Cerita Cupak dan I Grantang


I CUPAK MENJADI PANGERAN ADIPATI ANOM

I Cupak dan Raden Galuh berjalan beriringan. Telah empat hari empat malam mereka berjalan. I Cupak agak kebingungan kalau Raden Galuh lapar. Ia harus berburu mencari ayam hutan, atau babi hutan. Padahal, ia tidak bisa Iari sebab perutnya gendut dan amat besar. Kalau lari agak kencang, perutnya bergoyang-goyang. Bila tak berhasil ·menangkap binatang buruan, I Cupak marah-marah sampai Raden Galuh ketakutan.

I Cupak pun pernah memanjat pohon mengambil buah-buahan. Karena tubuhnya sangat besar, ranting yang diinjak tidak kuat menahan tubuhnya. Ia pun terjatuh dan menyeringai kesakitan. Jalannya pun sempat terpincang­pincang. Kalau malam ia harus menjaga tuan putri. Tapi, setelah tuan putri tertidur, ia pun ikut tidur.

Di suatu hari yang cerah, mereka berdua telah sampai ke perbatasan negeri. Kedatangan mereka mula-mula tidak dipedulikan orang. Tapi, setelah beberapa orang ada yang mengenal tuan putri, kedatangan tuan putri pun cepat tersebar ke seluruh negeri. Di sepanjang perjalanan menuju kota raja, Raden Galuh dan I Cupak disambut dengan gegap gempita. Rakyat seluruh negeri bagaikan menyambut kedatangan seorang pahlawan.

I Cupak sangat bangga, ia merasa seolah-olah seluruh penduduk negeri menyanjungnya. Jalannya pun semakin dibuat-buat. Bahu diangkat agak tinggi, kepala menengadah menoleh ke kiri dan ke kanan. Terbayang di benaknya jabatan adipati. Tak lama kemudian, I Cupak dan Raden Galuh memasuki istana. Baginda raja dan permaisuri lari tergopoh­gopoh menyambut kedatangan putrinya.

“Selamat datang anakku,” sapa baginda kepada putrinya.

“Ayah … ,” teriak Raden Galuh sambil berlari-Jari memeluk ayah dan ibunya bergantian. lbunya menangis terharu melihat anaknya telah kembali. Diamatinya anaknya itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, wajahnya pucat, kurus, dan berdebu. Sang permaisuri pun segera membimbing putrinya ke taman keputren. Para pelayan ditugasi untuk merawat sang putri.

Setelah mandi dan berganti pakaian, I Cupak diminta menghadap sang prabu. Ia akan dinobatkan sebagai Adipati Anom. Jabatan yang selalu diimpi-impikan sepanjang jalan.

“Silakan masuk Anakku kata baginda pelan .. “Terima kasib, Baginda,” jawab I Cupak.

“Anakku, karena kau telah berbasil membebaskan putriku dari tangan l Manaru, kau kuangkat menjadi Adipati Anom. Gelarmu Raden Mantri Agung.”

telah di masukinya satu per satu, tetapi jalan keluar tetap buntu.

I Grantang menyesali nasib. Ia duduk bersila sambil memohon kepada dewa. “Duh Dewa yang Maha Agung, tunjukkanlah aku jalan keluar gua. Lebih baik aku mati daripada menderita seperti ini.”

Setelah memohon kepada dewa, I Grantang kemudian meletakkan kedua tangannya ke dadanya. Seketika itu, hati dan pikiran I Grantang menjadi tenteram. Ia kembali dapat berpikir dengan jernih.

I Grantang kemudian bangkit dari duduknya. Ia mendekati bangkai raksasa. Bau bangkai itu sangat menusuk hidung. Kalau tidak terbiasa berada di situ, pastilah perut terasa mual dan kepala akan terasa pening. Bangkai raksasa itu telah hancur.

Tiba-tiba I Grantang berpikir, “Tulang-tulang ini mungkin bisa dijadikan tangga,” gumannya di dalam hati. I Grantang kemudian mengumpulkan tulang-tulang tersebut. Tulang­tulang itu Ialu disusunnya satu per satu.

“Hah … ,” I Grantang terperanjat, “Tulang ini dapat kugunakan sebagai tangga,” gumam I Grantang. “Mengapa aku tidak berpikir sejak dulu,” lanjutnya.

Setelah tulang itu diletakkan di mulut gua, I Grantang kemudian memanjat dengan pelan-pelan. Akhirnya, sampailah ia di mulut gua. Sampai di luar gua, hari masih siang. I Grantang berjalan pelan. Tubuhnya kelihatan sangat kurus dan lemas. Tulang-tulangnya menonjol keluar. Telah lama ia tidak makan nasi atau daging. Selama berada di dalam gua, ia hanya minum air yang menetes dari akar. Sebentar-sebentar ia beristirahat sambil mencari buah- buahan di sekitar hutan itu.

Telah berhari-hari ia berjalan, tapi belum ada satu orang pun yang dijumpai. la berniat pergi ke Daha, barangkali Raden Galuh mau menolongnya. Tapi, ketika ia memasuki suatu desa, hati I Grantang terasa sakit. Setiap orang yang dijumpainya selalu lari terbirit-birit ketakutan. Bahkan, ada yang berteriak-teriak, “Hantu … hantu … hantu!” Bila meng­ingat hal itu, hati I Grantang bertambah pilu.

I Grantang kemudian berlalu dari desa itu. Sambil berjalan, ia kembali merenungi nasibnya yang selalu jelek. Di suatu tempat yang agak jauh dari perkampungan, I Grantang beristirabat melepas lelah. Tiba-tiba ada orang yang lewat di depannya. I Grantang sengaja tidak menyapa, kbawatir kalau orang itu ketakutan melibat dirinya. I Grantang diam memejamkan matanya, ia pura-pura tidur.

Tidak disangka tidak diduga, orang itu justru menghampiri dirinya. la kasiban melibat I Grantang terbaring kelaparan.

“Anak muda, makanlah ini,” kata orang itu sambil membangunkan I Grantang. Orang itu kemudian mengeluarkan bungkusan dari dalam bakul. “Bangunlah dan makanlah nasi ini anak muda,” bujuk orang tua itu sekali lagi.

“Terima kasih, Bapak. Mengapa Bapak baik sekali?” tanya I Grantang kepada orang itu.

“Anak muda, aku kasihan melihatmu: Aku tahu orang­orang ketakutan melihatmu. Dirimu dianggap hantu yang menakutkan. Sudahlah, pokoknya makanlah nasi itu dahulu. Ceritanya nanti,” perintah orang tua itu pelan.

I Grantang kemudian membuka bungkusan itu. Ia makan dengan sangat lahap. Orang tua yang memberi nasi itu duduk di hadapan I Grantang. Ia memperhatikan I Grantang dengan hati yang iba.

“Bapak, mengapa Bapak menolongku?” tanya I Grantang kembali.

“Bukankah kita harus saling menolong, anakku?” orang tua itu balik bertanya.

I Grantang tidak menjawab, ia hanya menganggukkan kepala tanda setuju.

“Siapakah namamu, Anak muda?” tanya orang tua itu.

“Saya, I Grantang. Bapak siapa?” I Grantang balik bertanya.

“Saya Made Yasa.”

Setelah bercakap-cakap, mereka berdua cepat akrab. I Grantang akhirnya diajak tinggal beberapa hari di rumah Made Yasa. Selama tinggal di rumah itu, I Grantang dirawat dengan baik oleh keluarga Made Yasa. I Grantang pun bercerita tentang dirinya; tentang kakaknya, dan tentang tuan putri yang diculik raksasa.

“Jadi, anakku ini sebenarnya adik I Cupak?” tanya Made Yasa.

“Begitulah, Bapak.”

“Ketahuilah anakku, kakakmu itu sekarang telah diangkat baginda menjadi adipati anom. Tiga setengah bulan yang Ialu baginda mengangkatnya. Sekarang ia bergelar Raden Mantri Agung,” Made Yasa memberi penjelasan.

“Betulkah, Bapak?” tanya I Grantang senang, “Kalau begitu besok saya akan mencari kakakku.

Keesokan harinya I Grantang mohon diri. Ia mengucap­kan beribu-ribu terima kasih atas segala pertolongan Made Yasa dan keluarga. Made Yasa tidak dapat menahan kepergian I Grantang. Ia hanya berpesan agar I Grantang berhati-hati.

Perjalanan I Grantang menuju kadipaten ternyata tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Ia hanya memerlukan waktu sebari semalam. Pagi-pagi sekali I Grantang telah

memasuki daerah kekuasaan kakaknya. Ia heran melihat setiap penduduk yang dijumpainya, wajahnya tampak muram dan ketakutan. I Grantang hanya bertanya-tanya dalam hati. “Ada apakah dengan penduduk ini?”

Tak lama kemudian, I Grantang melibat bangunan kadipaten yang megah dan kokoh. Bangunan itu dikelilingi pohon-pohonan yang tinggi. Tiba-tiba hidung I Grantang mencium bau yang sangat menusuk, telinganya pun mendengar bunyi lalat yang sangat berisik. “Bau bangkai!” gumamnya. Sambil menutup hidung, I Grantang kemudian melangkah memasuki bangunan itu.

“Berhenti ! ” tiba-tiba ada suara yang melarang I Grantang masuk. I -Grantang menoleh ke arah suara tadi dan dilihatnya ada tiga orang prajurit yang berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi dan besar. Wajahnya pun tampak angker.

“Siapa namamu, Anak muda?” tanya salah seorang di antara prajurit itu.

“Saya, I Grantang, Tuan,” jawab I Grantang pelan.

“Apa keperluanmu memasuki kadipaten ini?” “Saya ingin bertemu kakak.”

“Kakak? Siapa kakakmu?”

“Kakak saya bernama I Cupak. Ia sekarang bernama Raden Mantri Agung,” jawab I Grantang jujur.

“Hah?” prajurit itu agak terkejut, “betulkah tuanku itu kakakmu?”

“Iya, saya tidak berbohong.”

“Baiklah, kautunggu di sini. Aku akan menghadap Raden Mantri Agung dulu. Awas kalau kau mengaku-aku,” kata salah seorang petugas itu. Setelah berkata begitu, petugas itu lalu masuk ke dalam kadipaten menghadap I Cupak.

“Maafkan saya, Raden Mantri. Di luar ada seorang pemuda yang ingin menghadap.”

“Siapa pemuda itu?” tanya I Cupak.

“Dia bernama I Grantang,” jawab prajurit itu. “Hah … I Grantang?” I Cupak terkejut.

lllya, Raden Mantri. Pemuda itu mengaku Raden Mantri adalah kakak kandungnya.”

‘Tidak mungkin dia adik saya! Adik saya telah lama mati di dalam gua. Dia pasti hanya mengaku-aku sebagai adik saya,” jawab I Cupak gugup. “Pengawal, usir orang itu. Dia bukan adik saya,” perintah I Cupak sambil melotot. “Kalau tidak mau, tangkap dan siksa dia ! ” Ianjutnya.

“Baik Raden Mantri,” jawab para pengawal ketakutan.

Tak lama kemudian, lima belas -prajurit datang menemui I Grantang. Prajurit itu berseragam lengkap. Ada yang membawa senjata dan ada pula yang membawa parang.

“Anak muda, kau ternyata hanya mengaku-aku sebagai adik Raden Mantri. Aku disuruh untuk mengusirmu. Kalau tidak mau, kau akan kami tangkap.”

“Kalian jangan berbohong! Aku ingin menemui kakakku ! ” jawab I Grantang tidak percaya.

“Ha… ha … ha… Raden Mantri tidak mempunyai adik sepertimu. Adik Raden Mantri telab lama mati dalam gua.” Para prajurit itu tertawa terbabak-babak sambil mengejek I Grantang. Lima belas orang itu kemudian mengusir I Grantang dengan paksa.

Mula-mula I Grantang tidak mau pergi dari situ. Ia tidak percaya kalau kakaknya tega bersikap seperti itu. Kelima belas prajurit itu kemudian menangkap I Grantang beramai-ramai. I Grantang melawan. Tapi, karena tububnya masib lemah, ia akhirnya kalah. Setelah tertangkap, tubub I. Grantang diikat. Kemudian, kelima belas prajurit itu menghajar I Grantang bergantian. Ada yang memukul dan ada pula yang menendang.

Mulut I Grantang berdarah, bibirnya pecah-pecah. Tangan dan kaki bengkak. Punggung dan dada penuh Iuka. Kedua matanya memar. I Grantang betul-betul bampir mati. Ketika ikatan itu dilepas, tubuh I Grantang terpuruk tanpa tenaga. Entah mati atau pingsan tidak ada yang tabu. Satu dua orang penduduk ada yang sempat melibat. Tetapi, mereka tidak berani melawan prajurit Raden Mantri. Penduduk itu lebih baik lari.

Setelah melihat I Grantang tidak bemyawa, salah seorang prajurit menghadap i Cupak.

“Raden Mantri, pemuda itu telah mati.”

“Betul?”

“Betul, Raden Mantri,” jawab para prajurit bersamaan.

“Bagus … bagus …. Sekarang seret dan buang mayatnya ke laut,” perintah I Cupak sambil tertawa-tawa.

Tubuh I Grantang akhirnya diseret dengan kuda menuju ke utara. Setelah sampai di laut, tubuh itu akhirnya dilemparkan ke tengah-tengah. I Cupak merasa senang karena tidak ada lagi yang akan mengganggunya. Ia kemudian mengajak para prajurit yang dianggapnya telah berjasa itu berpesta pora.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait