Benang Merah Antara Tajen dan Tabuh Rah


Tajen dan tabuh rah memiliki perbedaan yang mendasar meskipun sama-sama sabung ayam, tajen merupakan bentuk hiburan yang lekat dengan kegiatan judi sedangkan tabuh rah adalah murni kegiatan ritual keagamaan. Kegiatan sabung ayam sebagai bentuk perjudiaan tidak dibenarkan menurut agama Hindu. Selain itu uang menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan tajen masih ada. Di wilayah agama, uang memiliki makna simbolik yang sangat kuat baik secara denotatif maupun konotatif. Secara denotatif uang digunakan sebagai pembiayaan upacara dan sekaligus untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di banjar dan pura-pura, sedangkan secara konotatif uang digunakan sebagai sarana upakara. Dalam judi tajen konteks pengertian fungsi simbolik uang tanpa disadari telah mengalami pergeseran makna ketika uang dijadikan alasan untuk resistensi adat dan resistensi kolektifitas mabanjar. Judi tajen dianggap sah dan dipertahankan karena dianggap penting dalam rangkaian ritus agama dan ritus sosial.

Sedangkan menurut kitab suci Manawadharmasastra dan Rg Weda mengatakan bahwa segala bentuk perjudian khususnya tajen sangat dilarang karena melanggar norma agama dan hukum. Pemerintah dalam hal ini Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati agar perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran keluarga, masyarakat dan negara. Para penjudi digolongkan sebagai orang-orang disebut pencuri-pencuri tersamar yang mengganggu ketenteraman hidup orang baik-baik karena judi menimbulkan pencurian, permusuhan dan kejahatan.

Dalam upacara Bhuta Yadnya selalu dirangkai dengan sabungan ayam, dan dimaknai sebagai Tabuh Rah. Masyarakat memahami bahwa tajen dan tabuh rah adalah sama, pada hal keduanya mempunyai fungsi dan makna yang berbeda.

Tabuh rah adalah penaburan darah binatang ayam sebagai somia pada para bhuta kala agar mereka tidak mengganggu, sedangkan tajen adalah sambungan ayam yang murni sebagai permainan judi. Belakangan ini banyak upacara yang dijadikan tameng untuk menyelenggarakan tajen oleh para bebotoh. Menjadi sebuah paradoks, ritual yang suci selalu dijadikan media judi tajen untuk mencari kesenangan. Fenomena ini sangat penting untuk dikaji secara mendalam dan holistik, agar permasalahannya dapat dipecahkan dan Bali tidak kehilangan taksu dan kesuciannya.

Tajen maupun Tabuh rah merupakan sebuah tradisi sabung ayam di Bali yang dilakukan dengan memasangkan taji, yaitu sebuah pisau kecil yang dipasangkan di kaki dua ayam jantan yang diadu sebagai senjata untuk membunuh lawannya. Ini bahkan dilakukan di Pura selain di arena tempat-tempat wisata yang memang menyediakan arena sabung ayam atau tajen sebagai daya tarik wisata.

Tajen dianggap sebagai sebuah proyeksi profan dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan pada saat tilem. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ke tanah dianggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan naik tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia.

Lantas bagaimana ritual suci semacam tabuh rah berubah menjadi tajen?

Hal itu tidak lepas dari daya pikat yang ditampilkan dari seni bertarung dua ayam jagoan. Asal tidak melampaui batas secara hukum adat. Apalagi aturan main antar-sesama bebotoh harus dipatuhi. Aturan itu ternyata juga disebutkan dalam lontar Darma Pajuden. Kalaupun ada yang curang, otomatis tidak akan ada yang mengajaknya bertaruh lagi.

Maka, muncul pemahaman, ada perbedaan jelas antara tabuh rah dan tajen, meski awal mula tajen memang dari pelaksanaan tabuh rah. Tabuh rah adalah rangkaian upacara, berbeda dengan tajen atau krecan (dari kata ica yang artinya tertawa). Jadi, falsafah tabuh rah dan tajen tidak boleh dibaurkan agar tidak menimbulkan degradasi tatwa (nilai).

Meski tergolong sebagai ritual upacara, ternyata tabuh rah tidak dilakukan di semua daerah di Bali. Bila suatu daerah sudah berkeyakinan harus melaksanakan upacara tabuh rah, maka diyakini mutlak pula dilakukan. Kalau tidak, justru akan mendatangkan musibah (sima) bagi daerah tersebut.

Perkembangan selanjutnya, beberapa daerah menyimbolkan penyembelihan ayam dengan mengadu kelapa dengan telur, sampai telurnya pecah. Namun, ada daerah yang mengganti kebiasaan itu dengan cara mengadu ayam, yang akhirnya berkembang menjadi tajen, berasal dari kata tajian, karena setiap kaki kiri ayam aduan selalu dipasangi taji.

Secara sosiologis, pelaksanaan tajen ada tiga macam.

  1. Pertama, tajen dalam ritual tabuh rah yang lazim diadakan berkaitan dengan upacara agama. Tabuh berarti mencecerkan dan rah adalah darah. Pelaksanaan tajen dalam tabuh rah dianggap sebagai bagian dari rangkaian pelaksanaan upacara sehingga pelaksanaannya tidak dilarang.
  2. Kedua, tajen terang sengaja disuatu arena untuk menggalang dana. Beberapa desa adat ada yang tidak melarang, bahkan setiap desa adat memiliki awig-awig yang mengatur tata cara tajen meski tidak tertulis. Dengan melibatkan pecalang, bahkan didahului dengan upacara kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara berlangsung.
  3. Ketiga, tajen branangan yang tanpa didahului izin kepala desa adat serta semata-mata berorientasi judi. Ada perbedaan mendasar. Kalau tajen terang, meski memakai taruhan, soal menang dan kalah bukan hal terpenting. Yang utama, mendapat hiburan.

Berbeda dengan tajen branangan yang bisa disebut pelalian (bermain), karena rata-rata yang terlibat lebih mengutamakan berjudi, bahkan sampai lupa diri.

Terlepas dari pandangan serta sorotan tentang tajen, sebenarnya kegiatan ini telah mengacu kepada aktivitas budaya yang rasanya amat sulit untuk dilepaskan dari dinamika kehidupan masyarakat Bali. Beberapa waktu lalu, tajen bahkan telah dikemas sebagai atraksi wisata bagi wisatawan asing. Nyatanya wisatawan asing yang disuguhi atraksi langka itu sangat antusias sewaktu menyaksikannya. Agar lepas dari pendapat pro dan kontra, tajen memang lebih pas bila diteropong dari kacamata budaya Bali.

Dalam tradisi tajen berikut beberapa kata-kata istilah yang sering digunakan di arena tajen:

  • Blolong : Curang
  • Buik : Bulu ayam yang berwarna-warni
  • Tluda : Taruhan dengan perbandingan 2:3
  • Gasal : Taruhan dengan perbandingan 80:100
  • Gocek : Sabung ayam
  • Dapang : Taruhan dengan perbandingan 90:100
  • Pada : Sama
  • Taji : Pisau yang dipasang di kaki ayam untuk melukai ayam lawan
  • Apit : Taruhan dengan perbandingan 1:2
  • Balu : Seri
  • Limiin : Taruhan dengan perbandingan 5;2
  • Srawah : Ayam jantan berbulu hitam dan putih
  • Wangkas : Ayam jantan yang dadanya berwarna putih dan merah Biing : Ayam berbulu merah Selem : Warna Hitam Lebo : Warna sedikit merah/kemerahan
  • Ijo : Warna hijau
  • Papak : Ayam jantan yang bentuknya seperti ayam betina
  • Ceeng : Pengukur waktu dalam tajen
  • Saet : putaran tajen
  • Klecan : Sabung ayam
  • Saye : Hakim dalam tajen
  • Merang : Posisi pemakaian taji
  • Ngabir : Posisis pemakaian taji
  • Sor : Bawah
  • Tegil : Kaki ayam
  • Tatu : Luka
  • Kruput : Menangkap ayam dengan kurungan ayam
  • Ules : Warna ayam
  • Kembar : Kembar
  • Bebotoh : Orang yang senang melakukan sabung ayam
  • Toh : Taruhan
  • Tajen : Sabung Ayam
  • Adu : Tanding
  • Cok : Taruhan dengan perbandingan 75:100
  • Kangin : Merujuk ayam yang ada di arah timur
  • Kauh : Merujuk ayam yang ada di arah barat
  • Ukud : Ekor




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait