- 1Ceritra Lubdhaka dalam Siwaratri
- 2Makna Simbolik Lubdhaka di Hari Siwaratri
- 2.1Hari Perayaan Siwaratri
- 2.2Makna Cerita Lubdaka
- 2.2.1Tempat Tinggal Lubdhaka
- 2.2.2Alat Perburuan dan binatang Buruan
- 2.2.3Berngkat berburu pada panglong ping 14
- 2.2.4Pagi hari memakai pakaian hitam kebiruan
- 2.2.5Berjalan sendirian
- 2.2.6Menuju arah timur laut
- 2.2.7Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak
- 2.2.8Tidak seekor binatangpun didapatkan
- 2.2.9Tidak terasa senjapun tiba
- 2.2.10Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicampang
- 2.2.11Ranu atau danau
- 2.2.12Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe
- 2.2.13Memetik daun bilwa
- 2.2.14Tiba dipondok sore hari, menjelang petang (hari tilem)
- 2.2.15Tiba di pondok Lubdaka baru makan
- 3Memaknai Arti Siwaratri dalam Konsep Kekinian
- 3.1Tapa Brata di Hari Siwaratri ( Malam Siwa)
- 3.1.1Upawasa
- 3.1.2Jagra
- 3.1.3Niyasa
Memaknai Arti Siwaratri dalam Konsep Kekinian
Hidup manusia sebenarnya dibelenggu oleh bhuta kala. Dalam usaha melepas belenggu bhuta kala itu, manusia hendaknya berusaha mendapatkan keseimbangan jasmani dan rohani yang bisa dicapai secara perlahan-lahan dan bertahap. Tidak dimungkiri banyak hambatan yang menghadang ketika manusia ingin mencapai keseimbangan itu. Hambatan itu datangnya tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam diri manusia itu sendiri perhatikan pupuh dibawah ini.
Ragadi musuh maparo,
Ring hati ya tungguwannya tan madoh ring dewek
Hawa nafsu, ego adalah musuh yang sangat dekat
Didalam hati letaknya tak jauh dari dalam diri kita sendiri
Siwaratri pada hakikatnya merupakan sebuah ajaran untuk membangkitkan perjuangan umat Hindu untuk selalu sadar akan dirinya yang selalu diancam oleh berbagai hambatan. Upacara Siwaratri bertujuan memberikan pengetahuan kepada manusia agar menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, sebaik-baiknya manusia, pasti pernah berbuat dosa selama hidupnya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia, pasti pernah berbuat baik selama hidupnya. Hanya saja sejauh mana diri kita mampu untuk mengambil hikmah dari voyeges ini.
Menyadari hal itu, Siwaratri dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu berikhtiar untuk memperbanyak perbuatan dharma. Meskipun manusia sulit menghindari perbuatan dosa, bagaimana pun besarnya perbuatan dosa yang telah diperbuatnya, tidak tertutup jalan untuk menuju dharma. Dalam artian jangan ada kalimat kepalang basah.
Siwaratri memotivasi manusia untuk tidak berputus asa kembali ke jalan dharma. Pintu dharma selalu terbuka lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya. Cerita Lubdaka, si pemburu yang pekerjaan sehari-harinya berburu binatang, sebagai salah satu contoh. Tetapi, masih relevankah figur Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri dengan kehidupan sekarang
Dari kalangan para peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagai berikut : Jika seseorang sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbulah rasa ingin dekat dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Rasa keinginan atau hasrat (kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara (berjapam/mengulang-ngulang nama suci Tuhan), beryajna dan sebagainya.
Banyak kalangan yang kurang setuju, jika malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.
Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, akhirnya menyebabkan orang menjadi tersinggung. Karena dalam kasus ini melakukan tapa mona-brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati lantaran mereka tidak tau kita lagi monobrata. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian. Nah itu pun jaman dulu kan begitu, nah sebanarnya kalau kita ambil inti sari dari Monobrata, bagaimana kita meminimalisasi ucapan yang negatif kepada orang lain, kurangi berbicara, perbanyak Asmaranam menyebutkan Nama-nama Hyang widhi ( Om Na, Ma, Ci, Wa, Ya ) dsb.