Cerita Cupak dan I Grantang


I CUPAK BERKHIANAT

Setelah I Cupak dibangunkan, mereka bertiga segera bergegas meninggalkan tempat itu. Pada saat itu hari telah sore. Matahari telah condong ke barat. Setelah semuanya bersiap-siap, barulah mereka berangkat beriringan meninggalkan gua. Mereka kembali menelusuri jalan setapak. Kadang­kadang mereka harus berjalan sambil menunduk, bahkan harus merangkak. Hati I Grantang sangat senang sebab Raden Galuh tidak mengeluh.

Walaupun malam telah tiba. mereka masih melanjutkan perjalanan. Namun, ketika malam semakin gelap dan mata tak mampu lagi menembus kegelapan. mereka memutuskan untuk beristirahat. Mereka membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Di saat itulah Raden Galuh baru merasakan kepenatan di seluruh tububnya. Ia langsung duduk pada batu yang besar. Tak lama kemudian Raden Galuh pun tertidur.

Hampir dua hari dua malam I Grantang tidak tidur. Karena itu, ketika kantuk mulai datang, I Grantang pun segera merebahkan diri. Sebelum tertidur, ia sempat berpesan kepada kakaknya agar berjaga-jaga kalau ada bahaya. Meskipun berat, I Cupak akhirnya menyanggupinya.

Malam itu Iangit sangat cerah. Bintang-bintang bertaburan tak terhitung jumlahnya. Sekali-sekali terdengar Iolongan serigala. Gemericik air pun terdengar dengan jelas. Daun-daun bergoyang pelan dihembus udara malam. I Cupak kedinginan. Ia kermudian mendekati api unggun. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Ia rnelihat ke kiri dan ke kanan, sepi tak ada siapa-siapa.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba ada bayangan hitam bergerak- gerak mendekati I Cupak. Mula-mula I Cupak tidak melibat. Ia malah menekukkan kedua kakinya, kemudian kepalanya menunduk. I Cupak mengantuk. Tetapi, rasa kantuk I Cupak hilang seketika tatkala ia melihat seorang raksasa mendekatinya. I Cupak tidak berani bergerak. Ia diam saja karena sangat ketakutan. Ketika raksasa itu memandanginya, I Cupak rnemejamkan matanya. Ia pura- pura tertidur.

Ternyata, raksasa itu mendekati Raden Galuh yang sedang tertidur lelap. Kedua tangan raksasa itu kemudian mengangkat tubuh Raden Galuh dan diletakkannya di atas pundak kirinya. Dengan langkah yang sangat cepat, raksasa itu kemudian melarikan diri menembus kegelapan malam.

I Cupak langsung berteriak-teriak membangunkan adiknya, “Dik … Dik … Dik, Tuan Putri dilarikan raksasa,” jelasnya. “Raksasa itu sebenarnya dapat aku kalahkan. Ia kutendang dan jatuh berguling-guling sampai di dekat Tuan Putri. Lalu, raksasa itu bangun dan melarikan Tuan Putri,” I Cupak mengarang cerita membohongi adiknya.

kemudian mendekati batu itu. Benar juga dugaannya, di belakang batu itu temyata terdapat gua yang sangat besar.

“Bagaimana kita memasukinya?” tanya I Cupak kepada adiknya.

Setelah berpikir sejenak, akhimya I Grantang menemukan cara untuk memasuki gua itu. Ia lalu mencari akar beringin yang sangat panjang. Akar itu kemudian diikatkan pada batu di mulut gua. Setelah itu, I Grantang menuruni gua terlebih dahulu, kemudian I Cupak menyusulnya.

Sampai di bawah, mereka terheran-heran sebab ada lorong-lorong seperti kamar. Di depan lorong-lorong itu terdapat batu-batuan yang ditata seperti tempat upacara persembahan kepada dewa. I Grantang semakin yakin kalau tuan putri pasti ada di gua ini. Tempat semacam itu pernah ia jumpai di Padang Werasa ketika membebaskan tuan putri dari tangan I Manaru.

“Hati-hatilah, Kak!” kata I Grantang kepada I Cupak.

Belum sempat I Cupak menjawab, tiba-tiba ada batu sebesar kepala kerbau melayang ke arahnya. Batu itu disambut dengan tangan kanan I Grantang. Prak … , batu itu pecah berkeping-keping. Bersamaan dengan itu, terdengar umpatan kasar dan suara teibahak-bahak dari salah satu lorong gua. Tak lama kemudian, muncullah seorang raksasa yang tinggi dan besar. I Grantang telah bersiap-siap, ia memasang kuda­kuda. Kakinya direntangkan sedikit, matanya memandang .. dengan tajam.

Begitu- raksasa itu membentak, I Cupak jatuh terduduk. Ia sangat ketakutan. Mukanya pucat, napasnya tersengal-sengal. Raksasa itu kemudian menyerang I Grantang dengan kaki dan tangan bergantian. Semua serangan dapat dihindari I Grantang dengan mudah.

Suatu ketika kaki I Grantang berhasil mengenai perut raksasa. Buk … : bunyi perut raksasa terkena tendangan I Grantang. Raksasa tersebut terdorong ke belakang dan jatuh terduduk. Ia kemudian bangkit dan kembali menyerang. Raksasa itu meloncat dengan kaki kanan lurus ke depan, sedangkan kaki kirinya ditekuk. sambil meloncat menyerang.

I Grantang memiringkan tubuh ke kiri sambil tangan kanannya mengirimkan serangan. Tapi, raksasa itu sangat luar biasa. Ia tahu kalau serangannya akan gagal!. Raksasa itu kemudian menjatuhkan diri dan berguling-guling menjauh. Perkelahian itu semakin lama semakin seru. Telah delapan puluh jurus dikeluarkan, tetapi belum tampak siapa yarig kalah dan siapa yang menang.

Tiba-tiba raksasa itu berteriak keras-keras. Teriakannya memekakkan telinga. I Cupak yang bersembunyi di balik batu berusaha menutupi telinganya. Meskipun begitu, ia gemetaran sambil kesakitan. I Grantang menyadari kalau raksasa itu mengeluarkan ilmu gelap ngampar. Siapa yang tidak kuat mendengarkan teriakannya, ia akan mati mengerikan. Darahnya akan keluar dari telinga dan matanya.

I Grantang tidak mau mati mengerikan, ia lalu mengatur pernafasannya. Setelah itu, ia kemudian melepaskan ikat kepalanya. Ikat kepala tersebut dilipatnya menjadi segi tiga, kemudian I Grantang meniup lipatan itu. Tak lama kemudian terdengarlah bunyi “siut…,” mengimbangi suara tertawa itu. Siutan nyaring itu mengalahkan ilmu gelap ngampar kebanggaan raksasa.

Keringat raksasa itu keluar bercucuran, baunya bukan main busuknya. Ia kemudian menerjang I Grantang dengan membabi buta. Suatu ketika I Grantang berhasil menangkap pergelangan tangan Raksasa. I Grantang ingin membanting raksasa itu dengan ilmu andalannya. Tapi, tangan raksasa itu terasa licin sebingga terlepas dengan sendirinya. Hal semacam itu terjadi berulang-ulang. Setiap tangan atau kaki raksasa dapat ditangkap, saat itu pula tangan atau kaki tersebut terlepas kembali.

“Gila, ilmu belut putih,” kata I Grantang dalam hati.

“Anak sombong, kini ajalmu ada di tanganku. Kematianmu sudah dekat,” kata raksasa sambil melancarkan serangan yang bertubi-tubi. I Grantang agak kewalahan juga diserang seperti itu. Tiba-tiba I Grantang meloncat tinggi-tinggi. Sambil meloncat, tubuh I Grantang berputaran di udara. Ketika mendarat, tubuh I Grantang menjadi banyak. Ada lima I Grantang. Sekarang, raksasa itu yang kebingungan. Ia lalu menggaruk-garukkan kepalanya. Tak lama kemudian, kedua tangannya mencengkeram ingin menangkap I Grantang.

Karena kebingungan, serangan raksasa menjadi tidak keruan. Kelima tubuh I Grantang bergerak lincah menghindar ke kanan dan ke kiri. Yang satu kadang menyerang, yang lain kadang bertahan. Pada saat raksasa kebingungan, I Grantang yang asli mengangkat tangannya lurus ke atas. Tangan kirinya menyilang di depan dada; Sesaat kemudian, I Grantang meloncat dan memukul raksasa itu tepat di dadanya.

Raksasa itu terlambat menghindar. Duk … , pukulan I Grantang merontokkan isi dadanya. Tubuh raksasa itu terlempar ke belakang dan membentur dinding gua. Napasnya pun putus seketika. I Grantang termangu-mangu sejenak. Ia bersyukur kepada dewata karena dapat membunuh raksasa.

I Cupak segera keluar dari persembunyiannya. Ia memuji kehebatan adiknya. Mereka kemudian mencari Raden Galuh. Temyata, Raden Galuh diikat kaki dan tangannya. Setelah ikatan-ikatan itu dilepas I Grantang, Raden Galuh menangis terisak-isak, “Untung Kakak cepat datang. Kalau tidak, aku sebentar lagi akan mati,” kata tuan putri sambil terisak-isak.

“Dewa masih menyelamatkan kita, Raden,” kata I Grantang mencoba menghibur tuan putri.

Setelah agak lama beristirahat, mereka kemudian bergegas meninggalkan gua itu. I Cupak keluar terlebih dahulu. la memanjat dinding gua dengan menggunakan akar beringin seperti yang dilakukannya ketika ia menuruni gua itu. Setelah sampai di atas, barulah Raden Galuh mendapat giliran berikutnya. Ia pun harus seperti I Cupak, memanjat pelan­pelan sambil tangannya berpegangan pada akar beringin itu. Raden Galuh pun akhirnya sampai di atas dengan selamat meskipun tangannya sedikit terluka. I Cupak meminta agar Raden Galuh agak menjauh dari lubang gua itu.

Ketika I Grantang sedang memanjat, tiba-tiba I Cupak memotong akar itu dari atas. Cres … , bruk … Bunyi akar terputus dan I Grantang terjatuh membentur dinding-dinding dalam gua. I Grantang sama sekali tidak menduga kalau kakaknya yang melakukannya. Ia hanya berpikir akar itu terputus dengan sendirinya.

Raden Galuh juga tidak menyangka kalau I Cupak tega mengkhianati adiknya. I Cupak mengatakan kepada Raden Galuh bahwa akar yang sedang dipanjat I Grantang terputus secara tiba-tiba. Seketika itu, hati Raden Galuh kembali bersedih. Ia meneteskan air mata.

“Mari kita pulang, Tuan Putri,” kata I Cupak membujuk Raden Galuh. “Kalau adik saya memang jodoh Tuan Putri, dewa pasti menyelamatkannya.”

Sebenarnya ada perasaan tidak percaya terhadap penjelasan I Cupak. Tapi, Raden Galuh diam saja. Ia sangat ketakutan melihat I Cupak yang merah matanya. Namun, setelah dibujuk berulang-ulang, Raden Galuh pun akhirnya menurut ketika I Cupak mengajaknya ke Daha




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait