- 1Pralina : Mencegah Malapetaka Niskala
- 2Wariga dan Padewasan : Pemilihan Waktu Sakral
- 2.1Mekanisme Penentuan Dewasa Ayu Pemugaran
- 2.2Klasifikasi Hari Berdasarkan Kualitas Energi (Ala Ayuning Dewasa)
- 2.3Dewasa Ayu yang Direkomendasikan
- 2.4Dewasa Ala (Pantangan Keras/Hari Buruk)
- 3Tahapan Pra-Pralina - Ngingsirang Ida Bhatara dan Persiapan Spiritual
- 4Tata Cara Ritual Ngingsirang Ida Bhatara
- 5Mantra Ngingsirang Ida Bhatara
- 6Tata Laksana Pralina (Pembongkaran dan Penetralisiran)
- 6.1Tahapan Ritual Pralina
- 6.1..1Pembersihan Niskala (Meresik) :
- 6.1..2Ngayab Caru Pralina :
- 6.1..3Mantra Pralina (Peleburan) :
- 6.1..4Eksekusi Pembongkaran Fisik :
- 6.1..5Perlakuan Terhadap Sisa Material (Ngeseng) :
- 6.2Mantra dan Doa Pralina
- 7Upakara Bebantenan (Nista, Madya, Utama)
- 8Rekonstruksi Pasca-Pralina
- 8.1Upacara Ngeruak dan Nyikut Karang
- 8.2Nasarin (Peletakan Batu Pertama)
- 8.3Melaspas dan Mendem Pedagingan
- 8.4Ngenteg Linggih (Pengukuhan dan Penstanan Kembali)
Upakara Bebantenan (Nista, Madya, Utama)
Keberhasilan upacara Pralina sangat bergantung pada kelengkapan sarana upakara (Bebantenan). Dalam tradisi Hindu Bali, tingkatan upakara dibagi menjadi Nista (Kecil), Madya (Sedang), dan Utama (Besar), yang disesuaikan dengan kemampuan (Desa Kala Patra) dan status pura.
Berikut adalah tabel komparasi detail mengenai kebutuhan banten untuk setiap tingkatan:
| Komponen | Tingkatan Nista (Sanggah Alit/Pelinggih Tunggal) | Tingkatan Madya (Pura Dadia/Merajan Gede) | Tingkatan Utama (Kahyangan Tiga/Jagat) |
| Banten di Pelinggih (Sebelum Bongkar) |
Pejati Lengkap: (Daksina, Peras, Sodan, Tipat Kelanan). Daksina Pralina: Daksina biasa dengan imbuhan khusus. |
Suci Alit: Pejati + Suci (Jajan suci, tepung tawar). Daksina Gede/Pralingga: Ukuran kelapa lebih besar, hiasan janur lebih rumit. |
Suci Laksana: Paket lengkap banten suci (2 soroh atau lebih). Catur Rebah/Catur Niri: Banten kompleks simbol 4 arah mata angin. |
| Pecaruan (Kurban Bawah) |
Caru Eka Sata: Menggunakan 1 ekor ayam Brumbun (lima warna) atau Selem (hitam). Segehan: Segehan Panca Warna (9/11 tanding). |
Caru Panca Sata: 5 ekor ayam (Putih-Timur, Merah-Selatan, Kuning-Barat, Hitam-Utara, Brumbun-Tengah). Gelar Sanga: Persembahan kepada Bhuta Kala di 9 penjuru. |
Caru Panca Kelud atau Rsi Gana : Melibatkan hewan kurban lebih besar (seperti anjing bangbungkem atau kambing) dan ritual pembersihan massal. |
| Penyucian (Pembersihan) |
Prayascita Alit: Banten pembersih sederhana. Byakala: Untuk menghilangkan mala kasar. |
Prayascita Luwih: Versi lebih lengkap dengan lis senjata. Durmanggala: Penetralisir pertanda buruk. Pengulapan: Memanggil kembali semangat yang hilang. |
Prayascita Agung: Dengan tirtha dari Sulinggih Siwa-Budha. Peneduh: Untuk menenangkan gejolak tanah yang luas. |
| Sarana Lain |
Tipat Dampulan: Simbol permohonan izin. Canang Sari & Burat Wangi. |
Penyeneng & Jerimpen: Simbol kegembiraan dan penyambutan. Tatebusan: Benang tridatu untuk memagari diri. |
Pulagembal: Banten sarat simbol kemakmuran. Bebangkit: (1-4 soroh) Simbol alam semesta mikro. |
- Caru Panca Sata : Pada tingkat Madya, penggunaan 5 ekor ayam sangat krusial karena mewakili penguasaan atas Panca Maha Bhuta. Ayam Brumbun di tengah adalah pusat penetralisir. Mantranya spesifik memohon agar Bhuta menjadi Dewa.
- Daksina Pralingga : Ini adalah “kendaraan” roh. Isinya meliputi kelapa (simbol alam semesta), telor (bibit kehidupan), beras, benang, dan uang kepeng (pis bolong). Saat Pralina, daksina ini harus diperlakukan bak raja.
- Banten Prayascita : Berfungsi sebagai “sabun spiritual”. Tanpa ini, energi negatif sisa pembongkaran bisa melekat pada pekerja. Komponen daun Dapdap dan Tepung Tawar di dalamnya memiliki fungsi mendinginkan (Nyomia).
Rekonstruksi Pasca-Pralina
Setelah bangunan lama rata dengan tanah (Pralina fisik selesai) dan puing-puing dibersihkan, lahan tersebut kembali ke status nol. Namun, secara Niskala, tanah bekas tempat suci memiliki getaran yang berbeda dengan tanah biasa. Proses pembangunan kembali (Renovasi) mengikuti alur Utpatti (penciptaan kembali).
Upacara Ngeruak dan Nyikut Karang
Sebelum pondasi baru digali, tanah harus “dibuka” kembali.
- Ngeruak Karang : Upacara ini bertujuan membersihkan lahan dari sisa-sisa energi negatif pembongkaran dan memohon izin kepada Ibu Pertiwi untuk melukai tanah (menggali). Sarananya meliputi Caru Ayam Brumbun, Banten Pengruak, dan Sanggah Cucuk di lokasi galian.
- Nyikut (Pengukuran) : Penerapan Asta Kosala Kosali. Undagi akan mengukur tapak bangunan baru menggunakan satuan tubuh pemilik pura (Pengempon), seperti Tampak (telapak kaki), Musti (kepalan tangan), dan Depa. Tujuannya agar frekuensi energi bangunan selaras (resonansi) dengan tubuh pemiliknya.
Nasarin (Peletakan Batu Pertama)
Upacara menanam dasar bangunan yang berfungsi sebagai “akar” spiritual.
- Pedagingan Dasar : Di lubang pondasi utama (biasanya Timur Laut untuk Padmasana), ditanam Panca Datu (lima logam: emas, perak, tembaga, besi, perunggu) atau Batu Bulitan yang dibungkus kain putih-kuning.
- Nasarin : Selengkapnya ada pada buku Yajamana Pemanku.
Selama proses konstruksi fisik berlangsung, area tersebut berstatus “proyek”. Namun, Turus Lumbung tetap menjadi pusat spiritual. Pemangku dan Krama wajib tetap menghaturkan Canang dan Banten Saiban setiap hari di Turus Lumbung serta mendoakan keselamatan para tukang.
Melaspas dan Mendem Pedagingan
Setelah fisik bangunan selesai 100%, bangunan tersebut masih dianggap “mati” atau sekadar benda seni. Upacara Melaspas diperlukan untuk menghidupkannya.
Melaspas : Upacara menyucikan material bangunan (kayu, batu, cat) yang mungkin tercemar selama proses pembuatan/pengangkutan.
Mendem Pedagingan : Menanam simbol-simbol organ vital bangunan di tiga titik: Dasar (Bedawang Nala), Badan, dan Atap (Akasa). Ini memberikan “nyawa” pada pelinggih.
Selengkapnya ada pada buku Yajamana Pemanku.
Ngenteg Linggih (Pengukuhan dan Penstanan Kembali)
Ini adalah puncak dari seluruh rangkaian renovasi, di mana Ida Bhatara “dipulangkan” dari Turus Lumbung ke Pelinggih Baru.
- Ngantukang Ida Bhatara : Prosesi menjemput Pralingga dari Turus Lumbung, mengaraknya mengelilingi pelinggih baru (Purwa Daksina), dan menaikkannya ke stana baru.
- Ngenteg Linggih : Secara harfiah berarti “menegakkan tempat duduk”. Upacara ini menstabilkan energi Tuhan di bangunan baru tersebut untuk jangka waktu yang lama. Biasanya dirangkaikan dengan Piodalan pertama atau Karya Agung.
Renovasi tempat suci di Bali membuktikan bahwa arsitektur Hindu bukan sekadar estetika, melainkan teknologi spiritual. Proses Pralina yang rumit menunjukkan tingginya penghargaan terhadap “roh” materi. Kegagalan melakukan Pralina seringkali berkorelasi dengan laporan-laporan niskala mengenai ketenangan batin umat yang terganggu.
Hindu Bali menawarkan jalan tengah melalui konsep Nista, Madya, Utama. Bagi keluarga yang kurang mampu, Pralina dengan banten Pejati dan Caru Ekasata (Nista) tetap sah dan suci, asalkan Tattwa (pengetahuan) dan Susila (niat tulus/mantra yang benar) terpenuhi. Kemewahan banten (Utama) tidak menjamin kesucian jika dilakukan tanpa pemahaman filosofis yang benar.
















