Upacara Perkawinan Patiwangi untuk Beda Kasta (Tri Wangsa)


Teks Sastra Yang Terkait Dengan Perkawinan Patiwangi

Dalam lontar Widi Papincatan juga dijelaskan bahwa perempuan yang berasal dari golongan yang lebih tinggi kawin dengan orang yang wangsanya lebih rendah akan kehilangan derajat wangsanya. Lontar Widi Papincatan juga mengatur larangan bagi brahmana bertempat tinggal, yaitu sebagai berikut.

Malih yan wenten sang brahmana, seken atahun magenah ring umah wong sudra, toer kacatonan pangan kinum selid-sare ical/surud mula wangsane, tan keni ulapin malih.

Artinya:
Apabila ada golongan brahmana bertempat tinggal setahun lamanya di rumah gelengan sudra aan diberikan makan dan minum pagi sore, akan barakibat hilang derajat wangsanya dan tidak dapat dikembalikan lagi seperti derajat semula.

Ketentuan-ketentuan dalam lontar Widi Papincatan, pada masa sekarang mungkin tidak dapat diterapkan lagi sebagaimana aturannya karena tidak sesuai dengan tata pergaulan dan perkembangan kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat sekarang karena kebutuhan ekonomi, tidak jarang seorang tri wangsa bekerja di rumah seorang jaba wangsa. Misalnya, seorang tri wangsa sebagai sopir, satpam, pengasuh anak di rumah seorang jaba wangsa. Jika lontar Widi Papincatan ini digunakan sebagaimana isi aturannya, akan ada golongan tri wangsa turun derajat wangsa dan tidak dapat dikembalikan lagi karena pekerjaan yang dilakukan.

Di dalam lontar Purwadigama disebutkan bahwa siapa saja yang mengawini perempuan brahmana dan perempuan ksatrya merupakan perbuatan asumundung disebutkan dalam lontar Purwadigama perempuan brahmana asumundung. perbuatan sebagai berikut.

Wang caca-cuca mangrug sanggar paryangan, wang mangrabyani tuhan, mangrabyani taniya daraning tuhan, amajehi swami panayakan, manglawani strining wiku lawan sang brahmana, amajahi sang wredacarya sampun kreta, amati lembu sekandang, mengisingi mangoyehi candi prasada, ika tan mangkana lwirnia, Asu Mundung ngarania.

Artinya:
Yang dianggap bersalah siapa saja yang merusak pura, mengawini perempuan wangsa brahmana atau keturunan ksatrya, karena mereka memiliki darah brahmana, laki-laki yang menjadi suaminya akan dibunuh, begitu juga asumundung mengawini istri pendanda, membunuh seorang pedanda, membunuh lembu satu kandang, dan mengencingi serta memberaki tempat suci, hukumannya adalah dibunuh.

Dalam lontar Dandang Bang Bungalan diatur tentang juang dan kejuang, Lontar ini juga mengatur tentang orang yang boleh dan tidak boleh dikawini. Adapun isi lontar tersebut adalah seperti berikut.

Yan wang tani ngamet siwania, situnggal bangsuh siwania, dadi kunircak, wekasania dadi kidang siyu tahun, wus dadi kidang dadi pepelikan siyu tahun, wus dadi pepelikan, dadi kedis siyu tahun, wus dadi kedis, dadi be sarapan siyu tahun, wus dadi be sarapan dadi lalipi kagila-gila siyu tahun, tanana tulak muwah

Artinya:
Apabila laki-laki golongan sudra mengambil perempuan brahmana, perempuan brahmana tersebut akan berinkarnasi  menjadi kidang 1.000 tahun, setelah menjadi kidang akan menjadi pepelikan 1.000 tahun, setelah menjadi pelikan akan menjadi burung 1.000 tahun, setelah menjadi burung akan menjadi ikan sarapan 1.000 tahun, setelah  menjadi  ikan sarapan akan  menjadi  ular  yang menjijikkan 1.000 tahun, dan tidak akan pernah berinkarnasi kembali menjadi manusia.

Kerepun (2007) juga menguraikan dari bunyi sloka tersebut dapat diketahui bahwa seorang dwijati/laki-laki brahmana dianjurkan mengawini wanita brahmana, laki-laki kesatriya mengawini wanita kesatriya, laki laki wesya mengawini wanita wesya dan laki-laki sudra mengawini wanita sudra. Namun, laki-laki yang memiliki wangsa lebih tinggi dapat mengawini perempuan dari wangsa yang lebih rendah. Misalnya, laki-laki wangsa brahmana dapat mengawini perempuan wangsa kesatriya atau wesya.

Cudrasya bhraya cudrawasa caswa ca wicah smrte te ca caiwa rajnacca tacca swa carpajnma nah

Artinya:
Telah dinyatakan bahwa wanita sudra menjadi istri seorang sudra dan wanita wesya menjadi istri-istri orang waisya, dari ketiga warna itu bersama wanita brahmana menjadi istri brahmana.

Dari bunyi sloka di atas tidak dibenarkan perkawinan wangsa lebih rendah dengan perempuan wangsa lebih tinggi. Lelaki sudra hanya boleh kawin dengan perempuan sudra; laki-laki wesya hanya boleh kawin dengan perempuan wesya dan perempuan sudra; laki-Laki kesatr ya hanya boleh kawin dengan perempuan kesatrya, perempuan wesya, dan perempuan sudra; sedangkan laki-laki brahmana boleh kawin dengan perempuan dari wangsa mana pun. Sloka 14 dan 15 kitab Menawa Dharmasastra menyatakan sebagai berikut:

Na brhmana kstriya yor apadyapi hi tishatoh kasminccdapi wrttante cudra bharyopadicyate.

Artinya:
Seorang wanita sudra tidak pernah disebut sebagai istri pertama seseorang brahmana atau ksatria sejak dahulu walaupun laki-laki ini hidup dalam kesengsaraan

Hinajati striyam mohad udwa hanto dwijatayah. kulanyewa hayantyacu sasmtanami Cudratanam

Artinya:
Orang dwijati yang karena kebodohannya kawin dengan wanita sudra akan cepat menjatuhkan martabat keluarga dan anak-anak mereka ke tingkat sudra

Dari bunyi sloka di atas terlihat jelas bahwa dalam kitab Menawa Dharmasastra dianut sistem wangsa, karena selalu mengacu pada kelahiran atau keturunan tidak berdasarkan guna dan karma. Dipihak lain dalam sistem warna anak seorang brahmana tidak otomatis menjadi brahmana, misalnya kalau anak tersebut menjadi buruh atau pelayan.

Dasar pertimbangan wangsa yang lebih tinggi bisa mengawini perempuan dari wangsa yang lebih rendah karena laki-laki dari wangsa yang lebih tinggi dianggap memiliki kemampuan, baik kemampuan keilmuan maupun kemampuan materi. 01eh karena itu, laki-laki dari wangsa lebih tinggi tersebut dipandang memiliki kemampuan yang lebih dari  laki-laki wangsa yang lebih  rendah dalam membimbing, membina, dan memberikan perlindungan terhadap perempuan. Sebaliknya, seorang perempuan dari wangsa brahmana dilarang kawin dengan laki-laki dengan wangsa di bawahnya atau berbeda wangsa karena perempuan dari wangsa brahmana tersebut akan sukar menyesuaikan diri dengan suami yang berasal dari wangsa yang lebih rendah.

Lebih lanjut sloka 16 sampai dengan sloka 17 bab III kitab Manavva Dharmasastra diuraikan seperti di bawah ini.

Cudrawedi pataryatre rutathyata nayasya ca caunakasya sutotpattya tadapatya taya bhrgoh.

Artinya:
Ia akan jatuh hina, menurut Atri dan Gautama, putra Utathya, bila mengawini wanita sudra, menurut Saunaka bila ia tidak mempunyai anak laki-laki menurut Bhagawan Bhrgu ia yang mempunyai anak laki-laki dari wanita sudra

Cudram cayanamaropya brahmano yatyadhoga tim janayitwa sutam tasyam rahmanyadewa hiyate.

Artinya:
Seorang brahmana yang membawa wanita sudra ke tempat tidurnya setelah meninggal akan jatuh neraka. Kalau dia berputra daripadanya, ia akan hilang ke tingkat kebrahmanaannya

Uraian sloka di atas menegaskan bahwa Manawa Dharmasastra mengatur perkawinan sederajat atau sama warna. Apabila dilanggar, akan membawa kehinaan bagi pasangan dan kelurga mempelai. Apabila turunan warna yang lebih tinggi mengawini wanita sudra dan menurunkan putra, turunan mempelai laki-laki akan jatuh hina dan turunan dari sudra tersebut adalah hina atau kapatita. Hal itu terjadi karena menganggap perempuan sudra adalah perempuan biasa yang tidak memiliki kemampuan lebih, sedangkan laki laki kalangan brahmana, ksatrya, tivaisya mempunyai kelebihan bidang ilmu dan ekonomi.

Dari sloka-sloka kitab Manawa Dharmasastra tersebut dapat diketahui ada larangan bagi seorang laki-laki dari wangsa, brahmana, kesatria, dan wesya mengawini perempuan wangsa sudra (perkawinan anuloma). Demikian pula laki-laki wangsa sudra dilarang mengawini perempuan wangsa brahmana, kesatria, wesya (perkawinan pratiloma). Apabila seorang laki laki brahmana mengawini wanita sudra dan berputra atau mempunyai anak dari perkawinan tersebut, martabatnya sebagai brahmana akan jatuh (patita).

Sanksi perkawinan yang dilakukan oleh (aki-laki wangsa sudra jika menikahi atau mengawini perempuan wangsa yang lebih tinggi (pratiloma) diatur pula dalam kitab Manawa Dharmasastra, bab VIII, sloka 374, 375, 376, 378, 379, 382, 384, dan sloka 385, yang bunyinya sebagai berikut:

Cudro guptanaguptam wa dwijatam warnamawasan agupta mangga sarwaswair guptam sawena hyate

Artinya:
Seorang srudra yang besetubuh dengan golongan yang dwijati, baik yang dijaga maupun tidak, akan dihukum dengan cara berikut. Jika ia tidak dijaga, la kehilangan bagian yang salah dan semua miliknya, tetapi jika dia masih di bawah pengawasan, kehilangan segala sesuatunya, bahkan nyawanya sekalipun.

Waicyah sarwaswa dandah syat samwatsaranirodhatah sahasram ksatrivo dandyo maundyam mutrena carhati

Artinya:
Karena persetubuhan dengan perempuan brahmana, semua kekayaan seorang waisya akan disita, setelah dihukum selama setahun, bagi ksatria dihukum denda, sebesar seribu fana dan kemaluannya dicukur supaya seperti keledai.

Brahmanim yadyaguptam tu, acchetam waicva parthiwau waicyam pancacatam kuryat ksatriyam tu sahasrinam.

Artinya:
Jika seorang waisya berhubungan dengan wanita brahmana yang tidak dijaga, hendaknya waisya dihukum sebesar lima ratus pana dan untuk ksatria hukumannya sebesar seribu pana.

Sahasram brahmano dandyo guptam wipram balad brajan catani panca dandyah syad icchantya saha samgatah

Artinya:
Seorang brahmana yang secara jasmani mengetahui, wanita brahmana di bawah pengawasan, bertentangan dengan kehendak, dihukum denda sebanyak seribu pana, tetapi dia akan didenda sebesar lima ratus pana jika mengadakan hubungan dengan ia yang suka sama suka

 

Maundyam pranantiko dando, brahmanasya tividhiyate, iteresam tu warnanam, dandah pranantiko bhawet

Artinya:
Hukuman potong rambut, dikenakan bagi brahmana sebagai pengganti hukuman badan tetapi laki-laki dari golongan lain akan dihukum mati.

Waicyaccet ksatriyam guptam waicyam wa ksatriyonwrajet yo brahmanyamaguptayam tawubhau dandamarhatah

Artinya:
Bila seorang waisya berhubungan dengan dengan wanita ksatria, yang di bawah pengawasan atau seorang ksatria dengan wanita waisya yang di bawah pengawasan, kedua-duanya layak dihukum dengan hukuman yang sama, seperti halnya dengan wanita brahmana yang tidak di bawah pengawasan.

Ksatriyayamaguptayam waicye pancacatam damah mutrena maundyam icchettu kstriyo dandamewa wa

Artinya:
Untuk bersetubuh dengan wanita ksatria yang tidak dalam pengawasan, dihukum denda sebesar lima ratus pana bagi laki-laki golongan waisya. tetapi hukuman yang sama juga bagi laki-laki ksatria, kemaluannya dicukuri seperti kemaluan keledai atau didenda.

Agupte ksatriyawaicye cudram wa brahmano brajan catani panca dandyah syat sahasram twam tyaja striyam.

Artinya:
Seorang brahmana yang bersetubuh, dengan wanita ksatria, waisya, atau sudra, yang tidak di bawah pengawasan, akan didenda sebesar lima ratus pana. tetapi untuk bersetubuh dengan golongan yang lebih rendah didenda sebesar seribu pana 

 


Sumber

Upacara Patiwangi

Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M. Si., Prof. Dr. Dra. Relin D.E., M. Ag., Dra. Ni Gusti Ayu Kartika, M. Ag., Jero Ayu Ningrat, S. Ag. M. Ag.



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga