yaitu:
- Apabila ada hujan airnya tanpak kekuning-kuningan, ini disebut dengan madewa sudha (pembersihan oleh dewa). Hujan ini pertanda baik terutama terhadap orang yang kejatuhan hujan tersebut.
- Bila ada hujan airnya keputih-putihan maka ini juga perntada baik. Desa yang kejatuhan hujan seperti itu akan selamat, seperti segala penyakit akan menjauh.
Gempa adalah salah satu peristiwa alam yang amat mengerikan dan membuat manusia traumatis. Gempa dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan terkadang getarannya kecil tidak membahayakan. Apabila getarannya besar, maka gempa dapat membuat bumi luluh lantak (pralaya).
Lontar Roga Sangara Bumi juga berisi tentang bencana alam gempa beserta baik buruknya berdasarkan sasih (bulan) terjadinya gempa tersebut.
Berikut uraiannya:
- Bila sasih kepitu (Januari) datangnya gempa secara terus-menerus, menandakan akan terjadi perang tidak henti-hentinya. Berbagai penyakit akan menimpa masyarakat.
- Bila sasih kaulu (Februari), dan sasih katiga (September) datangnya gempa secara terus-menerus, ramalannya akan terjadi wabah penyakit sampai banyak orang meninggal.
- Bila sasih kesanga (Maret) datangnya gempa secara terus-menerus, ramalannya negara tidak akan menentu. Para pembantu meninggalkan tuannya.
- Bila sasih kadasa (April), ramalannya negara akan menjadi baik. Ini berarti sebagai pengundang Bhatara berbelas kasih kepada manusia.
- Bila sasih jyesta (Mei) dan sasih sada (Juni), ramalannya akan terjadi banyak orang sakit tidak tertolongkan.
- Bila sasih kapat (Oktober), sasih kalima (November) ramalannya sebagai pengundang dewata. Para dewa senang tinggal di bumi. Bumi akan mendapat kerahayuan. Segala yang ditanam akan hidup subur dan berhasil (saphala sarwa tinandur). Raja atau pemimpin bijak dan berbudu rahayu.
- Bila sasih kanem (Desember), ramalannya banyak orang akan jatuh sakit tidak tertolongkan. Untuk menetralisir patut segera dibuatkan upacara persembahan caru selamatan.
Kecuali pengaruh dan ramalan gempa yang terjadi akan mengarah ke kebaikan, maka gempa yang terjadi dan berakibat buruk pada kehidupan harus segera dibuatkan upacara caru selamatan. Gempa yang terjadi pada bulan-bulan yang berbeda dan berpengaruh buruk terhadap kehidupan manusia akibat marahnya para dewa.
Untuk jenis upacara persembahan selamatan dan ditujukan kepada dewa siapa, tergantung dari sasih (bulan) berapa terjadinya gempa tersebut.
Selanjutnya… Isi salinan Lontar Roga Sangara Bumi …