Kisah Lengkap Rangda Jirah Dan Penyucian Calon Arang Oleh Mpu Baradah


Konon tersebutlah sebuah kerajaan yang sangat besar, Daha namanya. Rajanya bernama Raja Airlangga, seorang raja yang sangat adil. Pada suatu pagi saat kabut masih tebal, raja setengah tua itu keluar dari istana. Rambutnya mulai memutih dan jenggotnya panjang. Meskipun sudah kelihatan tua, ia masih kelihatan perkasa.

Raja Airlangga terkenal sebagai raja yang bijaksana dan adil, tidak hanya di negerinya, Daha. Daerah kekuasaannya sangat luas dan semuanya dapat diawasi dengan baik. Para patih setiap minggu pergi ke desa mengiriringinya meninjau desa. Ada kerja sama yang baik antara rakyat, para patih, dan pihak kerajaan, terutama Raja Airlangga.

Rakyat Daha adalah penganut agama Hindu yang kuat. Mereka selalu meng dakan berbagai upacara keagamaan. Di amping itu, setiap hari mereka juga rajin pergi ke pura menghadap Sang Hyang Widi Wasa. Mereka percaya bahwa ketentraman dan kedamaian yang mereka rasakan selama ini adalah rahmat dan berkah dari Sang Hyang Danendra, Dewa Kekayaan.

Perbedaan antar kasta, baik kasta Sudra, Waisya, Satria, maupun kasta Brahmana, bukan penghalang bagi rakyat Daha untuk saling menghormati. Mereka tahu menempatkan diri. Masing-masing berada dalam lapisan masyarakat mereka. Semua berjalan seperti adanya, sesuai dengan aturan, tanpa pernah ada perselisihan dan pertengkaran.
Saat matahari sudah menampakkan wajahnya dan cuaca sangat cerah, Kedua putra mahkota, Jayabaya dan Jayasaba sudah siap di halaman istana dengan kuda masing-masing. Kedua putra raja itu seperti pinang dibelah dua, gagah dan perkasa bagai sang surya.
Raja Airlangga dengan mahkota di kepala dan berkain bercorak perada, warna emas, Raja duduk gagah di atas kuda. Para hulubalang, Ken Demung, Ken Tumenggung, dan Ken Patih, sudah siap mengiringi perjalanan resmi ini. Para hulubalang istana sudah berbaris mengiringi perjalanan Raja Airlangga. Ketika gerbang istana dibuka, suara genderang, gamelan, dan gong bersahutan merestui keberangkatan Sang Ratu.

Kerajaan Daha sudah cukup jauh mereka tinggalkan, raja itu berthenti sejenak memandang ke belakang, menatap kerajaannya dari jauh. “Betapa indahnya kerajaan kita, Anakku! Lihatlah tangga kerajaan yang empat puluh empat itu seperti ular, melingkar menuju pintu kerajaan,” katanya kepada kedua putranya.
Kedua anak muda yang diajak bicara turut memperhatikan kerajaan itu dari jauh.
“Ya, Ayah, memang sangat indah. Betapa kukuhnya kerajaan itu, tinggi seperti di awan,” sahut Jayasaba menimpali ucapan ayahnya. Kerajaan Daha memang terletak di atas bukit, tinggi menjulang. Tangga menuju kerajaan meliak-liuk sampai di gerbang kerajaan dan di kiri kanan berhiaskan aneka bunga.

Rombongan terus berjalan menyusuri hari yang mulai gelap. Kedamaian dan rasa syukur tersimpan jauh di dalam lubuk hati mereka.

KEDAMAIAN YANG TERUSIK

Desa Jirah yang dikunjungi rombongan Raja memang cukup jauh dari Daha, tetapi desa itu masih mendapat perhatian dari kerajaan. Desa ini pun terkenal sebagai desa yang sangat subur, tanahnya bagus ditanami padi. Di ujung desa itu, ada sebuah rumah yang agak terpencil, jauh dari para tetangga. Pondok tua itu dikelilingi hutan jati sehingga di sekelilingnya kelihatan gelap meskipun pada siang hari.

Di tengah hutan itulah tinggal sebuah keluarga yang hanya dihuni oleh seorang janda, yaitu Ki Rangda dan anak gadisnya, Ratna Manggali. Ki Rangda oleh penduduk setempat dijuluki sebagai Calon Arang.

Tidak terlalu aneh kalau penduduk sekitar tempat itu takut bertandang ke rumah Ki Rangda karena wanita itu tidak ramah penampilannya. la selalu mencurigai setiap tamu dan tetangga yang mendekat. Ketidakramahan Ki Rangda sangat terlihat dari raut wajahnya yang sinis. Wanita tua itu badannya mulai bongkok dan pakaiannya lusuh. Tubuh tidak tinggi dan kurus, mukanya lebar dan pucat, kedua matanya sipit, hidungnya panjang, dan tulang pipinya menonjol, tanda kekerasan. Ram­butnya yang panjang selalu digerai sehingga menambah kusam wajahnya. Jika berjalan, kedua tangannya selalu ke belakang, dan jarinya saling menggenggam.

Dari kejauhan terlihat wanita tua itu sedang mencari sesuatu, bolak-balik dari samping rumah ke depan. Karena tidak menemukan apa yang dicari, wanita itu berteriak memanggil anaknya, “Ratna Manggali, cepatlah kemari. Di mana sesajen yang kemarin sore aku ramu.

Ratna Manggali ke luar rumah mencari suara ibunya, Bukankah saji-sajian itu sudah lbu letakkan di kamar suci, sahutnya dengan suara pelan. Gadis yang dipanggil Ratna Manggali itu masih remaja, berumur 17 tahun, sangat cantik, jauh berbeda dengan ibunya. Kalau lbu ingin membakar dupa nanti aku ambilkan api, tambahnya tanpa disuruh.

Mendengar sahutan anaknya, wanita tua itu sangat senang dan tertawa terkekeh-kekeh, Kau memang anak baik, Ratna Manggali, tidak sia-sia hidupku mempunyai anak secantik kamu, tapi sayang, nasibmu belum mujur,” kata Ki Rangda sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
Ratna Manggali, anaknya, menatap kepergian ibunya dengan pandangan sedih, penuh penyesalan.

Ratna Manggali dan Ki Rangda memang anak beranak yang hidup nya terasing, hanya mereka berdua di sekitar penduduk itu juga kurang suka dengan penampilan Ki Rangda yang selalu curiga dan berprasangka kematian suaminya, yang meninggal karena terkena ilmu hitam, Ki Rangda menuntut ilmu sesat kepada Hyang Bagawati, Dewi Durga, Dewi Kesesatan. Ada dendam bergelora di dadanya. Ia tidak tahu kepada siapa dendam itu harus dilampiaskan karena pembunuh suaminya tidak pemah dapat dilacak. Memang, sejak Dendam kesumat terus menghantui Ki Rangda. Ratna Manggali, anaknyalah yang menanggung derita karena mereka jadi terasing. Gadis remaja itu sangat kesepian dan menderita. Masa remajanya yang penuh keceriaan lenyap, hilang, dan terbang dari waktu ke waktu. Banyak pemuda kampung yang mencintainya takut mendekat dan terkena ilmu sihir Ki Rangda. Wanita tua itu sebenarnya menyadari kesalahannya, tetapi ia tidak peduli. Kadang-kadang kalau hatinya sedang baik, ia memanggil anaknya, Ratna Manggali, dan mengajaknya bercakap-cakap tentang masa depannya, “lbu turut prihatin akan nasibmu, anakku, tak seorang pemuda pun yang berani mendekatimu. Kalau begini terus, kapan jodohmu akan tiba,” kata Ki Rangda dengan suara pelan dan sedih, penuh penyesalan.
Ratna Manggali tidak tega kalau melihat ibunya bersedih. Ia akan menghibur ibunya dengan kata-kata manis, seolah-olah ia tidak menderita dengan keadaannya. Untuk menghilangkan rasa sepi, Ratna Manggali memelihara seekor anjing. Anjing itulah sahabatnya sehari-hari, “Kaulah teman setiaku, Warde,” kata Ratna Manggali kepada anjing kesayangannya.

Sekali waktu ada seorang pemuda dari desa sebelah barat ingin mencoba kesaktian ilmunya kepada Ki Rangda, pemuda itu bernama Widiasta. Ia penganut ilmu dari aliran hitam juga yang ingin mengadu kekuatan ilmunya kepada Ki Rangda. Untuk itu, ia sengaja mendekati Ratna Manggali lebih dahulu. Sudah beberapa kali ia mengintip gadis itu sedang mencuci. Akhimya, pada suatu siang ia mencegat Ratna Manggali ketika pulang dari kali.

“Wahai gadis ayu, di manakah rumah Ki Rangda. Aku ingin menyampaikan amanat guruku,” sapa pemuda itu sehalus mungkin.
Pipi Ratna Manggali bersemu merah ketika tahu pemuda itu bertanya kepadanya. “Rumah itu ada di tengah hutan jati, kebetulan saya juga pulang kc sana,” sahut Ratna Manggali dengan suara pelan.
Mendapat jawaban dari gadis itu, Widiasta seperti mendapat bulan. Ia sengaja membuka percakapan agar mendengar suara Ratna Manggali yang serak basah. “Gadis ini sangat cantik, tapi ada kesepian yang tersimpan dalam sorot matanya,” pikir pemuda itu. “Ah, kesempatan baik nih,” pikimya lagi.
Dengan malu-malu Ratna Manggali berjalan di belakang Widiasta, tetapi pemuda itu beberapa kali menyejajarkan jalanya. Sepanjang jalan Ratna Manggali tidak berbicara kalau tidak ditanya dan Widiasta berusaha terus membuka percakapan. Tanpa mereka sadari rumah Ki Rangda sudah ada di hadapan mereka.

“Silakan duduk, saya panggilkan lbu,” kata Ratna Manggali kepada tamunya dan ia berjalan ke kamar suci, tempat Ki Rangda bersemedi. “lbu, ada utusan Dewi Durga yang ingin menyampaikan pesan, suara halus Ratna Manggali membuyarkan semedi ibunya.
Dengan kening berkerut dan pandangan penuh tanda tanya Ki Rangda keluar. Ketika melihat di hadapannya ada seorang pemuda sealiran dengan dirinya, timbul harapan di lubuk hatinya. Inilah calon menantuku, pikirnya.

Widiasta berusaha bersikap semanis mungkin. “Dewi menyampaikan jimat ini untuk lbu,” kata Widiasta sambil menyerahkan benda segi empat panjang yang dibungkus dengan kain putih. Ki Rangda langsung paham apa isi jimat itu sebenamya. Wanita tua itu memandang pemuda di hadapannya dari ujung rambut sampai ke kaki berkali-kali. Setelah itu, Widiasta diminta tinggal beberapa hari di situ karena pemuda itu sudah mendapat perhatian Ki Rangda.
Pucuk dicinta ulam tiba, pikir Widiasta. Sejak saat itu Widiasta dan Ratna Manggali semakin akrab. Ki Rangda tertawa terkekeh-kekeh melihat keintiman kedua muda-mudi itu. Akhimya impianku menjadi nyata, pikir Ki Rangda.

Suatu hari ada berita baru di antara pemuda penduduk Jirah, “He … So bat, aku dengar Ratna Manggali akan kawin dengan Widiasta. ltu … pemuda yang sering menggoda anak gadis kampung ini,” kata Oka kepada kedua pemuda di sampmgnya.
Pemuda-pemuda kampung di desa itu akhir-akhir ini memang sering memperhatikan pemuda yang tinggal di rumah Ki Rangda.
“Wah kurang ajar sekali! Rambut Ratna Manggali yang begitu lebat dan hitam dielus-elus pemuda kotor. Lebih baik aku daripada dia. Lihat nih orang paling ganteng,” ujar Sela dengan nada sombong.
“Harus diberi pelajaran si brengsek itu, tak tahu sopan dia. Ayo kita gagalkan perkawinan itu,” sahut Bagas.

Ketiga pemuda itu tidak suka dengan hubungan Ratna Manggali dan Widiasta karena mereka takut perkawinan itu akan menurunkan anak yang jahat pula, seperti Ki Rangda, si Calon Arang, dan Widiasta, calon menantunya. Mereka ingin Ratna Manggali mendapat suami seorang pemuda baik-baik, bukan dari aliran sesat.
“Ayo panggil teman-teman, kita tunggu Widiasta di pasar!” ajak Bagas bersemangat.
Pasar yang dituju pemuda-pemuda itu letaknya di tengah kampung. Tempat itu sangat ramai karena dibuka hanya pada hari-hari tertentu saja.
Tidak lama kemudian anak-anak muda itu sudah bergerombol di sebuah warung di pasar. Dugaan mereka tidak salah. Beberapa detik kemudian Widiasta berjalan terhuyung­huyung, pakaiannya hitam-hitam. Ketika ia bertemu dengan Ayu Mas, tangan gadis itu dipegang dan dipeluknya. “Wahai adik manis, kemari sayang, aku kangeeen sekali!” kata Widiasta dengan suara penuh nafsu.
Gadis yang berada dalam pelukan itu meronta-ronta dan berteriak, “To long … toloooong. Lepaskan … ! ” teriak gadis yang tidak berdaya itu sambil meronta-ronta dalam dekapan pemuda yang beringas itu.
Mendengar teriakan itu, pemuda yang sedang dilanda amarah itu bergerak serentak. Pemuda itu dikurung lalu dipukuli. Widiasta tidak tinggal diam. la melawan dengan gerakan yang tidak terkontrol lalu berteriak, “Kalau kalian satria, lawan aku satu per satu ! ”
Mendengar tantangan itu, Bagas maju paling dahulu. Pemuda itu pernah menuntut ilmu pada Pendeta Agung Mpu Baradah, tetapi tidak sampai tamat. Tanpa banyak bicara pemuda itu maju menantang Widiasta yang sudah berdarah mulutnya. Widiasta memang terkenal pemuda ganas, pemarah, dan pemabuk. Dengan cepat sekali ia memasang kuda-kuda dan gerakan yang dilakukannya adalah kuda-kuda ilmu setan, tangan mengeluarkan api, matanya merah membara, dan dari jari kaki dan tangannya keluar kuku yang sangat panjang. Bagas gentar terlihat melihat Widiasta dalam keadaan seperti itu.
Dengan sekali sentak, tubuh Bagas hangus terbakar. Melihat temannya berguling-guling, tidak berdaya, terkapar di tanah, gerombolan pemuda itu marah. Mereka menggerebek Widiasta yang beringas. Meskipun Widiasta berilmu tinggi, ia tidak kuasa melawan orang banyak. Ia akhimya terkapar tidak berdaya. Anehnya, setelah terkapar di tanah, tubuh itu kembali seperti semula, menyeramkan. Para pemuda banyak yang bergidik bulu kudunya menyaksikan kejadian itu.
“Kita buang manusia iblis ini ke luar kampung.”
“Mengapa?”
“Iya, jangan sampai Ki Rangda tahu. Bisa gawat!”
“Wah, bisa hancur seluruh kampung!” seru yang lainnya. “Ayo, cepat kita gotong!” ajak seorang pemuda yang gemuk pendek dan masih membetulkan letak kainnya yang kedodoran.

Setelah beberapa hari, berita perkelahian itu sampai juga ke telinga Ki Rangda. Berita itu diperoleh Ki Rangda dari murid­muridnya. Ki Rangda sebenarnya banyak mempunyai murid yang belajar ilmu hitam. Muridnya tidak hanya datang dari Jirah, tetapi juga dari kampung-kampung lain. Ia menggeram ketika tahu Widiasta telah diusir dari desa Jirah. “Awas, tunggu pembalasanku! tidak tahu diri! Rasakan ganasnya ilmuku, rasakan dendam Calon Arang! Ha .. . ha … ha … ! ” kata Ki Rangda dengan suara geram, dalam, dingin, dan datar. Lalu ia bersujud di bawah patung sesembahannya di kamar suci, memohon restu Dewi Durga.

“Sabar Bu! lbu jangan mengeluarkan ilmu sihir itu. Habislah kampung ini kalau Ibu marah. Tahanlah Bu!” seru Ratna Manggali merayu ibunya. Gadis itu sadar bahwa ia tidak dapat menahan kemarahan ibunya lagi. la serba salah. Ratna Manggali sebenarnya tidak menyalahi pemuda kampung yang marah kepada Widiasta karena pemuda itu memang brengsek. Secara diam-diam, Ratna Manggali sering mengikuti pacamya kalau ke luar rumah. Ia mengintip semua kelakuan calon suamioya, tetapi ia takut mengecewakan ibunya. Di samping itu, tidak ada Jagi pemuda lain yang mau dengan dirinya, anak tukang sihir. Oleh sebab itu, dengan hati berat diterima juga kehadiran Widiasta sebagai pendamping. Sekali lagi Ratna Manggali berusaha mencegah ibunya membakar jimat itu. Ketika meredam kemarahan ibunya, ia bahkan terpelanting dan sarung yang dipakainya terlepas. Ki Rangda yang sudah berwujud Calon Arang sempat melirik.
Ratna Manggali akhimya hanya dapat menangis. Dalam matanya yang bening terbayang korban berjatuhan, berge­limpangan, tanpa daya.

Ia tidak rela hal itu terjadi. Hatinya menjerit.
“Ibu hentikan … Bu! Tidak perlu jimat itu dibakar di atas dupa!” seru Ratna Manggali dengan suara putus asa karena ia tidak juga dapat menahan amarah ibunya. Ratna Manggali tahu betapa jahatnya jimat itu jika dibakar di atas dupa. Jeritan anaknya sudah tidak terdengar lagi oleh Ki Rangda, nenek itu sudah menjadi Calon Arang yang sesungguhnya. Ia ingin meledakkan seluruh dendamnya pada penduduk di Daha saat ini juga.
Semerbak wangi dupa menyelubungi kamar, rumah, halaman, kebun, dan seluruh kampung, di empat juru desa Jirah, kemudian menyebar ke seluruh Daha. Perlahan-lahan tubuh manusia Ki Rangda berubah wujudnya. Mukanya yang buruk semakin menyeramkan, matanya besar dan merah, melotot. Biji matanya hampir keluar. Sinar matanya panas. Dari mulutnya keluar dua taring yang sangat panjang. Lidahnya menjulur-julur dan keluar api. Kuku kaki dan tangannya panjang, melilit-lilit. Dari hidungnya yang besar keluar napas bunyinya seperti deru kereta api. Melihat wujud ibunya seperti raksasa, Ratna Manggali mundur beberapa langkah, berlutut di pojok kamar.

Sementara itu, di Daha hari masih petang ketika Ken Demung dan Ken Tumenggung dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam istana menghadap Raja, “Tuanku, pagi buta tadi, hamba menerima laporan desa Jirah, yang kemarin kita kunjungi, diserang wabah,” lapor Ken Demung sambil bersujud.

Raja mengerutkan dahi sambil memiringkan kepalanya, “Apa aku tidak bermimpi Ken Demung,” kata Raja sambil merapikan duduknya di atas kursi kerajaan dan berkata Iagi, “Kemarin desa itu aman-aman saja, sawah-sawah akan panen, dan rakyat dalam keadaan damai, Ken Demung tahu kan!” lanjutnya Iagi.
“Benar Tuan, wabah itu datang seperti halilintar. Bahkan, wabah itu menyerang semua tanaman dan juga menjangkiti penyakit aneh pada bayi,” kata Ken Tumenggung dengan suara sedih.

Mendengar berita kedua patihnya, Raja Airlangga langsung menyiapkan diri pergi menuju Jirah. Sebelum itu, Raja memerintahkan Jayabaya dan Jayasaba ikut serta. Saat inilah kesempatan ia melihat keperkasaan kedua putranya, pikir Raja.
Matahari belum terbit ketika Raja dan rombongannya pergi menuju Jirah melihat malapetaka yang menimpa negerinya.

Di tempat lain, di Jirah, desa yang dahulunya tenang dan damai, tiba-tiba terserang wabah. Wabah itu datang bagai hantu, tanpa sosok, menjalar ke seluruh pelosok desa. Dalam waktu sehari, padi yang merunduk dan kuning itu, tiba-tiba kering dan kosong. Hamparan hijau yang sejuk itu berubah menjadi coklat dan gersang. Palawija yang siap petik sekonyong-konyong pun ikut layu, sumur-sumur kering, rakyat banyak yang menderita busung lapar. Semua menanggung derita.

Rakyat sungguh panik menghadapi malapetaka ini, Patih Sidura Wacana memukul kentongan, mengundang seluruh rakyat desa berkumpul. “Para Bapak dan ibu, malapetaka datang tanpa diundang, panen kita gagal total tahun ini. Kita harus mencari jalan keluar dari kesengsaraan ini ! ” serunya dengan suara tinggi dan sedih.

Semua rakyat yang hadir berwajah murung. “Apakah ada tumbuhan lain yang dapat di tanam menggantikan padi dan palawija. Dewi Sri marah kepada kita dan kita harus mengadakan upacara!” kata Patih Sidura Wacana lagi.

Kerumunan penduduk di aula desa itu semakin kalut ketika bayi yang dipegang istri Patih Ki Jaya kesuma tiba-tiba merejang dan tidak bernapas lagi. “ Oh anakku anakku …. apa yang terjadi … oh tak bernapas lagi …. Hah”! T’olong : .. tolong anakku ! ” wanita itu berteriak sejadi-jadinya lalu ia menyeruak kerumunan menuju ke depan menyusul suaminya. Patih Ki Jayakesuma kaget, ia bengong, tak tahu apa yang harus diperbuatnya karena bayinya sudah tidak bernyawa lagi.

Beberapa detik kemudian kegaduhan semakin memuncak ketika rombongan Raja Daha tiba, Semua rakyat yang panik menyongsong Raja.
Dengan gagah Jayasaba naik keatas mimbar dan menenangkan kegaduban itu, ; ‘Rakyatku sermua, tenanglah! Jangan gusar dan panik. Malapetaka ini memang datang tiba-tiba sekali, tapi pasti semua ini ada sebabnya. Untuk itu, mari kita musyawarahkan dengan Yang Mulia.”

Mendengar suara Jayasaba yang berwibawa, kegaduhan terhenti sebentar. Beberapa menit kemudian suasana menjadi gaduh kembali. Bahkan ada yang berteriak, “Bagaimana bisa tenang kalau perut lapar …. Sawah saya jadi lapangan, Tuan!”

Melihat kegaduhan itu Jayasaba dan Jayabaya meminta ayahnya cepat menanggulangi keadaan. Dulu jika ada keributan, Raja dengan tangkas akan maju ke depan, tetapi sekarang Raja sudah tua, geraknya tidak lincah lagi. Raja mengakui kelambatannya karena ia sudah berumur. Semua ini tanda ketuaannya, dirinya mulai uzur. Jayasaba dan Jayabaya menolong Raja Airlangga, ayahnya, naik ke atas mimbar.

Dengan wajah muram dan sedih, Raja membuka pertemuan itu, suaranya berat, pelan, dan penuh kesedihan, tapi berwibawa.
Sekarang saya mint a Patih Ki Jayakesuma ke depan, menjelaskan semua masalah ini. Patih Ki Jayakesuma dipanggil berkali-kali, tapi tidak muncul juga karena Patih itu sudah lama pingsan ketika melihat bayinya meninggal, begitu juga istrinya.

Akhirnya Raja meminta wakil Patih Ki Jayakesuma yang berbicara. Saat itu juga muncul Patih Sidura Wacana. Patih inilah yang menjelaskan kepada Raja bahwa petaka ini datang bukan karena kemarahan Dewi Sri, tetapi kemarahan Ki Rangda, si Calon Arang, Kita tidak perlu mengadakan upacara untuk Dewi Sri karena wabah ini adalah petaka dari Calon Arang, janda tua yang bernama Ki Rangda,” katanya dengan penuh semangat.

Raja menggeleng-gelengkan kepala dan berbicara serius dengan Patih Sidura Wacana. Kemudian Raja mengajak pula beberapa wakil rakyat bekerja sama mengatasi masalah ini. Oleh sebab itu, musyawarah pun diadakan di dalam ruangan lain dan semua rakyat diminta bubar.


Sumber Buku

CALON ARANG DARI JIRAH

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1995



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga