Esensi Tari Topeng Sidakarya pada Dewa Yadnya


Kehidupan beragama Hindu di Bali tentunya tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan berkesenian hal ini seolah sudah menyatu dalam sebuah pelaksanaan dalam beragama. Dalam banyak dimensi pelaksanaan kegiatan beragama yang dituangkan dalam upacara agama banyak kita menyaksikan kegiatan kesenian senantiasa mendukung pelaksanaan upacara agama, sehingga dalam praktiknya kesenian dalam sebuah upacara terbagi menjadi tiga yaitu seni wali, bebali, dan balih-balihan.

Seni wali merupakan kesenian yang menjadi satu rangkaian dengan pelaksanaan upacara dengan kata lain kehadiran kesenian tersebut turut menjadi bagian yang wajib dalam pelaksaan upacara tersebut. Seni bebali merupakan kesenian yang mendukung dari pelaksanaan upacara tersebut namun kehadirannya biasanya diperhitungkan juga, seni bealih-balihan merupakan kesenian yang sifatnya merupakan hiburan atau tontonan. Seni balih-balihan merupakan kesenian yang sifatnya fakultatif. Tari topeng sendiri merupakan kesenian bebali dimana kehadiranya bersifat mendukung dari pelaksaan upacara.

Kehadiran tari topeng Sidakarya dalam upacara Dewa yadnya sendiri sudah ada sejak lama, dimana pelaksanaanya biasanya dilaksanakan setelah rangkaian upacara telah selesai. Kendatipun keberadaan topeng Sidakrya telah berlangsung sejak lama, namun banyak dikalangan masyarakat yang belum memiliki pemahaman tentang kehadiran kesenian topeng Sidakarya. Hal ini akan berdampak tentang eksistensi tari topeng Sidakarya itu sendiri bukan hal yang mustahil kurang pahamnya pengetahuan masyarakat terkait fungsi dan makna topeng akan berakibat pada kurangnyapelestarian kesenian Bali, terlebih melihat kedudukan kesenian topeng Sidakarya bukan merupakan kesenian wali melainkan kesenian bebali dimana fungsinya hanya mendukung daripada keberlangsungan upacara.

Bila dilihat arti penting dari pementasan Tari topeng Sidakarya dalam pelaksanaan upacara tentulah sangat penting dimana keradaan topeng itu sendiri merupakan media siar terkait dengan upacara yang sedang berlangsung, melalui lakon yang ditampilkan fungsi dari topeng sidakarya merupakan media pendidikan bagi masyarakat dengan tujuan agar masyarakat lebih memahami tentang upacara yang sedang berlangsung. 

Cerita yang disampaikan dalam pementasan topeng Sidakarya dalam tiap pementasan tentunya berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan upacara dan tempat dilaksanakanya pementasan. Secara umum poin dalam pementasan adalah mengambil cerita tentang kerajaan Dalem Gelgel masa pemerintahan Dalem Waturenggong.

Asal Mula Topeng Sidha Karya

Cerita ini mengisahkan tentang ketika Raja Dalem Waturenggong melaksanakan upacara besar di Besakih yaitu Eka Dasa Ludra yaitu upacara besar yang datangnya setiap 100 tahun sekali, dimana Raja dan masyarakat sangat kusyuk melaskanakan upacara tersebut, dimana dimulai dari persiapan upacara, masyarakat tentunya bahu-membahu ikut menyukseskan upacara tersebut, hal ini dikarenakan pada masa Pemerintahan Dalem Waturenggong raja memimpin dengan sangat bijaksana.

Pada suatu ketika menjelang akan dilaksanakanya upacara tersebut, secara tiba-tiba datanglah seorang yang berbusana sangat kumal masuk kehalaman Utama (utamaning mandala) di Pura Besakih beliau adalah Brahmana Sankhya (pendeta dari walaka) yang duduk di atas bangunan (pelinggih) Surya.

Masyarakat pada saat itu menjadi gempar dan panik siapakah gerangan orang tersebut. Maka ditanyailah beliau oleh salah satu abdi, siapakah beliau itu?.

Singkat cerita beliau menyatakan diri sebagai Brahmana (pendeta) yang berasal dari jawa ingin mencari saudaranya yang berada di Bali tiada bukan saudaranya adalah Dalem Waturenggong.

Tentu saja semua rakyat mentertawai mana mungkin seorang raja memiliki saudara yang buruk rupa seperti itu, dengan pakaian yang compang camping serta wajah yang buruk bagaikan denawa. Rakyat merasa malu dan geram mendengar pernyataan orang tersebut, seketika itu juga mengusir orang tersebut dengan cara yang tidak hormat. Alangkah sedih hatinya brahmana tersebut diperlakukan sedimiakan buruk, sebelum meninggalkan Pura Besakih, Brahmana tersebut memberikan kutukan agar upacara yang akan dilaksanakan menjadi gagal.

Benar saja setelah kejadian tersebut terjadilah wabah yang sangat besar dimana banyak warga yang secara tiba-tiba menderita sakit, sarana upacara yang akan dipergunakan untuk keperluan upacara menjadi busuk, binatang-binatang ternak yang akan dipergunakan sebagai upacara mendadak menjadi mati.

Raja yang melihat situasi ini tentu menjadi sedih, dan bingung apa gerangan yang menyebabkan karya di Besakih seperti ini. Akhirnya melalui pendeta istana yaitu Ida Empu Kuturan beliau di ingatkan akan peristaiwa pengusiran Brahmana dari Jawa yang mengaku saudara raja tersebut. Sejenak termenung sang raja, dan tanpa pikir panjang beliau meminta raja untuk menjemput Brahmana tersebut.

Seluruh abdi kerajaan menjemput beliau dipertengahan perjalanan beliau menjumpai Brahmana tersebut, dan seluruh abdi mengakui kesalahan yang dilakukan, serta memohon kepada Brahmana tersebut untuk dapat mengembalikan suasana upacara seperti sedia kala. Benar saja, ketika beliau sampai di natar pura Besakih dengan mengucapkan mantra-mantra akhirnya keadaan sesuai seperti sedia kala, rakyat dan Raja merasa sangat Bahagia.

Semenjak itulah Brahmana tersebut diberi Gelar Sidha Karya, dan diberikan mandat untuk muput karya.
Dalam beberapa situasi lakon yang diceritakan juga dari beberapa babad yang ada di Bali seperti Arya, Pasek, dan sebagainya namun diakhir cerita tetap menampilkan Tokoh Brahmana Sidakarya sebagai pemuput karya.

Cerita babad ini sangat jarang untuk ditampilkan, hal ini dikarenakan banyaknya sumber-sumber babad yang berbeda, dan memiliki sudut pandang yang berbeda pula. Disamping itu pula agar tidak mengaburkan peran topeng itu sendiri sebagai media siar tentang hakikat beragama Hindu di Bali. Dalam pementasan topeng Sidakarya ini, yang menjadi titik berat pementasan adalah diamana dalam sebuah cerita yang menjadi pokok cerita mampu menyelipkan tentang upacara yang sedang berlangsung, baik itu makana yajnya, upakara atau bebantenan, serta tujuanya. Harapan yang ingin disampaikan yaitu masyarakat memiliki pemahaman yang mendalam tentang upacara yang dilaksanakan tersebut.

Struktur dalam Pementasan Topeng Sidha Karya

Umumnya struktur penokohan dalam Topeng Sidha Karya dalam upacara dewa yajnya, di awali dengan pementasan Topeng Tua, yang menggambarkan sosok yang mampu memberi pencerahan. Seyogyanya orang tualah yang menjadi suri tauladan sehingga tampil didepan. Merujuk dari pendapat Dewa Wicaksana Dalam bukunya Wayang Sapuh leger dari kata Tualen yang berasal dari kata Tua len, tua disini bermakna “tuh” yang artinya sinar suci. Sehingga penari topeng ingin membangun kesan bahwa cahaya orang tua mampu menerangi kehidupan ini.

Namun ada juga dengan pementasan ditampilkan ke dua setelah topeng pengelembar keras. Setelah topeng tua dilanjutkan dengan topeng Keras, topeng keras ini melambangkan patih abdi raja, dimana yang ditengah sebagai memberi semangat Kemudian topeng Keras Bujuh, digambarkan sebagai rakyat yang dalam penampilan serta rupanya penuh dengan kelucuan dalam pendidikan.
Selanjutnya di lanjutkan dengan Penasar Kelihan, dan penasar cenikan (kartala), dua tokoh inilah yang banyak memaparkan tentang upacara yang dilaksanakan, dengan Bahasa sehari-hari.

Dilanjutkan dengan topeng Dalem sebagai tokoh raja, dalam pementasanya tokoh dalem ini biasanya hanya diceritakan secara singkat. Banyak faktor yang menyebabkan topeng dalem ini sifatnya fakultatif, salah satunya adalah penabuh yang masih kurang piawai untuk memaikan tabuh dalem.

Selanjutnya Topeng Peranda yang berfungsi sebagai abdi raja dan yang memberitahukan tentang etika dalam beryadnya, serta menjelaskan secara bentuk, fungsi dan makna upacara.

Dilanjutkan dengan Topeng Bondres yaitu tokoh dari masyarakat, dimana bondres ini symbol dari masyarakat yang sedang dengan antusias mensukseskan upacara ang sedang berlangsung.

Pada Bagian akhir sebagai pemuput Karya adalah Topeng Sidha Karya dengan bentuk topeng yang berwarna putih, mata sipit tersenyum, dengan gigi jongos atau menyerupai denawa. Topeng inilah yang merupakan akhir dari pementasan topeng Sidakarya.

Sebagai kesenian yang difungsikan sebagai pendukung dalam sebuah upacara, maka wajib diharurkan uapacara sebagai salah satu bentuk sahnya sebuah upacara, terlebih bagi pregrina topeng. Topeng tersebut sangat disakralkan maka sarana bebantenan harus di haturkan.

Dalam rangkaian pementasan upacara sidakarya, bebantenan yang dihaturkan adalah beyakawonan, Prayascita, pras daksina, sesantun/daksina gede dengan runtutannya, sekar ura yang terbuat dari beras kuning dan di isi dengan uang kepeng dan uang biasa, segehan agung dengan tetabuhan arak berem, dan sesayut sida karya dengan runtutannya.

Iringan gambelan yang dipergunakan dalam pementasan topeng sidakarya umumnya dengan gong Kebyar, tetabuhan menyesuaikan karakter topeng dan jalan cerita, pada topeng keras mengunakan gending yang lebih mengarah kepada tabuh gilak, pada topeng tua mempergunkan tabuh werda lumaku, penampilan penasar disertai dengan tabuh bapang penasar, arsa wijaya (dalem) mengunakan tabuh gending jaran Sirig, tabuh bebondresan disesuaikan dengan karakter topeng dan dinamika situasi, dan tabuh penyida karyaan memiliki dinamika tersendiri (Catra, 79.2007).

Adapun tempat pementasan topeng Sidakarya ini adalah pada madyaning mandala Pura, hal ini juga tidak terlalu mengikat dikarenakan situasi dan kondisi dari pura tersebut. Disisi lain kebaradaan madya mandala pura juga difungsikan sebagai tempat pesandekan (peristirahatan) dan juga sebagai tempat pementasan kesenian.  

Fungsi dan Nilai Topeng Sidha Karya

Sistem kepercayaan, senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan tingkat kognisi seseorang. Agama bukan hanya masalah spirit, melainkan telah terjadi hubungan intens antara agama sebagai sumber nilai dan agama sebagai sumber kognitif. Pertama, agama merupakan pola bagi tindakan manusia.

Dalam hal ini agama menjadi pedoman yang mengarahkan tindakan manusia. Kedua, agama merupakan pola dari tindakan manusia (pattern of behaviour). Dalam hal ini agama dianggap sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalaman manusia yang tidak jarang telah melembaga menjadi kekuatan mistis.

Dalam kaitannya ini pemntasan Topeng Sidakarya dalam sebuah upacara Dewa yajnya dalam kehidupan beragama didalamnya senantiasa menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang dapat dipetik oleh penontonnya yang tujuannya adalah memperbaiki mutu kehidupan atau meningkatkan kualitas kehidupan. Dengan pemahaman yang medalam tentang ajaran agama tentunya akan memperkuat daya spirit beragama Hindu.

Fungsi Spiritual

Seni tradisional seperti tari Topeng Sidakarya adalah suatu kesenian yang juga mengandung nilai-nilai ketuhanan atau spiritualitas, hanya saja pesan dari hal tersebut tidak disampaikan secara langsung, oleh karena itu seni tradisional dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk seni sakral.

Seni sakral merupakan jantung seni tradisional dan berkaitan secara langsung dengan wahyu Tuhan yang menyatakan dari inti suatu tradisi. Relasi antar keduanya ini terlihat dalam suatu praktek ritual pemujaan, jika seni sakral terlibat kepada praktek-praktek ritual dan pemujaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. maka seni tradisional terlibat pada aspek praktis yang dilakukan dari ritual pemujaan tersebut, yang merujuk kepada tradisi terdahulu.

Pondasi atas seni tradisional ini adalah pada scientia sacra yang memandang realitas tertinggi adalah hal yang mutlak yang tak terbatas, yang merefleksikan sebuah kesempurnaan, keharmonisan juga terefleksi dengan alam.

Maka dari itu dalam Hindu seni tradisional tidak dapat kita maknai sebagai suatu kesenian yang bertolak warisan leluhur yang bersifat kuno, akan tetapi seni tradisional dimaknai dalam Hindu sebagai suatu prinsip yang mengajarakan tentang sisi-sisi metafisik dengan tujuan agar manusia kembali kepada awalnya ia berada dan ditugaskan, yakni sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang ditugaskan hanya untuk menyembah kepada-Nya.

Kehadiran torpeng Sidakarya dalam upacara Dewa Yadya juga dalam rangkaian untuk menyampaikan makna dalam berupacara, juga merupakan proses transformasi ilmu, guna mendewasakan masyarakat. Hal inilah yang memberikan fungsi bahwa kehadiran topeng sida karaya juga sebagai media pendidikan agama Hindu.

Agama Hindu merupakan agama yang sangat komples dimana dalam tiap ajarannya terkandung berbagai ajaran yang penting dalam kehidupan. Untuk mendapatkan pengetahuan Agama Hindu secara utuh dan benar terdapat di tiga kerangka dasar agama Hindu, yaitu Tattwa (filosofi), Susila ( Etika ) dan juga Upacara (Ritual ). Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena ketiganya merupakan rangkaian kehidupan yang ada dimasyarakat. Demikian juga dalam pementasan Topeng sidakarya dalam Upacara Dewa Yadnya terkandung niali-nilai ajaran agama Hindu.

1. Nilai Tattwa (Filsafat)

Kata tattwa berasal dari bahasa sansekerta yang dapat diterjemahkan dengan kebenaran dan kenyataan. Dimana dalam lontar-lontar di Bali kata Tattwa inilah yang dipakai untuk mengatakan kebenaran itu sendiri. Secara umum pengertian tattwa adalah suatu pandangan manusia terhadap dunia secara keseluruhan yang mencakup pandangan manusia serta hakekat tentang ketuhanan.
Ssemua mahluk yang ada di alam semesta ini mempunyai sumber kelahiran, Tuhan adalah penyebab asal mula dari alam beserta isinya, begitu juga kepada-Nya pula yang ada ini akan kembali.

Pementasan tari topeng sidakarya merupakan cerminan hakikat kehidupan, struktur kehidupan dalam bermasyarakat tentunya memiliki peranan masing-masing yang tidak satupun bisa kita abaikan, kesalahan satu system saja akan merusak tatanan kehidupan. Peningkatan kesadaran dalam menjaga kesatuan tentu saja dimulai dari dalam diri sendiri, sehingga kita mampu menjaga kesucian dalam diri.

2. Nilai Susila (Etika)

Kata susila berasal darai bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu “su” yang artinya baik, mulia sedangkan ‘sila’ artinya tingkah laku atau sikap dan norma, yang mengandung pengertian sopan, santun, sikap kaidah, perintah dan norma. Jadi susila mengandung pengertian norma, baik itu yang manunjukan sikap terhadap sesama norma atau perintah agama yang berasal dari wahyu atau sabda Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Pendidikan etika atau kesusilaan merupakan pendidikan bertingkah laku yang baik dan benar yang menjadi pedoman hidup bagi umat manusia. Mengingat manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan. Yang paling utama karena hanya manusia lah yang memiliki Tri pramana, yaitu sabda, bayu, idep diantara mahluk hidup lainnya dan yang bisa melaksanakan ajara Tri Kaya Parisudha, yaitu Kayika parisuda ( berbuat yang baik), Wacika parisudha ( berkata yang baik ), manachika parisudha ( befikir yang baik ).

Oleh sebab itu manusia senantiasa memiliki kemampuan untuk menganalisa tentag segala sesuatu yang baik dan buruk untuk dirinya. Oleh karena itu di dalam hidup ini manusia dituntut agar mampu mengatur dirinya sendiri untuk bertingkah laku.

Pendidikan kesusilaan merupakan pengetahuan yang berbentuk keadaan yang berisikan tentang larangan dan suruhan untuk berbuat sesuatu. Manusia tidak akan terlepas dari pikira baik maupun buruk, namun diharapkan agar manusia dapat berfikir yang baik dan benar sesuai dengan ajaran agama hindu.

Kehadiran topeng sidakaraya tentunya merepresentasikan tentang hakikat dalam tatanan kehidupan baik dari penokohan maupun cerita yang disampaikan. Sangat termuat dengan padat tentang ajaran-ajaran etika dalam kemasyarakatan. Dalam penokohan misalnya bagaimana etika abdi dengan raja, abdi dengan pendeta (orang suci) jelas sangat nampak, secara tidak langsung ini merupakan cerminan kepada penonton tentang ajaran etika atau susila tersebut.

3. Nilai Ritual (Upacara)

Upacara adalah suatu ajaran yang menyangkut tentang tata cara tentang melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Dalam kenyataan masyarakat di bali yang paling menonjol adalah adalah pelaksanaan upacara dalam bentuk yajnya. Kata yajnya berasal dari Bahasa sansekerta yang berarti korban suci atau pemujaan. Jadi kata yajnya berarti pemujaan suci atau segala sesuatu yang berhubungan korban atau persembahan yang dilandasi dengan hati yang suci dan tulus iklas. S

atu kesaksian yang sangat kuat tentang umat Hindu dalam setiap gerak hidupnya sehari-hari selalu diliputi oleh pelaksanaan yadnya. Pelaksanann yadnya ini dilaksanakan oleh umat hindu dengan penuh kesadaran bhakti. Namun dalam pelaksanaan bakti tersebut kuranglah lengkap rasanya bila tidak dibarengi dengan adanya persembahan berupa banten sebagai sarana upacaranya.

Berdasarkan uraian diatas bahwa Upacara adalah pelaksanaan dari yadnya atau korban suci yang realisasinya paling tampak di dalam masyarakat. Dalam melaksanakan suatu upacara diperlukan perlengkapan sebagai penunjang upacara itu sendiri yang disebut dengan upakara atau banten.

Untuk mengetahui banten yang digunakan, cara pembuatannya, serta cara pelaksanaan dari upacara tersebut diperlukan suatu proses yang disebut dengan proses pembelajaran atau pendidikan. Dengan demikian di dalam melaksanakan suatu upacara, unsur pendidikan itu selalu meyertai yadnya yang dilaksanakan, tidak terkecuali pada besar kecilnya yadnya tersebut.

Penggunaan sarana upacara sebelum memulai pementasan topeng Sidha Karya tentunya merupakan sebuah tuntunan kepada masayarakat untuk lebih menambah rasa keberagamaan, disamping juga merupakan media pendidikan.

Pementasan topeng memiliki kompleksitas yang cukup tinggi, sehingga banten tersebut sangat baik bila masyarakat mau mempelajari, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalam bebantenan tersebut dapat tersampaikan dengan benar.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga