Kisah Lengkap Rangda Jirah Dan Penyucian Calon Arang Oleh Mpu Baradah


KEAGUNGAN MPU BARADAH, PENDETA LEMAH TULIS

Pada hari kesepuluh, barulah Jayabaya, Jayasaba, dan kedua patihnya sampai di kaki gunung Lemah Tulis. Karena desa ini merupakan tempat suci yang didiami oleh seorang pendeta sakti dan sangat jauh jaraknya, mantra jahat Ki Rangda tidak sampai ke situ. Pemandangan tampak sangat berbeda antara desa di kerajaan Daha dan desa Lemah Tulis. Di sini hutan masih lebat, pohon karet tinggi dan lebat dan tumbuh merapat, mahoni dan pinus sangat rimbun. Kicau burung ramai bernyanyi menyambut pagi dan matahari mulai menampakkan wajahnya, kuning.

Sebenarnya Mpu Baradah adalah perwujudan Hakya Singha, pendeta sakti. Oleh sebab itu, ia tahu bahwa ia akan kedatangan tamu dari jauh. Akan tetapi, ia terkejut juga ketika tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah dua putra mahkota kerajaan Daha.

Dengan ramah, Mpu Baradah mempersilakan para tamunya masuk. Jayasaba memperhatikan pendeta itu. Meskipun sudah berumur 80 tahun, pendeta itu masih gagah dan kuat. Wajahnya sangat cerah, bersih, dan alim. Rambutnya putih bagai awan, kulitnya hitam, tapi bersih, kumisnya lebat dan hitam, janggutnya panjang sampai di dada, dan tatapan matanya tajam. Sosoknya sangat berwibawa sepadan dengan seorang pendeta. Apalagi, ia mengenakan baju putih panjang, pendeta itu kelihatan semakin suci.
“Terima kasih, Eyang. Sejuk sekali di sini,” kata Jayasaba. Ia masih memperhatikan pemandangan di sekelilingnya melalui jendela. Karena rumah pendeta di atas bukit, pemandangan di bawah kelihatan luas membentang. Hamparan hutan dan rumput yang menghijau terbentang luas bagai permadani. Kabut masih tebal menyelimuti hutan itu, air danau yang hijau tenang menyimpan misteri, dan bersihnya udara membuat jernih pikiran. Ketika melihat sebuah balai di bawah pohon beringin yang rindang, Jayabaya mengkhayal, ia seakan melihat Mpu Baradah yang suci itu duduk di atas balai dengan murid­-muridnya. Mereka bersimpuh di hadapan guru mereka, bercakap-cakap mengemukakan keinginan hati. Semua khidmat dalam suasana pengajaran ilmu. Apalagi di dekat situ ada sebidang tanah pekuburan.

Lamunan Jayabaya buyar ketika mendengar sapaan pendeta suci itu, “Berita apakah yang membawa langkah anakku, putra mahkota, kemari?” tanya Mpu Baradah dengan suara tenang, tetapi dalam dan penuh wibawa.
Jayabaya dan Jayasaba tersenyum mendapat pertanyaan seperti itu. Suara bagai air sungai yang segar menyejukkan jiwanya yang sedang dilanda keresahan.

“Negeri kami, Daha, sedang dilanda musibah yang menyedihkan, Eyang. Ki Rangda, seorang Calon Arang, sedang dilanda dendam. Ia menyebarkan penderitaan yang berkepan­jangan di negeri kami. Seluruh rakyat kelaparan, tanah kehabisan air. Ternak mati bergelimpangan,” jawab Jayasaba dengan lemah lembut.”

“Kedatangan kami ke sini meminta bantuan kepada Eyang untuk mengatasi bencana yang menimpa kami,” kata Jayasaba menambahkan.

Mpu Baradah tidak langsung menjawab. la berpikir sebentar, lalu berkata dengan suara pelan dan napas yang panjang, “Ki Rangda itu memang sangat tinggi ilmunya. Ia belajar langsung dari Betari Hyang Bagewati, Dewi yang angat jahat. la bahkan memuja Dewi itu setiap saat. Patung Dewi itu diletakkan di sebuah kamarnya. Disitulah ia memperdalam ilmu bantinnya dengan beryoga, bersemedi, dan memuja. Jadi, tidak sembarang orang yang dapat melawannya.”

Mendengar penjelasan itu, keempat utusan itu menjadi kecil hati. Akan tetapi mereka juga yakin bahwa perjalanan mereka ke desa ini tidak sia-sia. “Oleh sebab itu, kami tidak dapat melawannya. Hanya Eyanglah yang dapat menolong kami,” pinta Jayabaya dengan penuh iba.
“Sebenarnya permusuhan apa yanag terjadi antara kerajaan Daha dan Ki Rangda. Sampai ia mengeluarkan seluruh kesaktiannya?” tanya Mpu Baradah kepada keempat orang itu.
Kemudian Patih Kanuruhun menjelaskan duduk persoalan sebenarnya. Ia menceritakan semuanya dari awal hingga penggerebekan ke rumah Ki Rangda. Pendeta itu beberapa kali mengangguk-anggukkan kepala.
“Ya, aku pun kenal Widiasta, salah seorang murid dari aliran sesat yang sangat ingin menguasai dunia. Sekarang kalian ikut aku ke sebuah kampung, tempat murid-muridku belajar,” pinta Mpu Baradah.

Lalu keempat orang itu mengikuti dari belakang. Perjalanan mereka cukup jauh, menuruni bukit dan masuk ke sebuah gua. Di situlah semua murid Mpu Baradah belajar bermacam-macam ilmu, baik ilmu batin maupun ilmu lahir.
Pendeta itu berhenti sesaat dan memperhatikan murid-muridnya yang sedang berlatih dari jauh. la tersenyum penuh kebanggaan. “Inilah singgasana kami!” katanya tenang. Lalu pendeta itu berjalan kembali diikuti oleh para tamunya.

“Bawula, kemari ! ” serunya pada seorang pemuda yang sedang memimpin latihan, “lni Jayabaya, Jayasaba, Patih Ki Kanuruhun, dan Arya Daksa. Mereka datang ke sini mengadukan kejahatan Ki Rangda.”
“Ki Rangda, Eyang?” kata Bawula dengan kening berkerut.
“Iya, wanita yang pernah Eyang ceritakan. Ia pemah jadi murid Eyang juga dulu,” sahut Mpu Baradah.
“Lalu apa yang dapat saya bantu, Eyang?” kata Bawula lagi memohon petunjuk.
“Aku sudah menemukan jalan dan keputusan sudah kuambil, kita akan membantunya,” kata Mpu Baradah. “Baik Eyang! Aku akan membantu Eyang,” sahut Bawula dengan sopan sambil berjabatan tangan dengan para tamunya.

Pemuda yang bernama Bawula masih sangat muda. Jika dilihat dari tugasnya memimpin murid-murid di tempat itu, ia pasti orang penting, tangan kanan Mpu Baradah. Keperkasaan Bawula dapat dilihat dari ototnya yang padat dan gempal, otot yang terlatih. Gerakannya tangkas, dan pandangan matanya seperti mata elang. Dengan pakaian seragam putih-putih, pemuda itu tampak gagah, tampan, dan suci.

“Kami akan memusyawarahkan dahulu dengan orang-orang kami, apa sebaiknya yang akan kami lakukan,” kata Mpu Baradah dengan suara bijak. “Kalian pulang saja lebih dahulu, nanti akan kami kabari dan beritahu kepada Raja Airlangga agar mengadakan Upacara Panca Wali Kerasa, upacara betas kasih,” lanjutnya.

Tidak lama kemudian utusan Raja Daha pulang. Saat itu pula Mpu Baradah mengajak Bawula duduk dan membicarakan langkah yang harus mereka ambil.
“Kita harus membantu rakyat keluar dari penderitaan,” kata Mpu Baradah kepada Bawula dengan tegas.
“Ya, Eyang. Aku akan melaksanakan tugas ini sebisaku, asal Eyang memberi petunjuk. Apalah artinya Ananda tanpa bantuan Eyang,” kata Bawula dengan suara pelan dan sopan. “Sebenarnya, Ki Rangda itu dulunya orang baik dan taat beragama sama seperti kita, tapi setelah suaminya terbunuh ia jadi putus asa. Dituntutnya ilmu hitam dari Betari Hyang Bagewati, Dewi Setan. Sejak saat itu, ia diasingkan penduduk. Apalagi, ia sekarang mempunyai banyak murid yang menurunkan ilmu hitamnya,” tutur Mpu Baradah.

Bawula mendengarkan keterangan gurunya dengan penuh perhatian.
“Satu hal yang ada di balik kekecewaan Ki Rangda yang orang lain tak tahu, ia sangat mengkhawatirkan anak perempuannya. Anaknya itu sampai saat ini belum ada yang meminang._ Pernuda-pemuda di situ tidak mau menyuntingnya karena takut dengan Ki Rangda. Selain itu, agama mereka berbeda. Penduduk setempat beragama Hindu dan Ki Rangda sendiri beragama Budha,” Mpu Baradah menghentikan ucapannya. Pandangan pendeta itu melayang jauh.

Bawula mencoba menerka apa yang sedang dipikirkan gurunya, tapi teka-teki itu tidak dapat dijawabnya.
Dengan agak sedikit ragu-ragu, pendeta itu melanjutkan, “Oleh sebab itu, kamu harus mengawini anaknya jika ingin membantu rakyat dari petaka ini. Eyang yakin kalau anaknya sudah disunting, Ki Rangda akan menarik kembali mantra-mantra yang sudah diucapkannya.”

Ucapan terakhir pendeta itu membuat Bawula kaget, tetapi ia berusaha menyembunyikan perasaannya, “Karena ini tugas dari Eyang, aku akan melaksanakannya walau seberat apa pun,” jawab Bawula dengan suara tegas.

“Eyang punya sebuah cincin sebagai mas kawin untuk meminang anaknya,” kata pendeta itu kemudian menyerahkan sebentuk cincin emas berpermata. Permata itu bersinar saat diserahkan kepada Bawula. Bawula menyimpannya dalam sebuah kotak. “Sebelum berangkat ada ilmu-ilmu tertentu yang akan Eyang ajarkan kepadamu malam ini. Ilmu itu khusus untuk menaklukkan hati Ki Rangda,” kata pendeta itu lagi sambil menepuk-nepuk bahu muridnya.

Semalaman penuh Mpu Baradah dan Bawula bersemedi di tengah hutan, di bawah derasnya air terjun. Saat penurunan ilmu itu berlangsung guru dan murid itu sama-sama terdiam, khusyuk, mata mereka terpejam rapat. Beberapa saat kemudian, kedua tubuh itu diselubungi oleh sinar putih yang menyala. Setelah penurunan ilmu itu selesai, barulah Bawula direstui kepergiannya.

Mpu Baradah sangat sayang pada Bawula. Ia mengantarkan kepergian muridnya sampai batas desa. Mpu Baradah menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat suasana desa yang sangat gersang. Tenak bergelimpangan tinggal tulang belulang. Sawah kering. Sungai kering. Tanah kering. Beberapa korban tergeletak di jalan. Mpu Baradah mendekati korban itu. Tenyata lelaki itu masih bemapas lalu diberikannya setetes air. Dalam sekejap orang itu dapat duduk kembali dan berjalan mencari keluarganya. Melihat keampuhan Mpu Baradah, Bawula semakin kagum pada gurunya. Sadarlah ia bahwa air yang diberikan gurunya itu adalah air kehidupan.

Akhirnya, Mpu Baradah berhenti di seberang sebuah pematang. “Anakku, aku lepas kepergianmu di sini. Jagalah dirimu baik-baik dan jalanilah tugas mulia ini dengan lapang dada, jangan lupa memberi kabar Eyang,” kata Mpu Baradah sambil mencium kening Bawula. Mendapat ciuman itu, seluruh tubuh Bawula bagai tersiram air dingin, sejuk. Ia tidak merasakan lagi terik panas yang menyengat.
Dengan membawa sebuah kantong, Bawula melangkah meninggalkan Lemah Tulis. Karena pematang yang dilaluinya sudah sangat panjang dan jauh, sosok Mpu Baradah semakin lama semakin kecil dan akhinya menghilang.

Meskipun ia sudah berjanji pada Mpu Baradah bahwa ia akan menjalani tugasnya dengan baik, berkidik juga bulu romanya ketika sadar bahwa ia harus mengawini anak tukang sihir, si Calon Arang. Diredamnya rasa khawatimya itu dengan harapan gurunya tidak akan menjebloskannya ke dalam penderitaan.

Sementara itu, kerajaan Daha sedang mengadakan persiapan Upacara Panca Wali Kerasa. Rakyat sibuk menyiapkan segala perlengkapan upacara. Saji-sajian ditata dan dilengkapi di sebuah tempat, genta mulai dipukul orang, bunyinya menyebar ke penjuru desa dan asap dupa semerbak menyebar di angkasa. Raja Airlangga sudah semedi sehari penuh, tidak tidur semalaman. Semua rakyat berharap agar Sang Hyang Widi menurunkan belas kasihnya, menganugerahkan berkah.
Esok harinya berduyun-duyun rakyat berdatangan, sangat ramai. Segala perlengkapan termasuk saji-sajian sudah disiap­kan, teratur rapi, bunyi genta semakin cepat dipukul orang dan suaranya sangat nyaring. Upacara mantra Weda dan Semetri pun diucapkan, Sang Hyang Widi dipuja dengan khusyuk dan khidmat, semua menarik napas panjang dan lembut.
Raja Airlangga tiba-tiba berteriak disertai dengan semerbak wangi dupa dan kobaran api. “Oh Bapak yang dipuja, hilangkan penyakit yang mewabah dari negeri ini! Oh, wabah yang menjangkit, pergilah. Oh, Sang penguasa bumi, beri kami kedamaian !
Teriakan Raja semakin lama semakin keras seiring dengan kobaran api yang juga semakin tinggi.

Tiba tiba Ki Rangda melompat dari duduknya. Ia tersentak, tubuhnya terasa panas bagai dibakar kobaran api, hatinya gelisah bagai disengat lebah, tidak menentu.
Kepekaannya sebagai orang yang memiliki ilmu batin, langsung tahu dan dapat membaca situasi. Mantra Weda dan Semrti sedang dibaca, pikir Ki Rangda. Merasakan gelagat yang kurang baik, ia cepat-cepat masuk ke dalam kamar sucinya. Wajah janda itu memerah, “heeeemmm … awas!”

Pada saat itu juga, api pemujaan yang ada di hadapan Raja tiba saja berubah menjadi wujud Hyang Siwa. Dewa itu ada di tengah-tengah api. Dengan suara lembut dan pelan, Dewa itu menyampaikan pesan bahwa wabah yang menyebar di desa ini memang kiriman Calon Arang atau Ki Rangda, janda dari Jirah. Janda itu tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun kecuali oleh Pendeta Agung Mpu Baradah.

Setelah meninggalkan pesan, api pemujaan kembali meredup dan kobaran api pun hilang, yang ada tinggal gumpalan asap yang menebal, membubung tinggi.
Raja Airlangga lega hatinya mendapat pesan itu. Ia merasa tidak sia-sia mengutus anaknya ke Lemah Tulis. Doanya kepada Sang Hyang Widi semakin khusyuk. Sernoga anaknya berhasil membawa pendeta itu.

Di lain tempat, Bawula yang telah berjalan berhari-hari masuk keluar hutan, menyeberangi lautan, menuruni tebing, dan lembah, sampailah di desa Jirah. Tujuannya hanya satu mencari rumah Ki Rangda, si Calon Arang.

Ketika melewati sebuah kali, ia melihat seorang gadis cantik sedang mencuci. Diperhatikannya gadis itu dari jauh. Alangkah senang hatinya kalau ia dapat berdampingan dengan gadis itu, tapi sayang, nasib rnenentukan lain. la harus berdampingan dengan seorang anak Calon Arang. Pasti wajahnya menakutkan. Membayangkan tugas beratnya itu bulu roma Bawula kembali berdiri.
Dengan suara yang lembut, dihampirinya gadis itu, “Apakah Adik dapat menunjukkan jalan menuju Jirah?”

Gadis yang sedang memasukkan pakaian basah itu ke bakul terkejut. la tidak langsung menjawab, tetapi memandangnya penuh curiga.
Melihat tingkah laku gadis itu, Bawula cepat-cepat melanjutkan pertanyaannya, “Jangan takut, Dik. Saya ingin ke desa Jirah, apakah Adik tahu!”
Gadis itu kembali memperhatikan pemuda di depannya. Hati kecilnya mengatakan bahwa ia orang baik. Sambil mengangkat bakulnya, gadis itu menjawab, “Desa ini bemama Jirah, saya tinggal di Jirah.”
Melihat gadis itu sudah tidak takut lagi, pemuda itu rnemperkenalkan diri, “Bawula, murid Pendeta Agung Mpu Baradah.”
Mendengar nama Mpu Baradah disebut oleh pemuda itu, gadis itu terkejut sebentar, lalu menyambut tangan Bawula yang disodorkan kepadanya, “Ratna Manggali,” kata Ratna Manggali dengan suara pelan.

Dalam perjalanan itulah Ratna Manggali terdiam terus, tetapi diam-diam ia rnemperhatikannya, ia sebentar-sebentar melirik pemuda di sampingnya. “Pasti pemuda ini orang baik-baik. Aku dapat merasakannya,” suara batin Ratna Manggali.
Bawula pun sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Ia melamun jauh memikirkan nasibnya. Ia tidak sadar kalau dirinya diperhatikan oleh gadis belia di sebelahnya.


Sumber Buku

CALON ARANG DARI JIRAH

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1995



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga