Cerita Cupak dan I Grantang


PERTEMUAN RADEN GALUH DAN I GRANTANG

Pada malam harinya Men BeKung membungkus bunga pesanan tuan putri. I Grantang membantli menata bunga melati, bunga seruni, bunga cempaka, dan bunga tanjung. Bunga-bunga itu sengaja dipilih yang masih bagus. I Grantang juga membantu membungkus bunga-bunga itu. Bungkusannya sengaja ditata dengan sangat rapi. Sampai­sampai Men Bekung terheran-heran.

“Anakku, ibu tidak menyangka pekerjaanmu bisa rapi seperti itu,” kata Men Bekung memecah kesunyian.

“Bukankah bunga ini pesanan tuan putri?” I Grantang balik bertanya.

“Iya, tapi biasanya bungkusanmu tidak rapi seperti itu.”

“Sekali-sekali rapi kan boleh. Apa lagi bunga ini akan dibeli tuan putri,” jawab I Grantang pelan.

Sambil membungkus bunga, Men Bekung dan I Grantang kemudian asyik bercerita. Kadang-kadang Pan Bekung ikut tertawa bila Men Bekung bercerita yang lucu-lucu. Ketika malam mulai larut, mereka pun segera cepat-cepat tidur.

Keesokan barinya, ketika Men Bekung bersiap-siap berangkat ke Kota Raja, I Grantang memberi sesuatu.

“Ibu, tolong lbu pakai cincin ini. Kemarin hampir jatuh ke laut.” Kata I Grantang sambil melepas cincin dari tangan kirinya.

“Bagus sekali,” kata Men Bekung sambil mengamat-amati cincin itu. Cincin itu kemudian dipakainya di jari kiri, temyata terlalu besar. Lalu, dicobanya di jari kanan, ternyata pas.

“Dari mana dncin ini, Anakku?” tanya Men Bekung kemudian.

“Cincin itu saya temukan di dalam gua,” jawab I Grantang bohong.

Setelah memberikan cincin itu, I Grantang dan Pan Bekung segera berangkat mencari ikan ke laut. Demikian pula dengan Men Bekung, ia pun kemudian berangkat ke kota raja.

Hari itu Men Bekung Iain dari biasanya. Rambut Men Bekung disisir rapi. Ia memakai minyak rambut supaya tetap wangi. Tidak Iupa ia pun menyelipkan bunga melati supaya lebih cantik. Men Bekung tidak merasa malu kalau dirinya sudah uzur. Pipi sudah kendur dan sebentar lagi masuk kubur. Pikirannya tetap muda walaupun gigi mulai banyak yang ompong.

Ketika sampai di Kota Raja, hari telah siang. Men Bekung langsung menuju istana. Ia berjalan dengan pelan. Ayunan tangannya sengaja dilambatkan agar cincin yang dipakainya kelihatan. Men Bekung tidak mengalami kesulitan ketika mencari tuan putri. Ia malah diantar oleh berapa prajurit sampai di keputren.

“Tuan Putri, Bibi Bekung telah datang, kata pengawal itu dari luar.

rfSiJakan masuk, Bibi,” jawab tuan putri dari dalam.

Men Bekung segera mendorong pintu itu. Setelah pintu terbuka, ia melangkab mendekati sang putri.

“Mana bunganya, Bibi? Raden Galuh bertanya. “Ini, Tuan Putri.”

Men Bekung menyembah Jalu mendekat. Ia kemudian menyerahkan bunga-bunga pesanan Raden Galuh. Setelah bungkusan itu dibuka, Raden Galuh sangat gembira. Bunga itu masih segar-segar. Baunya semerbak memenuhi ruangan. Ia sangat menyukai bunga itu. Raden Galuh kemudian meminta Men Bekung supaya merangkat bunga melati.

Ketika Men Bekung a yik menyu..,un bunga itu, tib&-tiba Raden Galuh melihat cincin yang dipakai Men Bekung. “Bibi, cincin Bibi lndah sekali,” kata Raden Galuh sambil mengamati cincin iyu. “Bibi, boleh saya meminjam sebentar?” Tanya Raden Galuh kemudian.

“Ini Raden,” kata Men Bekung sambil menyerahkan cincin kepada Raden Galuh.

Raden Galuh menerima cincin itu. la kemudian mengamati cincin tersebut dengan teliti. Lalu, dicobanya. Ternyata, dncin itu pas betul dengan jari tangan kanannya. Raden Galuh menghela napas. Cincin itu lalu dilepas kembali.

“Terima kasih, Bibi,” kata Raden Galuh sambil menyerah­kan cincin itu kepada Men Bekung.

Mereka kemudian berdiam diri. Men Bekung asyik merangkai bunga melati, sedangkan Raden Galuh merenung diri memikirkan sesuatu yang pernah dialam (‘”Kakak Grantang masib bidup. Cincin itu pasti pemberian Kakak Grantang,” Raden Galuh mencoba menduga-duga. Ia kemudian tersenyum sendiri. Untung Men Bekung tidak melihatnya.

“Tuan Putri, ini bunganya sudah selesai,” kata Men Bekung memecahkan suasana.

“Bagus sekali, Bibi,” kata Raden Galuh sambil menerima rangkaian bunga melati. “Bibi, boleh saya ke rumah?” lanjut Raden Galuh sambil mengamati Men Bekung dengan tajam.

“Rumah bamba jauh, Tuan Putri,” jawab Men Bekung berdebar-debar.

Men Bekung kemudian asyik bercerita tentang kehidupan desa, tentang kehidupan suaminya, dan tentang suasana pasar. Raden Galuh mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita Men Bekung. Mereka kadang tertawa bersama ketika Men Bekung bercerita hal yang lucu. Ketika hari mulai sore, Men Bekung segera minta diri. Ia diberi uang lima ratus kepeng oleh tuan putri. Men Bekung mengucapkan terima kasih berkali-kali. Ia tidak menduga kalau akan mendapat uang sebanyak itu.

Setelah Men Bekung pergi, Raden Galuh segera memanggil pembantu kepercayaannya. Kepada pembantunya itu Raden Galuh bercerita tentang cincin permata yang dipakai Men Bekung. la yakin cincin itu bukan kepunyaan Men Bekung. Tapi, kepunyaan I Grantang. Cincin itu telah · diberikan kepada I Grantang ketika ia dibebaskan dari cengkeraman I Manaru.

“Bagaimana pendapatmu, Bibi?” tanya Raden Galuh kepada abdi kepercayaannya.

“Maafkan hamba, Tuan Putri. Menurut hamba, Bibi Bekung pasti ada hubungannya dengan i Grantang,” jawab pembantu itu.

‘Dugaanku juga demikian, Bibi. Kalau begitu, bagaimana kalau Bibi Bekung kita ikuti dari kejauhan?”

“Terserah, Tuan Putri. Hamba hanya menurut.”

Raden Galuh itu pun kemudian keluar keputren melalui pintu samping. Ia ditemani oleh dua orang pembantunya yang sangat setia. Raden Galuh mengenakan kain tipis untuk menutupi kepalanya. Kalau bertemu dengan prajurit, Raden Galuh menutupi sebagian wajahnya dengan kain itu. Ia berjalan sambil menunduk. Kedua pembantunya pun melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan Raden Galuh.

Saat itu hari mulai sore, I Grantang baru saja- mandi. Sambil bersiul-siul, ia berbenah diri. Ia berkain indah dan berikat pinggang. Rambutnya disisir rapi. Wajahnya tampak berseri-seri. Ketika I Grantang asyik berbenah diri, Men Bekung datang. Ia tersenyum melihat anaknya bersiul-siul sambil berhias diri. Dalam hati Men Bekung memuji, anak angkatnya memang tampan sekali.

“Oh … , Ibu sudah datang. Mengapa Ibu diam saja?” kata I Grantang sambil berjalan keluar rumah.

“Aduh Anakku. Raden Galuh sangat menyenangi bunga a oka dan melati.” Men Bekung langsung bercerlta sambil meletakkan bar1mg-barang yang ia beli di pa ar. “Semua bunga itu dibayarnya lima ratus kepeng. Saya beran mengapa Tuan P.utri baik sekali?”

I Grantang diam saja. Ia senang melib_at ibu angkatnyil bercerita tentang kebaikan Raden Galuh.

“Anakku: ketika melibat cincin pemberianmu ini, Tuan Putri terkejut,” lanjut Men Bekung sambil menunjuk cincin yang dipakai di jari kanannya. “la meminjam cincin ini dan dipakai di jari kanannya. Raden Galuh terus terenung, matanya berkaca-kaca,” Men Bekung melanjutkan cerita.

I Grantang tersenyum gembira. Tapi, kegembiraan itu disembunyikannya. Sebenarnya, Men Bekung ingin bercerita kalau di dalam keputren ia diajak makan oleh putri Galuh. Namun, belum sempat Men Bekung bercerita tidak disangka-sangka Raden Galuh datang diiringi dua pengasuh. Setelah kain penutup dilepas, Raden Galuh berlari-lari mendekati I Grantang. Ia mengguncang-guncang pundak I Grantang sambil memukul-mukul pundaknya.

“Duh kakakku, mengapa Kakak tak ke istana mencariku?” tanya Raden Galuh sambil menangis tersedu-sedu.

Belum sempat I Grantang menjawab pertanyaan Raden Galuh, l Grantang melihat Men Bekung dan Pan Bekung telah berada di situ. Mereka berdua duduk keheran-beranan melibat Raden Galuh dan I Grantang. Bahkan, kedua orang tua itu menyembah berkali-kali.

‘Tuan Putri, siapakah sebenamya tuan ini Maafkan bamba yang telah berani menganggap tuan muda ini sebagai anak angkat hamba, Pan Bekung ketakutan;

“Tuan muda ini, kalau bangun kesiangan, sering saya marahi, Tuan Putri.’; Kata Men Bekung menambahkan.

”Bibi dan Paman tidak usah menyembah seperti itu, kata Raden Galuh sambil menarik tangan Men Sekung supaya berdiri. ”Pemuda ini calon suami saya Paman, I Grantang inilah yang menyelamatkan saya ketika diculik raksasa.

“Hamba mohon ampun tuan, kata Pan Bekung dan Men Bekung sambil menyembah I Grantang.

“Bapak dan lbu mengapa jadi berubah? Saya tetap I Grantang’ kata l Grantang sambil menarik lengan kedua orang tuanya agar berdiri, “tanpa Bapak dan lbu, saya pasti telah lama mati. Sayalah yang harus berterimakasih kasih kepada Bapak dan lbu.’

. “Tuan Putri, mengapa Putri bisa berpisah dengan anakku” tanya Men Bekµng.

I Grantang dan Raden Galuh akhirnya bercerita mengapa mereka sampai berpisah. I Grantang bercerita selama di Daha dan juga ketika disiksa prajurit pengawal kakaknya yang jadi Mantri Anom. Raden Galuh pun tak mau kalah bercerita bgtapa takutnya ketika dibawa I Cupak ke Kota raja. Tak ketinggalan, Pan Bekung pun bercerita saat ia menemukan tubuh I Grantang terapung. akhirnya mereka bercerita sampai larut malam.

PERNIKAHAN I GRANTANG DAN GALUH, SERTA DIUSIRNYA I CUPAK DARI KOTA RAJA

Keesokan harinya Raden Galuh, I Grantang, Pan Bekung, Men Bekung, dan kedua pengawal tuan putri pergi bersama ke kota raja. Agar tidak menarik perhatian orang, pagi-pagi sekali mereka berangkat. Setelah sampai di kota raja, mereka langsung menghadap baginda. Dengan senang hati baginda raja menerima kedatangan mereka. Raden Galuh kemudian memberanikan diri bercerita tentang kejadian yang sebenarnya. Ia memberitahukan kepada, ayahnya bahwa I Grantanglah yang sebenarnya membunuh raksasa.

Anakku I Grantang, benarkah yang diceritakan oleb putriku? tanya baginda kepada I Grantang.

“Betul, Baginda, jawab I Grantang singkat.

“I Cupak memang kurang ajar! Ia pantas dihukum. Pengawal! siapkan pasukan dan tangkap Mantri Anom!” titah baginda seketika.

“Daulat, Baginda,” kata salah seorang pengawal istana sambil menyembah. Pengawal itu kemudian mengundurkan diri dari pertemuan tersebut. Ia kemudian mengajak para prajurit bawabannya untuk menangkap Mantri Anom. Tak Jama kemudian terdengar derap kuda meninggalkan istana.

“Anakku, I Grantang, janjiku kepadamu akan kutepati,” kata baginda kepada I Grantang, “karena kau telah menyelamatkan putriku kau akan kujodobkan dengannya.

I Grantang diam saja. hanya menunduk dan bersyukur kepada para dewa. Baginda betul-betul raja yang bijaksana, ia menepati janji akan menjodobkan Raden Galuh dengan dirinya. Hati I Grantang betul-betul bersuka cita. Pan Bekung dan Man Bekung juga ikut senang, wajahnya berseri-seri pertanda batinya sedang gembira. Sekali-sekali mereka melibat I Grantang dan Raden Galuh silih berganti.

Saat itu juga baginda raja memerintahkan kepada para punggawa agar menyiapkan segala keperJuan pemikahan putrinya selama tujuh bari tujuh malam. Ketika pertemuan hampir selesai, dari kejauhan terdengar derap kaki kuda mendekati istana, Baginda meminta I Grantang berganti pakaian.

“Baginda, para prajurit telab datang membawa Mantri Anom.” tiba- tiba seorang prajurit datang melapor.

“Suruh mereka masuk.”

Prajurit itu pun segera mundur dari hadapan raja. Tak lama kemudian I Cupak dan beberapa prajurit datang menghadap, I Cupak atau Raden Mantri Anom belum merasa bersalah. Ketika ditangkap, ia tidak mau diikat kedua tangannya. Ia tetap mengaku sebagai orang yang tidak bersalah.

“Hamba, Mantri Anom siap menghadap, Baginda,” kata I Cupak sambil menyembah baginda.

“Huh! Mantri Anom! Mulai sekarang jabatanmu sebagai Adipati Anom, saya cabut!” kata baginda tegas.

” ‘ sali ban bamba apa, Baginda?” tanya I Cup:-ik, “Kau telah membohongi saya!”

“Membohongi? Membobongi apa, Baginda?”

”Kurang ajar! kau masih juga berpura-pura. Benarkah I Grantang mati di dalam gua? Benarkah yang membebaskan putriku dari kedua tangan raksasa itu kamu, I Cupak?” tanya baginda mulai murka “Saya tidak berani berbobong, Bagi.nda. Memang sayalah

yang membebaskan tuan putri dan sayalah yang membunuh raksasa itu. Sungguh adik saya telah mati di dalam gua.” I Cupak tetap berbohong.

“Kakak saya bohong, Baginda!” tiba-tiba I Grantang muncul dari dalam. “Saya masih hidup dan sayalah yang membunuh kedua raksasa itu.” I Grantang melanjutkan.

“Iya, Ayah. Sayalah saksi semuanya,” Raden Galuh ikut berbicara.

I Cupak sangat terkejut ketika melihat I Grantang tiba-tiba berada di situ. Wajahnya pucat seketika. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Kedua tangan gemetar membayangkan hukuman yang akan ditimpakan baginda raja kepadanya.

“Pengawal, penggal leper I Cupak di alun-alun!” titah baginda raja tegas.

“Maaf, Baginda. Hamba mohon ampun untuk kakak hamba, Baginda,” I Grantang memberanikan diri memohon kepada baginda.

“Apa pennintaanmu, Anakku?”

“Kakak saya ja … ja … jangan dihukum mati, Baginda.” “Lalu?” tanya baginda kepada I Grantang.

“Usir saja dari negeri Daha, Baginda. Saya tidak tega melihat kakak dipenggal lehemya,” lanjut I Grantang mernohon kepada baginda.

“Baiktah, Anakku, Aku kabulkan pennintaanmu,” jawab baginda.

I Cupak kemucfian diusir dari Daha. la berjalan ke. arah timur laut. Semua pakaian kebesaran telah ditanggalkan. la . tidak mempunyai apa-apa lagi, tinggal kain yang melekat di ttibuhnya. Penduduk yang berjumpa dengan I Cupak, sama sekali tidak mengenalinya lagi kalau ia bekas seorang adipati.

Sementara itu, perkawinan I Grantang dengan Raden Galuh dirayakan oleh rakyat Daha dengan sangat meriah. Selama tujuh hari tujuh malam, rakyat berpesta dan bersuka cita bersama. I Grantang kemudian diangkat menjadi Adipati Anom menggantikan kakaknya. Pan Bekung dan Man Bekung tidak lupa diajak ke dalam istana. Kerajaan Daha akhirnya kembali aman, tenteram, dan sejahtera.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait