Cerita Cupak dan I Grantang


PERTARUNGAN DI PADANG WERASA

Keesokan harinya I Cupak dan I Grantang bergegas meninggalkan Kota Raja. Semua perbekalan telah dipersiapkan. Parang yang besar, tombak yang panjang, dan busur serta anak panah juga telah dipersiapkan. Semua senjata dibawa oleb I Cupak, sedangkan I Grantang tidak membawa sepotong senjata pun. Baginda raja melepas kepergian I Cupak dan I Grantang dengan penuh harapan.

Di sepanjang perjalanan, I Cupak selalu menjadi bahan tertawaan, sedangkan I Grantang selalu dipuji orang. Bila berjalan, perut I Cupak ikut bergoyang. Hidungnya pesek, mulutnya lebar, telapak kakinya pun besar dan tebal. Sementara itu, I Grantang berjalan pelan. Wajahnya tampan kulitnya putih. Ia malu bila diperbatikan gadis-gadis di sepanjang jalan. Para punggawa kerajaan hanya mengantar I Cupak dan I Grantang; sampai di perbatasan negeri (kota).

“Selamat jalan I Grantang,” kata kepala punggawa, “kami hanya bisa mengantar sampai di sini,” lanjutnya. “Tidak apa-apa, Tuan. Kami sangat berterima kasih kepada Baginda dan Tuan-tuan. Semoga Hyang widi membalas kebaikan Tuan-Tuan,” jawab I Grantang penuh sopan.

Setelah mengucapkan salam perpisaban, I Cupak dan I Grantang melanjutkan perjalanan. Para punggawa pun kembali ke Kota Raja.

Perjalanan menuju Padang Werasa temyata sangat melelahkan. Mereka harus naik turun bukit dan keluar masuk hutan. Panasnya matahari dan dinginnya malam tidak mereka rasakan. Entah berapa desa yang telah mereka Ialui. Pada hari-bari itu tak ada bahaya yang mengancam mereka. Ketika telah berjalan selama lima bari lima malam, persediaan makanan mereka mulai menipis. Ketika persediaan makanan telah babis, I Cupak mulai gelisah.

“Dik, perbekalan kita telab habis,” kata I Cupak kepada adiknya.

”Habis kakak makannya sangat rakus! Caba kalau agak hemat. Bekal dari baginda pasti cukup,” jawab I Grantang tenang-tenang.

“Kita besak makan apa?”

“Makan saja seadanya. Dapat buah ya makan buah. Dapat ayam hutan ya makan ayam hutan. Puasa pun nggak jadi masalah.”

“Kalau tidak makan nasi atau daging babi aku bisa mati,” kata I Cupak kemudian.

“Ah, terserah Kakak. Kalau dapat menangkap babi, barulah Kakak akan menikmati panggang babi,” jawab I Grantang, “aku mau tidur! Mataku ngantuk,” lanjut I Grantang sambil merebahkan badannya di atas daun-daun yang telah ditata.

Malam itu I Grantang tidur sangat pulas, gigitan nyamuk dan lolongan serigala tidak mempengaruhi tidurnya. Sementara itu, karena lapar, I Cupak tidak bisa tidur. Sebentar-sebentar ia memiringkan badannya ke kiri, sebentar kemudian miring ke kanan. Matanya terpejam, tapi tidak tidur. Ketika kokok ayam hutan mulai terdengar, saat itulah I Cupak mulai tertidur. I Cupak terbangun ketika aroma masakan menusuk hidungnya.

“Iah … ,” I Cupak menggeliat dan bangun dari tidurnya. Ia kemudian melihat ke kiri dan ke kanan. Ia tertawa senang melihat ayam panggang di atas perapian. I Cupak langsung menghampirinya. Ayam itu dimakannya habis. Hanya tinggal tulang yang tak termakan.

Ketika I Cupak baru saja menghabiskan ayam bakar, dari kejauhan terdengar gemerisik langkah kaki menginjak daun­daun kering. Hati I Cupak mulai was-was. Bulu kuduknya mulai meremang. la menoleh ke kiri dan ke kanan mencari I Grantang. Ia baru menyadari kalau adiknya tidak ada di pembaringan. Rasa takut itu semakin terasa ketika langkah kaki itu mendekatinya. Untuk mengusir rasa takut itu, I Cupak berteriak sekuat-kuatnya.

“Adik … ‘ I Grantang…. ‘ kemana kau ?”

“Ada apa, Kak?” jawab I Grantang sambil menyibakkan daun-daun yang menghalanginya.

“Oh … , ternyata Adik,” kata I Cupak lega, “saya kira langkah raksasa yang menculik putri baginda.”

“Di sebelah sana ada mata air. Aku mandi di sana. Airnya jernih dan sejuk,” kata I Grantang.

“Baik, aku akan mandi di sana,” kata I Cupak sambil melangkahkan kakinya menuju arah yang ditunjukkan oleh adiknya.

I Cupak dan I Grantang tidak melibat kalau ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan mereka. Dia adalah I Manaru, raksasa yang sangat sakti. Pada waktu I Cupak berteriak memanggil adiknya, raksasa itu sedang mencari makanan. Dia mendengar teriakan I Cupak. Kemudian, I Manaru mencari suara itu.

Ketika sampai di mata air, I Cupak segera ingin mandi. Tapi, belum sempat ia melepaskan pakaiannya, tiba-tiba ada batu yang dilemparkan ke arahnya. Untung I Cupak sempat melihat batu itu. Ia dapat menghindar meskipun terjatuh. Kemudian, ia bangun dan Iari terbirit-birit.

“Tolong … Tolong … Tolong!” teriak I Cupak keras-keras.

I Grantang terkejut mendengar suara itu. la segera meloncat mencari kakaknya. Tak lama kemudian, ia dapat menemukan kakaknya. Wajah kakaknya pucat ketakutan.

“Ada apa, Kak?”

“Saya dilempar batu. Tapi, siapa yang melempar, saya tidak tahu,” jawab I Cupak terengah-engah,, “Dik, jangan­jangan kita telah memasuki wilayah I Manaru!”

“Mungkin saja. Tapi, seharusnya kita sampai di Padang Werasa besok,” jawab I Grantang, “mungkin raksasa itu sedang mencari makan,” lanjutnya.

“Atau raksasa itu telah tahu kedatangan kita?” tanya I Cupak.

“Entahlah. Kita sebaiknya segera melanjutkan perjalanan,” pinta I Grantang kepada kakaknya.

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Jalan yang dilalui semakin lama semakin sulit. Kadang kala mereka harus merangkak, kadang kala pula harus berjala dengan membungkukkan badan. Mereka terpaksa makan buah-buahan yang dijumpainya. Walaupun agak menggerutu, I Cupak akhirnya mau juga makan buah-buahan seadanya.

Saat itu matahari telah tenggelam. Di sebelah barat warna merah jingga masih tampak samar-samar. Sedikit demi sedikit warna itu akhirnya hilang ditelan malam. I Cupak dan I Grantang telah sampai di suatu tanah yang datar. I Cupak dan I Grantang beristirahat melepaskan lelah.

Malam itu langit terang benderang, bintang- bertaburan di angkasa. Bulan pun memantulkan cahaya menyinari bumi. Sinar rembulan itu membantu I Cupak dan I Grantang mengenali daerah sekitar. I Grantang sangat heran melihat ada semacam pekarangan yang sangat besar. Di belakang pekarangan itu terdapat gerumbul pepohonan yang menyeramkan.

Sementara itu, I Cupak langsung merebahkan diri di atas rumput. Ia berkali-kali menguap. Tak lama kemudian, I Cupak tertidur lelap. Melihat kakaknya tertidur, I Grantang hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia kemudian duduk termenung sambil mengingat-ingat kejadian yang pernah dialaminya. Namun, belum lama ia merenung, tiba-tiba dari arah gerumbul pepohonan terdengar isakan tangis seorang wanita.

I Grantang tidak tega membangunkan kakaknya. Ia kemudian mengendap-endap mencari suara itu. Gerumbul pepohonan itu disingkapkannya pelan-pelan. Ketika gerumbul itu disibakkan, tiba-tiba ada tombak yang meluncur ke arahnya. I Grantang memiringkan tububnya ke kanan, tapi tombak itu sempat menggores bahunya. Darah pun menetes.

Untung I Grantang membawa ramuan obat-obatan pemberian baginda. Ia kemudian menaburkan ramuan itu di bahunya. Setelah darah tidak mengucur, I Grantang kembali mendekati gerumbul itu. Dengan penuh kewaspadaan, ia kemudian menyibakkan kembali gerumbul itu. Setelah gerumbul tersibak, terkejutlah hati I Grantang sebab gerumbul itu ternyata adalah sebuah pintu gua.

I Grantang mengendap-endap memasuki Iorong gua itu. Ia kebingungan mencari isakan tangis tadi. Kadang-kadang suara itu terdengar kadang-kadang menghilang. Akhirnya, setelah mencari ke sana dan kemari, I Grantang melihat seorang gadis sedang mengusap air matanya. Di dekat gadis itu. terdapat obor kecil yang menerangi ruangan. Dengan sangat hati-hati I Grantang mendekat dan bertanya, “Tuan, siapakah Tuan ini? Mengapa Tuan ada di sini?” suaranya halus.

Ketika mendengar ada orang menyapanya, gadis itu terkejut. Ia mencari ke kanan dan ke kiri.

“Aku di sini, Tuan.”

“Oh … , “desis. “Tuan,. siapakah Tuan ini. Mengapa Tuan ada di sini?” I Grantang bertanya sekali lagi.

“S … saya diculik raksasa,” jawab gadis itu ketakutan. “Kalau begitu, Tuan pasti putri Baginda Raja Daha?” “Dari mana Tuan tahu?”

“Saya ditugasi baginda untuk membebaskan Tuan Putri.” Legalah hati tuan putri mendengar penjelasan I Grantang. “Mari kita keluar gua, Tuan Putri,” ajak I Grantang sambil membebaskan belenggu di kaki tuan putri. Tuan putri pun menurut.

“Tuan, siapakah nama Tuan?” tanya tuan putri mem­beranikan diri sambil berjalan di belakang I Grantang.

“Saya I Grantang, Tuan Putri,” jawabnya sarnbil menunduk.

I Grantang dan tuan putri akhirnya keluar gua tanpa menernui rintangan. Sampai di luar gua, hari masih malam. I Grantang mengajak tuan putri duduk di dekat kakaknya yang masih tertidur. Semula tuan putri terkejut dan sangat takut melihat I Cupak. Tapi, setelah dijelaskan bahwa yang tidur itu kakaknya, hati sang putri rnenjadi lega.

“Tuan putri tidak usah takut, dia adalah kakak saya,” jelas I Grantang pelan.

“Ya, tapi sebaiknya Tuan jangan memanggil saya tuan putri,” pinta sang putri.

“Panggil saja saya Galuh, Adik Galuh. Saya akan memanggil Tuan, Kakak Grantang,” jelas tuan putri. “Kakak, terimalah cincin ini,” Raden Galuh melepas cincin kesayangannya dan diberikannya kepada I Grantang. Mula-mula I Grantang menolak, tapi setelah dipaksa oleh Raden Galuh, I Grantang akhirnya mau juga.

“Terirna kasih, Adik,” kata I Grantang sambil menerima cincin permata itu.

Karena hari masih gelap, Raden Galuh dipersilakan I Grantang tidur. I Grantang berjaga-jaga agar tuan putri tidak diganggu oleh binatang-binatang hutan. I Grantang kadang­kadang harus menambah kayu agar api tidak padam. Raden Galuh terbangun ketika mendengar pernbicaraan I Grantang dan kakaknya.

“Kak, tuan putri sudah aku temukan,” kata I Grantang kepada kakaknya.

“Di mana ia sekarang?” tanya I Cupak.

“ltu di sana masih tidur! kata I Grantang sambil menunjuk tempat Raden Galuh tertidur. Ketika ia menoleh, temyata Raden Galuh telah terbangun. Raden Galuh sedang menggeliat dan kemudian duduk sambil menata rambutnya. I Cupak dan I Grantang akhimya mendekati Raden Galuh.

“Selamat pagi, Tuan Putri,” sapa I Grantang lembut, “kenalkan ini kakakku,” lanjut I Grantang.

“Ah, Kakak. Mengapa Kakak tidak membangunkanku?” Raden Galuh malah bertanya kepada I Grantang.

“Habis, Adik tidur nyenyak sekali. Tidak tega saya membangunkannya,” jawab I Grantang.

Mereka bertiga cepat akrab. Raden Galuh menceritakan saat ditawan raksasa. Ia bercerita kalau segala keperluannya selalu dipenuhi oleh raksasa yang menculiknya. Panggang daging rusa, panggang ayam hutan, dan buah-buahan selalu tersedia. Yang menakutkan Raden Galuh adalah dirinya akan dipersembahkan kepada dewa.

Ketika mereka sedang asyik bercerita, tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu bergetar. Raden Galuh menjerit ketakutan. Ia memberi tahu kepada I Grantang kalau sebentar lagi raksasa itu akan datang. Walaupun begitu, I Grantang tetap tenang. I Grantang malah menasehati Raden Galuh agar bersembunyi di balik batu. I Cupak pun bersiap-siap memegang panah dan busur. Pedang dan tombak pun diletakkan di sebelahnya.

“Kurang ajar, ada yang berani melepaskan tawananku,” kata raksasa itu sambil mendekati I Cupak. I Cupak melepaskan panah berkali-kali. Tapi, semua anak panah dapat ditangkap. I Cupak pun kemudian mengambil tombak yang panjang. Tombak itu dilemparkan ke arah mata raksasa itu, tetapi raksasa itu pun dapat menghindar.

Ketika raksasa itu semakin mendekat, I Cupak sangat ketakutan. Wajabnya pucat seperti mayat, keringatnya pun bercucuran. Sambil gemetaran, tangan I Cupak memegang pedang. Tapi, belum sempat ia melemparkan pedang itu ke arab raksasa, I Cupak jatuh pingsan.

“Lima hari yang lalu kau kotori telagaku. sekarang kau bebaskan tuan putri. Kurangajar!” kata raksasa itu sambil menendang tubuh I Cupak yang telah pingsan. Tubuh itu melayang ke arah I Grantang. Dengan cepat I Grantang meloncat dan menangkap tubuh kakaknya. Setelah tubuh kakaknya diletakkan, I Grantang mendekati raksasa itu.

“Aku yang tembebaskan tuan putri!” kata I Grantang.

“Kaukira kau dapat mengalahkanku? Aku, I Manaru tidak ada yang dapat mengalahkan. Semua kesatria kerajaan Daha tak ada yang dapat menandingi kesaktianku, apalagi kamu! Anak kemarin sore. Ha … ha … ha … ,” ejek raksasa menyombongkan diri.

“Hari ini aku akan mengalahkanmu raksasa sombong. Kau akan kubawa ke Daha dan akan dijadikan tontonan seluruh rakyat,” I Grantang memanas-manasi.

“Kurang ajar!” bentak I Manaru sambil meloncat menyerang. Dengan tenang I Grantang menghindari serangan itu. I Grantang bergeser ke samping. Sambil bergeser, ia megirimkan tendangan ke arab perut raksasa. I Manaru terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba itu. Ia tidak menduga kalau I Grantang dapat mengbindar. Bahkan, ia malah menyerang dengan jurus yang sangat membahayakan.

I Manaru tidak ingin perutnya disakiti. Karena itu, ia memiringkan tubuh ke kiri sambil tangan kanan-nya bermaksud menangkap pergelangan kaki I Grantang. Ketika melihat bahaya mengancam, I Grantang mengurungkan serangan itu. Kakinya ditariknya kembali dan dijatuhkannya dirinya sambil bergulung-gulung menjauh.

I Manaru sama sekali tidak mengira kalau dalam keadaan seperti itu I Grantang masih dapat menghindar. Ia pun kemudian mengulang serangannya lagi. I Manaru ingin menangkap I Grantang hidup-hidup. Ia akan membunuh I Grantang pelan-pelan. Namun, I Grantang tetap dapat mengelak.

Untuk kesekian kalinya, raksasa itu meloncat hendak menangkap I Grantang. I Grantang menghindar dan meloncat berputaran di udara. Pertempuran seru pun tidak dapat dihindari. Puluhan jurus telah dikeluarkan, tapi belum tampak tanda-tanda siapa yang akan menang.

I Manaru semakin marah. Ia mengejar ke mana saja I Grantang menghindar. I Grantang pun ‘berusaha mengimbangi jurus-jurus I Manaru. Kadang-kadang I Getantang bertahan dan kadang-kadang menyerang. Suatu ketika I Manaru memukul kepala I Grantang dengan sekuat tenaga. Tapi, pukulan itu ditangkis oleh I Grantang dengan menyilangkan kedua tangannya di atas kepala. Benturan keras pun tidak dapat dihindari.

I Grantang terdorong tiga langkah ke belakang. Sementara itu, tubuh I Manaru bergetar. Tangannya kesemutan.

“Kurang ajar!” raksasa itu mengumpat, “Terimalah jurus ini.” kata I Manaru sambil mulutnya berkomat-kamit. Ubun-ubun kepalanya mengeluarkan asap putih. Tiba-tiba kedua tangan raksasa itu menjadi semakin panjang. Tangan I Manaru dapat bergerak dengan cepat. Hampir saja I Grantang dapat tertangkap.

“Gila, jurus tangan panjang,” kata I Grantang pelan.

I Manaru kembali menyerang sambil berkata, “Ajalmu telah tiba anak sombong. Ha … ha … ha …. ” Dengan kewaspadaan yang tinggi, I Grantang dapat menghindar. Ia kemudian meloncat tinggi-tinggi dan mendarat agak jauh dari I Manaru. I Manaru mengira I Grantang akan melarikan diri. Karena itu, I Manaru bersiap-siap mengirimkan pukulan untuk melumpuhkan I Grantang.

Dalam sekejap, I Grantang bersila dan tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi banyak. Raksasa itu rnengurungkan serangannya. Ia mengusap matanya berkali-kali. Tapi, I Grantang tetap banyak jumlahnya.

“Kau dapat ilmu itu dari mana anak rnuda?” tanya I Manaru keheranan. “Jangan kauanggap aku tak bisa mengalah­kanmu,” lanjut I Maharu sambil mernukulkan tangannya ke arah I Grantang. I Grantang yang dipukul itu menggeliat dan menghilang. Tangan I Manaru tidak berbasil menangkap I Grantang.

Ketika I Manaru sedang keheranan, tiba-tiba tubuh-tubuh I Grantang berlari-lari berputaran mengelilinginya. Semakin lama semakin cepat. Karena pusing, I Manaru akhirnya membabi buta menyerang I Grantang. Kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu. Ketika I Manaru kebingungan, saat itulah I Grantang yang asli melanting tinggi-tinggi dan memukul kepala I Manaru dengan sangat kuat.

Krak …. Bruk …. Pecah kepala I Manaru dan tubuhnya jatuh tersungkur. I Manaru mati seketika. Raden Galuh yang menyaksikan kesaktian I Grantang menjadi sangat senang. Ia kegirangan melihat I Grantang berhasil membunuh I Manaru. Raden Galuh berlari-lari menghampiri I Grantang.

“Kakak hebat,” puji Raden Galuh.

“Ah, biasa-biasa saja,” jawab I Grantang tersipu-sipu malu. Raden Galuh mengusap keringat yang membasahi kening I Grantang dengan tangan kanannya.

Setelah dapat mengalahkan raksasa itu, I Grantang beristirahat sejenak. Ia kemudian membangunkan kakaknya yang masih pingsan. Semua gerak-geriknya diperhatikan oleh Raden Galuh. Raden Galuh memperbatikan I Grantang dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Di dalam hatinya ia memuji ketampanan I Grantang.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait