Fungsi dan Makna Perangkat Pemujaan Sulinggih (Tri Sadhaka)


 

Perangkat Pemujaan Pandita Bali

 

Perangkat pemujaan pandita dari Siwa Paksa disebut dengan Siwopakarana. Kata Siwopakarana (Siwa+Upakarana) berasal dari kata Siwa yang berarti Bhatara Guru (Siwa), sedangkan karana berarti perlengkapan. Jadi, Siwopakarana berarti sarana-sarana perlengkapan pendeta pada waktu memuja atau memimpin sebuah upacara.
Siwopakarana ini adalah seperangkat alat pemujaan dipakai untuk menurunkan atau memproses sampai turunnya Widhi atau pemulangannya memproses dari asat menjadi sat, yaitu dalam bentuk saksat pratyaksa (seolah-olah tampak), yang terdiri atas sepasang dulang, nare, pawijan, penuntun surya, tripada, siwamba, sesirat, pengasepan, pedamaran, lungka-lungka, saab dulang, genta dan bajra.

Di dalam kitab Surya Sevana istilah Siwopakarana disebut Saguan. Hal ini diuraikan, yaitu saat pandita memasuki bale pawedan dari sisi barat. Di bale pawedan telah disediakan dua lembar kain bersih berwarna putih yang akan dipakai oleh pandita untuk mengganti baju yang dipakai dari rumah. Pandita duduk di tepi bale menghadap ke barat, kaki tergantung ke bawah, kemudian mencuci kaki, tangan, dan berkumur.

Setelah bagian fisiknya bersih pandita berputar menghadap ke timur dan duduk bersila menghadap saguan, tempat semua perlengkapan upacara yang terdiri atas bunga, bija, dhupa dan dhipa yang harus selalu menyala selama upacara, genta, anglo perapian, dan siwambha (tempat tirtha suci) dengan duduk bersila, pandita melakukan pemujaan sampai berakhirnya upacara.

Ketika ngelinggihang Weda, calon pandita pertama kalinya memakai Siwopakarana, yang di Bali dalam bahasa lumrahnya disebut pawedan atau pagandan. Siwa Paksa (Siwopakarana) terdiri atas hal-hal berikut: 

  1. Sepasang dulang (dulang kuningan atau dulang kayu). 
  2. sepasang nare dari kuningan,
  3. sepasang pawijan dari logam,
  4. penuntun surya dari logam kuningan,
  5. sebuah tripada dari logam,
  6. sebuah siwambha dari logam atau dari gedah,
  7. sebuah sesirat dari alang-alang yang berisi bunga,
  8. sebuah pengasepan dari logam,
  9. sebuah pedamaran dari logam,
  10. sebuah patarana atau lungka-lungka,
  11. kain penutup patarana,
  12. sepasang saab dulang atau tudung,
  13. sepasang penastan dari logam atau gerabah, dan
  14. sebuah genta.

Masih terdapat beberapa peralatan lain yang belum disebutkan di atas seperti atribut kelengkapan yang dikenakan oleh seorang sulinggih. Dijelaskan dan pengaturan peralatan pawedan (Siwopakarana ) itu adalah seperti berikut:

  • Di hadapan Pandita Siwa saat mapuja, dulang pertama berisi nare. Di atas nare diletakkan dua buah pawijan, yang satu berisi beras (bija), yang sudah dicuci bersih dan tidak boleh patah-patah, dan yang sebuah lagi berisi gosokan kayu cendana yang berbau harum (gandaksata), penuntun surya yang di atasnya diletakkan kalpika. Di atas nare juga diletakkan sebuah tripada, dan di atas tripada diletakkan siwambha yang sudah berisi air, lawa, bija, diikat sirowista dan sesirat. Selain itu, nare juga diisi bunga-bungaan harum, kalpika menurut keperluan, sebuah saet mingmang, dan sebuah sirowista dari daun lalang, kemudian ditutupi dengan tudung.
  • Dulang yang kedua diletakkan di depan di sebelah kanan dulang tadi (dulang pertama). Di atasnya diletakkan sebuah nare, diletakkan di atasnya sebuah pengasepan (dhupa) dan padamaran (dhipa), lalu ditutup dengan tudung. Di belakang dulang berisi bunga-bungaan, ditaruh patarana (lungka-lungka) dan di sebelah kanan patarana ditaruh penastan yang sudah berisi air. Di sebelah kiri dulang berisi bunga-bungaan itu diletakkan kotak busana dan di sebelah timur kotak busana diletakkan tempat bawa dan ganitri (dalam hal ini posisi mapuja menghadap ke timur).

Siwopkarana ini selalu harus menyertai seorang Pandita Hindu pada waktu muput upacara sebuah yadnya.

Ketika menggunakan Siwopakarana pandita harus dengan menggunakan mudra. Mudra tidak boleh digunakan oleh walaka atau pemangku dalam tingkatan ekajati, tetapi hanya boleh digunakan oleh orang yang telah di-dwijati pada waktu mapuja. Hal itu disebabkan oleh mudra merupakan masalah prinsip di dalam kawikon dan penggunaannya haruslah tepat dan sesuai dengan puja atau mantra yang diucapkan oleh wiku. Artinya, penggunaan mudra harus benar.
Di dalam kitab Wedaparikrama disebutkan ada 39 mudra yang dipakai dalam memuja yaitu:

(1) stepana mudra, (2) amertha mudra, (3) mustika mudra, (4) kawaca mudra, (5) sula mudra, (6) bedana mudra, (7) sika mudra, (8) surya chandra mudra, (9)cakra mudra, (10) prathista mudra, (11) tala mudra, (12) bujaga mudra, (13) padma mudra, (14) padma mudra hrdaya, (15) bajra mudra, (16) dhanda mudra, (17) sangka mudra, (18) kadra Murda,(19) dupa mudra, (20) pasa mudra, (21) trisula mudra, (22) dwaja mudra, (23) angkusa mudra, (24) moksala mudra, (25) rwa bhineda mudra, (26) swalalita mudra, (27) kunista mudra,(28) madyana mudra, (29) petik mudra, (30) namika mudra,(31) isana mudra, (32) tat pusuha mudra, (33) gomuka mudra,(34) bama mudra, (35) madya anggusta mudra, (36) rangkaya mudra, (37) netra mudra, (38) antasana mudra, (39) aiswarya mudra.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Siwopakarana berarti perangkat pemujaan atau sarana perlengkapan Pandita Hindu yang digunakan pada waktu memuja untuk menyucikan badan (dunia) dan menyemayamkan Bhatara Siwa (Guru).

Perangkat pemujaan Siwopakarana ini juga dipakai oleh Pandita Hindu Bali dari golongan Bhujangga Waisnawa pada saat melakukan pemujaan. Dari jenis perangkat pemujaan, jumlah dan tatanan letak saat mapuja, sama persis antara pandita Siwa Paksa dan Bhujangga Waisnawa Paksa.

Namun, yang membedakan antara perangkat pemujaan Pandita Siwa dan Pandita Bhujangga Waisnawa, yaitu adanya perangkat tambahan yang dipakai oleh Pandita golongan Bhujangga Waisnawa berupa panca genta, yaitu genta padma, genta uter, genta orag, sungu, dan ketipluk.


SUMBER
Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si

PERANGKAT PEMUJAAN SULINGGIH



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga