Cerita Cupak dan I Grantang


I GRANTANG JADI ANAK ANGKAT PAN BEKUNG

Pagi itu udara sangat dingin, langit masih gelap. Suara ayam berkokok mulai terdengar bersahut-sahutan. Para petani mulai berangkat ke sawah. Para pedagang mulai bergegas ke pasar. Gerobak dan pedati mulai terlihat membawa dagangan. Dari kejauhan samar-samar terlihat seorang bapak membawa jala berjalan menuju ke laut. Jala itu diletakkan di atas pundak sebelah kanan. Tangan· kirinya membawa bubu yang sangat besar. Ia berjalan melewati jalan setapak.

“Pagi sekali Pan Bekung,” sapa orang yang berpapasan dengan orang itu.

“Iya, mumpung masih pagi. Adik mau ke pasar?” orang itu balik bertanya.

“Iya. Men Bekung sudah ke pasar atau belum?”

“Tadi baru bersiap-siap. Mungkin sekarang sudah berangkat,” jawab orang itu sambil berlalu.

Temyata orang yang berjalan ke laut itu bemama Pan Bekung. Pekerjaan sehari-harinya adalah mencari ikan di laut. Istri Pan Bekung berdagang bunga di kota raja. Walaupun hanya nelayan dan pedagang bunga, Pan Bekung dan Men Bekung dapat hidup rukun dan berbahagia. Hari itu Pan Bekung sengaja ke laut lebih pagi dari biasanya. Ia takut kalau hari itu sial seperti hari kemarin. Kemarin ia hanya memperoleh ikan sedikit.

Sampai di laut Pan Bekung segera mendekati sebuah sampan. Setelah melepaskan tali ikatannya, sampan itu segera dinaikinya. Pelan-pelan Pan Bekung mendayung sampannya menuju ke tengah laut. Temyata, di tengah laut itu telah ada beberapa orang yang sedang menjala. Pan Bekung pun segera menebarkan jala. Setelah dibiarkan beberapa saat, jala itu ditariknya kembali. Sekali dua kali jala yang ditebarkannya itu belum banyak menjaring ikan. Tapi, Pan Bekung tidak ber­putus asa.

Pan Bekung melemparkan jala untuk yang ketiga kalinya. Jala itu kemudian ditariknya pelan-pelan. Begitu diangkat ia sangat senang sebab banyak ikan yang terjaring di dalamnya. Pan Bekung kembali bersemangat, berkali-kali jala itu ditebar, berkali-kali pula ia kegirangan. Lama kelamaan sampan Pan Bekung penuh dengan ikan. Setelah terik matahari semakin menyengat, Pan Bekung kembali ke darat. Sambil mendayung sampan, mulutnya bersiul-siul mendendangkan kidung kesukaan hati.

Belum sempat mencapai darat, Pan Bekung melihat sesuatu yang bergerak-gerak terombang-ambing ombak. Ia segera membelokkan sampannya mendekati benda itu. Alangkah terkejutnya hati Pan Bekung. Benda itu temyata tubuh seseorang. Pan Bekung segera mengambil jala dan menebarkannya ke tubuh orang itu. Jala itu ditariknya pelan-pelan, kemudian dinaikkan ke atas sampan. Pan Bela.mg kemudian mendekatkan telinganya ke dada orang itu.

“Masih ada kehidupan. Jantungnya masih berdetak,” gumam Pan Bekung di dalam hati. Pan Bekung kemudian membawa sampannya menepi. Setelah ia mengikatkan sampannya, tubuh yang pingsan itu diangkatnya ke darat. Kedua kaki orang itu kemudian diangkat terus ke atas. Mulutnya mengucurkan air. Setelah itu, diturnnkannya kembali kedua ka:k.ritu secara pelan-pelan.

Pan Bekung kemudian minta tolong kepada teman­temannya agar menjualkan ikan tangkapannya. Setelah itu, Pan Bekung lalu memanggul tubuh tersebut ke rumahnya. Sampai ke rumah ia segera minta tolong kepada tetangga untuk mencarikan tabib. Sambil menunggu tabib itu datang, Pan Bekung memasak air. Pikirannya tidak tenang jantungnya berdebar-debar. Meskipun begitu, ia tetap berharap agar jiwa orang itu dapat tertolong.

Tak lama kemudian tabib itu pun datang. Ia segera mengamati tubuh yang terbujur diam; Kemudian, ia meminta agar Pan Bekung menyediakan air panas dan beberapa buah mangkok. Setelah membersihkan Iuka-Iuka pemuda itu, tabib tersebut menaburkan ramuan-ramuan ke seluruh bagian yang terluka. Setiap melihat luka di tubuh pemuda itu tabib tersebut menggeleng-gelengkan kepala.

“Lukanya sangat parah. Kalau terlambat sedikit saja, ia pasti meninggal,” kata tabib itu pelan. “Pan Bekung, siapakah pemuda ini?” tanya tabib itu kemudian.

“Saya sendiri tidak tahu. Dia saya temukan di laut,” jawab Pan Bekung. “Apakah jiwanya bisa tertolong?” Pan Bekung balas bertanya..

“Mudah-mudahan Hyang Agung menyembuhkannya. Paling cepat nanti malam ia baru sadar,” jawab tabib itu sambil menyerabkan beberapa ramuan obat-obatan. Setelah memberi­kan beberapa petunjuk kepada Pan Bekung, tabib itu pun kemudian minta diri. Ia berharap agar Pan Bekung selalu mengawasi pemuda itu. Bila nanti mal􀀚m pemuda itu belum sadar, Pan Bekung tidak usah enggan untuk memanggilnya.

Sedikit demi sedikit Pan Bekung meneteskan air ke mulut pemuda itu. Ia berharap mudah-mudahan jiwa pemuda itu dapat tertolong. Ketika Man Bekung datang, ia agak terkejut karena dilihatnya Pan Bekung sedang meneteskan air ke dalam mulut seseorang.

“Siapa orang itu, Pak?” tanya Men Bekung kepada suaminya.

“Saya sendiri tidak tahu. Ia kutemukan terapung di laut.”

“Kasihan benar pemuda ini. Mudah-mudahan jiwanya tertolong,” kata Men Bekung sambil mengamati pemuda itu.

Ketika malam mulai datang, tangan dan kaki pemuda itu mulai bergerak-gerak. Mulutnya kadang-kadang menyeringai kesakitan. Mata pemuda itu kemudian mulai terbuka, tapi ia tidak mengenal orang-orang yang berada di sekitamya.

“Aduh … di manakah saya?” rintih pemuda itu pelan dan kesakitan.

“Tenanglah anak muda. Jangan banyak bergerak dulu, tubuhmu masih Iemah. Lukamu sangat parah,” kata Pan Bekung pelan. “Siapa namamu, Anak muda?” tanya Pan Bekung kemudian.

“Saya … saya … I Grantang,” pemuda itu menjawab lemah sekali. Setelah itu, ia pingsan kembali.

Pan Bekung kemudian menyuruh istrinya membuatkan bubur. Setelah bubur itu tersedia, tubuh I Grantang kembali bergerak-gerak. Pan Bekung segera mendekat dan menyuapi pemuda itu pelan-pelan. Hampir semalaman mereka berdua menjaga I Grantang bergantian. Kalau tubuh I Grantang panas, cepat-cepat Man Bekung mengambil madu dan meneteskannya ke mulut I Grantang.

Mereka tidak menyesal merawat orang yang tak dikenal­nya itu. Pan Bekung dan Man Bekung malah bersyukur kepada para dewa karena dapat menolong sesama. Pan Bekung dan Man Bekung berharap I Grantang cepat sembuh. Mereka akan mengangkat I Grantang sebagai anak bila telah sembuh nanti. Selama ini Pan Bekung dan Man Bekung merasa kesepian. Walaupun mereka telah lama menikah, Hyang Widi belum memberinya keturunan.

Setelah tiga hari tiga malam, kesehatan I Grantang mulai membaik. Tetapi, kedua kaki dan tangan kirinya masih nyeri bila digerak-gerakkan. Ia kemudian melihat sekitar ruangan itu. Tampak dua orang menungguinya. Yang satu tertidur yang satunya lagi sedang merenung. Sambil berbaring I Grantang memberanikan diri bertanya, “Bapak. .. Bapak. .. , di manakah aku?” Pan Bekung terkejut mendengar suara itu. Ia kemudian rnendekati I Grantang dan berkata, “Anakku, syukurlah kau telah sadar. Jangan banyak bergerak. kedua tulang mu patah, tangan kirimu juga patah. Lukamu belum embuh benar.

Bapak, di manakah aku? Siapa Bapak ini?” tanya I Grantang pelan.

“Anakku, kau ada di rumahku. Tiga hari yang lalu kau kutemukan di laut. Tubuhmu penuh Iuka. Tampaknya kau disiksa orang dan dibuang ke laut Siapa yang menyiksamu, Anakku?”

I Grantang tidak menjawab, ia berpikir sejenak meng­ingat-ingat kejadian yang pemah dialaminya, “Bapak, saya disiksa prajurit Raden Mantri Anom … ,” jawab I Grantang. Sebenamya, ia ingin berterus terang kalau Raden Mantri Anom itu adalah kakak kandungnya, tetapi niat itu ditahannya.

“Hah, Raden Mantri. Anom? Pantas… pantas. Untung Hyang Agung masih menolongmu, Anakku!” Pan Bekung menjawab sambil mengangguk- anggukkan kepalanya.

“Pak, siapakah nama Bapak,” tanya I Grantang kemudian.

“Oh, saya Pan Bekung dan itu Men Bekung,” jawab Pan Bekung sambil menunjuk Men Bekung yang masih tertidur.

Sejak saat itu mereka bertiga mulai akrab. Pan Bekung dan Man Bekung semakin bahagia melihat perkembangan I Grantang yang semakin membaik. Pan Bekung sering menyediakan itik panggang dan sering pula membuatkan bubur kacang hijau. I Grantang tidak pernah menolak bila diberi makanan apa saja. Makanan yang telah tersedia selalu dimakannya dengan senang hati.

Setelah sebulan lamanya, tangan dan kaki I Grantang mulai dapat digerak-gerakkan. la mulai berani menapakkan kakinya sedikit demi sedikit. Setiap pagi dan sore I Grantang keluar rumah berjalan-jalan sambil melemaskan otot kaki dan tangannya. Ia bersyukur kepada Hyang Widi karena jiwanya masih tertolong.

Pan Bekung semakin senang, terlebih setelah melihat wajah I Grantang yang temyata sangat tampan. Tubuhnya mulai berisi. Tenaganya sedikit demi sedikit mulai kembali. Ketika mengetahui anak angkat Pan Bekung itu sangat tampan, gadis-gadis mulai banyak yang ingin berkenalan. Berbagai macam cara mereka lakukan agar menarik perhatian I Grantang. Ada yang mengajak I Grantang berkelakar sambil membantu Men Bekung membungkus bunga. Ada pula yang membantu Men Bekung di dapur. Bahkan, ada pula yang mengirim I Grantang makanan.

Setelah tiga setengah bulan I Grantang dirawat oleh Pan Bekung dan Man Bekung, kesehatannya benar-benar telah pulih kembali. I Grantang mulai membantu Pan Bekung dan Man Bekung. Kalau pagi ia ikut Pan Bekung mencari ikan. Sore harinya ia ke kebun menanam bunga, menyiraminya, atau kadang-kadang memetiknya. Bahkan, malam harinya pun ia ikut pula menata bunga yang akan dijual Man Bekung esok harinya.

Rumah Pan Bekung tidak pemah sepi. Para tamu datang silih berganti. Mereka datang ada yang ingin membeli ikan dan ada pula yang ingin membeli bunga. Bahkan, ada pula yang datang hanya ingin bermain saja. Gadis-gadis banyak yang senang kepada I Grantang. Selain tampan, temyata I Grantang pun pandai bercerita.

Saat itu I Grantang baru saja pulang mencari ikan. Ia sedang duduk beristirahat sambil menikrnati hidangan. Tiba-tiba pikirannya mengingat kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Ia ingat ketika hidup sengsara di dalam gua berbulan-bulan lamanya. Ia juga ingat ketika dirinya dihajar para prajurit pengawal kakaknya.

Kejadian-kejadian itu menjadikan pikirannya terbuka. I Grantang kemudian menyadari kalau kakaknya temyata ingin membunuhnya. Bila mengingat hal itu, I Grantang bersedih. Akan tetapi, bila ingat Raden Galuh, ia tersenyum sendiri. Kemudian, dilihatnya cincin permata pemberian tuan putri. Cincin itu masih melingkar di jarinya.

“Anakku, mengapa kamu tersenyum sendiri? Apakah sedang mengingat sesuatu?” tanya Men Bekung tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

I Grantang agak terkejut, tapi ia segera menjawab, “Ah enggak. Saya hanya memikirkan Made Sunihati,” jawab I Grantang berbohong.

“Kenapa dengan Sunihati?” tanya Men Bekung.

“Ia memberiku salak. Salak itu kemudian saya bagi­bagikan kepada kawan-kawan. Ia malah marah.”

“Oh… itu penyebabnya,” kata Men Bekung. Ia lalu melanjutkan, “Anakku, hari ini emak mendapat uang sangat banyak. Bunga-bunga itu laku terjual. Malah, banyak yang tidak kebagian. Tolong nanti malam kau bungkus bunga yang lebih banyak, ya?” pinta Men Bekung kepada I Grantang.

” ya, Bu. Saya akan membungkus bunga yang lebih banyak. Kalau kurang lagi, saya akan minta bantuan Made Sunihati/ jawab I Grantang pelan.

Keesokan harinya Men Bekung pagi-pagi sekali telah berangkat ke pasar. Ia berharap dagangannya cepat terjual. Sampai di pasar Men Bekung mencari tempat yang mudah dilihat orang. Di tempat-tempat seperti itu dagangan biasanya cepat terjual. Perhitungan Men Bekung memang tepat. Belum sampai siang, bunganya tinggal tiga bungkus lagi. Karena sudah tidak ada yang membeli, ia berkemas ingin segera pulang. Namun, tiba-tiba ada seorang putri yang mendekati.

“Bibi? bunga ini berapa harganya?”

Man Bekung mengerutkan keningnya. Ia terheran-heran melihat seorang wanita cantik diiringi dua pelayan menyapa­nya, “Tuan ingin membeli bunga ini? Men Bekung bertanya.

“Iya. Kalau boleh yang ini juga,” jawab tuan putri sambil menunjuk bunga asoka. “Berapa semuanya, Bibi?”

“Hanya tiga puluh kepeng saja, Tuan Putri.”

“Baiklah,” jawab tuan putri sambil mengambil uang di balik bajunya. “Bibi, tolong besok bawakan bunga cempaka dan melati yang banyak. Tapi, Bibi harus mengantarkannya ke dalam istana. Bibi tidak usah takut. Kalau masuk istana, katakan saja Raden Galuh yang menyuruhnya.”

Jadi ini Tuan Putri Gauh ?

Bekung terbata-bata.

“Iya, Bibi. di!_11 1;dak usah takut. Pokoknya besok bibi saya tunggu di keputren.” Raden Galuh itu pun segera memberikan uang logam seratus kepeng kepada Men Bekung.

“INi kembaliannya, kata Men Bekung,

“Bawa sajalah semuanya, Bibi,” jawab Raden Galuh pelan. “Teri ma kasih, Tuan Putn.”

“Hati-hati di jalan Bibi. Jangan lupa besok bawakan bunga cempaka dan melati,” pesan Raden Galuh sekali lagi.

“Baik, Tuan Putri.”

Setelah Raden Galuh berlalu, Men Bekung segera berkemas-kemas. Sebelum pulang ke rumah, ia sempat membeli beberapa potong kain tenun dan beberapa tikar yang sangat bagus. Selain itu, Men Bekung juga membeli makanan dan buah-buahan. Ia membeli makanan dari ketan yang dicampur kacang kedelai kesukaan suaminya. Ia pun juga membeli jeruk kesukaan I Grantang.

Ketika hari mulai sore, Men Bekung baru sampai di rumah. Ia kemudian mencari suami dan anak angkatnya. “Pak, ini saya bawakan makanan,” kata Men Bekung sambil mengeluarkan bungkusan dari dalam bakulnya. Ia mengeluarkan dua bungkus, yang satu untuk Pan Bekung dan yang satunya lagi untuk I Grantang.

“Wah, tikamya bagus-bagus. Belanjaan ibu sangat banyak hari ini,” kata I Grantang sambil menikmati makanan.

“Iya, tadi dagangan ibu sangat laku,” jawab Men Bekung.

Men Bekung kemudian bercerita kalau pagi tadi dia bertemu tuan putri. Ia bercerita juga tentang bunga tiga bungkus yang dibayar seratus kepeng. Bahkan, tuan putri memesan bunga cempaka dan melati juga diceritakannya kepada Pan Bekung dan I Grantang.

“Siapa nama tuan putri itu, Bu?” tanya I Grantang menyela cerita Men Bekung.

“Kalau tidak salah, namanya Raden Galuh,” jawab Men Bekung mengingat-ingat.

I Grantang telah menduga kalau putri itu pasti Raden Galuh. Tapi, I Gerantartg hanya diam. Ia takut kalau salah laT1gkah, seperti yang pemah ia alami selama ini. I Grantang hanya berbarap mudah-mudaban Raden Galuh tidak melupakan dirinya.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait