Sejarah Perkembangan Bangunan Palinggih di Pura Masceti


Status Pura Masceti

Sebagaimana diketahui bahwa panyungsung Pura Masceti adalah Subak, yakni warga Subak Pakerisan Teben dan Gunung Sari. Bilamana dikelompokkan berdasarkan karakternya, karena di among oleh subak, Pura Masceti dikategorikan ke dalam kelompok pura fungsional (swagina). Merujuk kepada penyungsungnya, yaitu di samping di sunggsung, oleh warga subak, juga di sungsung oleh warga masyarakat Desa Medahan-Keramas; warga masyarakat Gianyar; juga warga masyarakat Bali. Mencermati keberadaan seperti itu, dapat dikatakan bahwa Pura Masceti adalah Pura yang berstatus Pura Swagina (fungsional) yang disungsung oleh masyarakat Hindu se Bali. Dengan kata lain, Pura Masceti adalah pura Swagina yang termasuk dalam kategori (status) Kahyangan Jagat.

Pura subak, untuk status yang diberikan kepada Pura Masceti, karena subak terkait erat dengan pertanian baik pertanian sawah maupun pertanian laut. Subak sebagai organisasi yang berhubungan dengan petani sawah, akan tetap eksis bilamana keberadaan pertanian masih berjalan secara normal. Pada masa-masa selanjutnya, tampaknya keberadaan pertanian akan terus terganggu oleh dinamika kehidupan yang selalu berubah, cenderung berdampak kepada menyusutnya areal tanah pertanian sebagai akibat dari alih fungsi tanah, terutama di daerah perkotaan. Tidak terkecuali, areal tanah persawahan di lingkungan subak Pakerisan Teben yang menjadi pangemong Pura Masceti banyak yang dikorbankan menjadi jalan by pass Ida Bagus Mantra. Tidak hanya menyusut karena diambil untuk jalan, namun juga banyak yang menusut karena dijadikan bangunan. Ke depan tentu terus berkembang kebutuhan akan alih fungsi tanah pertanian, yang berdampak terhadap semakin menyempitnya areal tanah persawahan, dan dalam kurun waktu tertentu, tanah pertanian akan menjadi habis. Ketika tanah sawah telah habis karena beralih fungsi menjadi bangunan, sekaligus subak tidak akan ada lagi.

Bagaimana dengan status Pura Masceti, sebagai parhyangan subak, yang note bene sawah (palemahan) dan warga subak (pawongan) nya telah tiada?

Sebagai langkah antisipasi untuk menjaga ajegnya tri hita karana, dua pilar utama yang dapat dijadikan kendali adalah kehadiran museum subak dan pemberian status subak sebagai warisan budaya dunia (WBD). Pemberian bantuan untuk mendirikan museum subak oleh pemerintah pusat, secara tidak langsung diharapkan dapat menghambat laju jalannya keinginan warga pemilik tanah untuk menjual tanahnya, bilamana tidak mendesak untuk dilakukan atau kecuali untuk bangunan rumah tempat tinggal. Kemudian diperkuat dengan diberikannya status warisan budaya dunia kepada subak, secara normatif dapat memayungi keberadaan subak. Dengan penuh harapan bahwa perhatian pemerintah tidak hanya sebatas memayungi keberadaan subak, tetapi yang lebih penting adalah ikut mengawasi dan memperketat upaya penjualan tanah yang produktif untuk pertanian. Jangan sampai pemerintah (penguasa) bermain dibalik kepentingan penjualan tanah tersebut.

Namun yang lebih penting untuk diwujudkan adalah adanya wacana yang digulirkan oleh pemerintah kabupaten Gianyar untuk menjadikan (melegalisasi) Pura Masceti sebagai pusat kahyangan (pura) subak se-Kabupaten Gianyar. Bilamana hal tersebut betul-betul terealisasi, secara spiritual dapat menumbuhkan dan memperdalam keyakinan para warga subak, bukan hanya subak Pakerisan Teben, namun juga untuk seluruh warga subak yang ada di Kabupaten Gianyar, bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral secara niskala kepada Beliau (Ida Betara) yang bersthana di Pura Masceti. Sehingga segala keinginan negatif yang dapat mengganggu kelanggengan status (keberadaan) tanah sawah atau untuk tujuan alih fungsi, terlebih menjual untuk kepentingan yang tidak mendesak, dapat ditiadakan. Dengan demikian, keberadaan Pura Masceti sebagai sungsungan seluruh subak di Kabupaten Gianyar, dapat menumbuhkan kesadaran sekaligus sebagai penuntun para pemilik tanah, bahwa sawah-sawah yang digarapnya adalah warisan para leluhur yang harus diwariskan kepada anak cucu. Mereka menyadari bahwa itu semua adalah hanya hak milik atas hasil-hasilnya, dan bukan hak milik untuk dapat secara bebas memperjual-belikannya. 

Pangemong Pura

Pangemong Pura Masceti adalah seluruh warga subak Pakerisan Teben dan subak Gunung Sari, yang terdiri atas 20 anggota subak, yaitu: (1) Subak Gaga, (2) Subak Dayang, (3) Subak Diga, (4) Subak Dewa, (5) Subak Amping,  (6) Subak Poh Gading, (7) Subak Betuas, (8) Subak Slukat, (9) Subak Sengauk, (10) Subak Abang, (11) Subak Dukuh, (12) Subak Tedung, (13) Subak Nengan, (14) Subak Abu, (15) Subak Celuk, (16) Subak Ceti, (17) Subak Padang Legi, (18) Subak Panjan, (19) Subak Jurit dan, (20) Subak Peling. Setiap subak dikendalikan oleh seorang kelian subak yang disebut pekaseh. Dalam pengelolaan dan pemeliharaan pura, karena ada beberapa pekaseh yang berdaulat di dalamnya, pada awalnya salah seorang pekaseh di antara pekaseh-pekaseh yang ada di lingkungan Subak Pakerisan Teben dan Gunung Sari tersebut, menjabat sebagai ketua; dan dua orang yang lainnya masing-masing menjabat sebagai; penyarikan (sekretaris); juru raksa (bendahara); dan para pekaseh lainnya menjabat sebagai seksi-seksi sesuai dengan tugas dan fungsi yang dibutuhkan dalam organisasi tersebut. Kemudian, sejak diturunkan “Prasasti Pura Masceti” dan dipasupati (Sabtu Pon, Ukir /23 Mei 2015), ketika itu pula Pura Masceti resmi memiliki Bendesa dilengkapi staf. Organisasi inilah yang mempunyai tugas, kewajiban dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pemeliharaan Pura Masceti. Sedangkan warga masyarakat Desa Medahan-Keramas, yang tidak memiliki tanah sawah atau tidak berstatus sebagai anggota subak, hanya berstatus sebagai panyungsung, sehingga bebas dari segala kewajiban pemeliharaan dan upacara piodalan, atau bentuk biaya lainnya, kecuali ada keinginan untuk mapunia.

Berbicara masalah biaya pemeliharaan pura bahwa di luar sumber dana yang diperoleh dari laba pura, juga diperoleh dari iuran anggota subak; bantuan dari pemerintah (Pemkab maupun Provinsi); dana punia; atau sumber lainnya. Kehadiran tajen di Pura Masceti yang saat ini berstatus sebagai tajen judi, sebenarnya bermula dari tajen yang memiliki nilai ritual yang disebut “tabuh rah”, yang menurut tradisi di Pura Masceti disebut “Tajen Tektekan”. Dari tabuh rah atau tajen tektekan inilah dengan menggunakan toh (taruhan) 1000 uang kepeng, menjadi embrio daripada tajen yang saat ini dikenal dengan judi, yang secara jelas menggunakan uang sebagai taruhan. Tradisi tersebut sudah hidup sejak lama di Pura Masceti. Tajen judi seperti di Pura Masceti juga dilaksanakan di tempat-tempat suci lainnya di Bali, yang umumnya terkait dengan pelaksanaan pujawali. Dari “tabuh rah” tersebut, yang memang betul-betul kehadirannya dibutuhkan untuk melengkapi upacara bhuta yadnya, setidak-tidaknya caru pancasata, yang tanpa menggunakan uang kertas sebagai taruhannya, kemudian berkembang menjadi tajen “judi”. Saat ini, pelaksanaan tajen “judi” tersebut dikelola oleh panitia. Dari hasil pengelolaannya, panitia menyerahkan sekian persen dari pendapatan bersih atas pelaksanaan “tajen” tersebut. Hasil dari tajen tersebut juga merupakan salah satu sumber dana untuk pengelolaan dan pemeliharaan Pura Masceti.

Panyungsung Pura

Berbeda halnya dengan pangemong pura yang hanya terbatas pada warga subak saja, seperti disebutkan di atas. Menurut I Nyoman Soma Wirawan (Informan, wawancara tgl. 30 September 2012) mengatakan bahwa, panyungsung Pura Masceti selain warga subak, juga disungsung oleh warga Desa Pakraman Medahan; Desa Pakraman Tedung; Desa Pakraman Keramas; Desa Pakraman Cucukan; warga masyarakat Kabupaten Gianyar, dan bahkan seluruh warga masyarakat Bali. Karena disungsung oleh seluruh warga masyarakat Bali, tidak berlebihan bilamana Pura Masceti disebut sebagai pura swagina (fungsional) yang berstatus kahyangan jagat.

Upacara Piodalan

Di Pura Masceti, pelaksanaan upacara piodalan (puja-wali) berdasarkan pawukon, tepatnya pada hari Selasa Keliwon (Anggara kasih), wuku Medangsia, yaitu setiap 210 hari sekali. Karena di Bali pada umumnya regulasi pelaksanaan upacara, ada yang besar (karya ageng), ada pula yang kecil (karya alit), dan dilaksanakan secara silih berganti. Bilamana dihitung harinya, maka baik upacara besar (karya ageng) maupun upacara kecil (karya alit), dilaksanakan setiap 420 hari sekali. Namun, tidak tertutup kemungkinan untuk dilaksanakan pula upacara besar (karya ageng) yang sifatnya khusus (insidentil) atau pada waktu tertentu, dan jarak waktu pelaksanaannya relatif lama, seperti mamungkah, ngenteg linggih, mupuk pedagingan, ngusabha, mapadususan, mapedanaan, dan sebagainya. Adapun saat pelaksanaannya, dicari hari bertepatan dengan bulan purnama.

Di Pura Masceti, Menurut tradisi (dresta) yang telah berlangsung, pelaksanaan upacara agama (rerahinan maupun pujawali) dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: Rerahinan, Pujawali (Piodalan), dan Padudusan. 


Sumber
Oleh Anak Agung Gde Raka

Pura Kahyangan Jagat Masceti Gianyar

Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar 2015



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga