PENYUCIAN RANGDA JIRAH
Sepanjang perjalanan pendeta itu masih melihat sisa-sisa keganasan Ki Rangda. Pada malam harinya, saat rembulan bersinar sampailah Mpu Baradah di rumah Ki Rangda.
Ki Rangda, Ratna Manggali, dan Bawula sudah menanti di depan rumah, menyambut tamu agung mereka.
Pendeta itu sangat tercengang ketika melihat Ratna Manggali, wanita yang sangat cantik, kulitnya halus dan putih, tubuhnya semampai, rambutnya ikal mayang, dan dagunya bagai lebah bergantung. Aduh, sorot matanya meruntuhkan jiwa lelaki yang memandangnya, kata Mpu baradah dalam hati. Tak kusangka anak Ki Rangda secantik ini. Aku pikir anaknya buruk seperti ibunya. Betapa beruntungnya Bawula mendapat pendamping hidup seperti wanita itu, katanya dalam hati.
Mpu Baradah turun dari kuda dan Bawula dengan cepat mengambil tali pelana dari tangan gurunya dan mencium tangan itu. Kuda itu ditambatkannya di samping rumah di pohon akasia, kemudian mereka bersama-sama masuk ke dalam rumah.
Mpu Baradah merasa senang ketika melihat menantunya datang membawa minuman. “Ah, cantik sekali kau Nak, cocok sekali kamu dengan Bawula!” terucap juga perkataan yang dari tadi disimpan dalam hatinya. “Semoga kecantikanmu juga ada dalam hatimu, anakku,” lanjut Mpu Baradah.
Ratna Manggali hanya tersipu-sipu dipuji oleh pendeta itu. Tidak lama kemudian berempat mereka mengobrol hingga jauh malam. Beberapa kali terdengar tawa mereka membelah malam. Makanan tidak henti-hentinya dikeluarkan oleh Ratna Manggali untuk mertuanya. Mereka kelihatan sangat rukun dan bahagia.
Kehadiran Mpu Baradah di tengah keluarga itu membawa hikmah bagi Ratna Manggali karena Ki Rangda secara diam-diam selalu mengikuti petuah-petuah yang disampaikan Mpu Baradah. Perempuan tua itu sudah jarang ke kamar sucinya mengucapkan mantra-mantra jahatnya. Selain itu, murid-muridnya pun sudah jarang diundang ke rumahnya. kalau pun mereka akan melakukan latihan mereka adakan di luar.
Di samping itu, Mpu Baradah, Bawula, dan Ratna Manggali sedang menyusun rencana untuk melawan ilmu sihir Ki Rangda. Mereka sepakat akan menolong rakyat Daha keluar dari penderitaan. Mereka mengambil dua cara, pertama dengan jalan halus, yaitu dengan nasihat dan petuah. Jika cara itu gagal, mereka terpaksa akan melakukan cara kedua, yaitu melawannya dengan kekerasan. Sebenarnya, rencana kedua sangat berat bagi Ratna Manggali karena walau bagaimana pun jahatnya, Ki Rangda tetap ibunya.
Mpu Baradah sebagai guru memperhatikan perkembangan rencana mereka. Ratna Manggali sering membujuk ibunya agar kembali ke jalan yang benar. “Untuk apa Ibu masih berlaku seperti itu. Bukankah lbu sudah bahagia melihat aku berumah tangga dan akan mempersembahkan seorang cucu” kata Ratna Manggali saat dilihat ibunya mulai mengambil api untuk membakar dupa yang disimpan di kamar suci.
Mendengar ucapan anaknya Ki Rangda diam sebentar, tetapi ia tetap berjalan ke kamar suci. Wanita itu masih tetap bersujud di depan Dewi Durga, tetapi api itu sudah tidak dinyalakannya.
Ratna Manggali mengurut-urut dadanya sambil mengucap syukur kepada Sang Hyang Widi.
Mpu Baradah pun sering membacakan ajaran-ajaran Budha yang sudah dilupakan Ki Rangda. Rupanya ajaran-ajaran itu mulai menembus sedikit-sedikit ke hati Ki Rangda.
Pada suatu malam Ki Rangda merasa kurang sehat. Ia merasa seakan-akan ajal akan menjemputnya. Seluruh badannya panas, kepalanya pusing, dan dari seluruh tubuhnya keluar bintik-bintik merah. Melihat penyakitnya, Ki Rangda sangat takut dan kalut. la memanggil Ratna Manggali dan berkata, “Ratna Manggali, tolong panggil Mpu Baradah kemari” pinta Ki Rangda.
Ratna Manggali kasihan melihat ibunya berbaring tanpa daya. Ia cepat-cepat memanggil mertuanya dan mempersilakan orang tua itu bertemu dengan ibunya, lalu gadis itu keluar.
“Baradah, aku ingin menghilangkan dosaku. Aku ingin disucikan, berkahilah aku” pinta Ki Rangda dengan nada sedih.
Mpu Baradah merasa senang dan berkata manis, “Apakah kau benar-benar hendak bertobat, melenyapkan dosa besarmu?”
“Membunuh rakyat yang tak berdosa adalah dosa besar, Baradah. Aku seharusnya berada dalam neraka seribu seratus tahun sebagai hukuman” katanya dengan mata penuh air mata.
“Selama ini aku hidup diperbudak dendamku sendiri. Aku menyesal sekali” katanya lagi.
Mpu Baradah mendengarkan pengakuan Ki Rangda dengan penuh perhatian.
Suatu malam saat Ki Rangda sedang keluar rumah, Mpu Baradah memanggil Ratna Manggali dan Bawula. “Ada kabar gembira, Anakku. lbumu tadi memanggil Eyang, ia mengaku dosa dan ingin menebusnya,” kata Mpu Baradah sambil memperhatikan Ratna Manggali yang hamilnya mulai membesar.
Mendengar ucapan pendeta itu, Ratna Manggali terisak-isak di pelukan suaminya. “Aku bahagia sekali hari ini karena ibu telah insyaf,” kata Ratna Manggali sambil menghapus air matanya.
Keesokan harinya Mpu Baradah dan Ki Rangda sudah berada di kuburan. Di situlah Ki Rangda akan disucikan dari segala dosanya.
Mpu Baradah duduk bersila di sisi kuburan memakai baju serba putih. Mulutnya mulai komat-kamit membaca doa dan mantra. Matanya terpejam rapat dan napasnya turun naik semakin cepat.
Di sisi lain di kuburan itu juga duduk pula Ki Rangda, yang ingin disucikan dari dosanya. Wanita tua itu sudah kelihatan sangat lemah dan loyo. Mukanya pucat dan bibirnya memutih. Wanita itu pun memejamkan mata dan duduk bersila, sangat khusyuk.
Pada saat penyucian akan dilakukan Mpu Baradah mengangkat tangan dan membaca doa yang semakin lama semakin keras. Beberapa saat kemudian, tubuh Ki Rangda terguncang-guncang.
Semakin lama guncangan itu semakin keras. Tubuh yang tadinya sudah lemah tanpa tenaga itu tiba saja melompat terpental. Ketika menginjakkan kaki di bumi lagi, tubuh itu sudah berubah bentuk. Bukan lagi tubuh Ki Rangda, wanita tua yang sedang sakit, tetapi tubuh raksasa si Calon Arang.
Kesaktian dari Calon Arang tidak rela kalau tubuh yang dihuninya itu akan disucikan. Wajah raksasa itu sangat beringas. Rambutnya yang keriting dan panjang itu tergerai-gerai ditiup angin. Matanya melotot dan sangat marah. Dari hidungnya yang sebesar semprong keluar suara yang menderu-deru. Air liurnya terns menetes dari mulutnya. Lidahnya panjang selalu menjulur-julur. Melihat tubuh raksasa itu, Mpu Baradah semakin keras membacakan doa dan mantra.
Mendengar doa dan mantra itu, Calon Arang semakin beringas. Ia meloncat ke depan dan dari jarinya yang sebesar pisang raja itu keluar api.
Api menyelimuti seluruh tubuh Mpu Baradah, tetapi anehnya tidak sedikit pun tubuh pendeta itu terbakar. Tidak lama kemudian dari tubuh pendeta itu memancarkan cahaya putih dan mendorong api yang membakamya.
Calon Arang semakin geram melihat serangannya tidak mempan membakar musuhnya. Raksasa itu kemudian melompat menjauh. Kedua buah dadanya yang sebesar bakul itu berayun-ayun ketika ia melompat. Dari jarak jauh raksasa itu menyerang kembali Mpu Baradah. Kali ini bukan hanya api yang diarahkan kepada pendeta itu, tetapi juga kilat dan guntur. Serangan itu begitu gencar.
Mendapat serangan yang bertubi-tubi itu, tubuh Mpu Baradah yang masih tetap bersila dan mengheningkan cipta itu terguncang beberapa kali. Akan tetapi, tubuh pendeta suci itu tidak hangus. Bahkan dari tubuh itu kembali keluar sinar putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Malah tubuh itu terangkat perlahan-lahan ke atas dan menuju tempat Calon Arang berdiri.
Calon Arang semakin ganas saat melihat musuhnya maju. Teriakannya sangat keras membelah bumi, kilat dan guntur yang dilemparkan ke arah lelaki itu lenyap ditelan sinar yang keluar dari tubuh Mpu Baradah. Jarak keduanya makin lama makin dekat. Ketika tinggal satu meter lagi tiba-tiba terdengar ledakan yang dahsyat sekali, blaaaaaar! blaaaaar! Bunyi yang menggelegar itu mengejutkan penduduk. Mereka pikir ada gempa bumi. Saat itu Calon Arang terpental jauh dan tubuhnya terjungkir, kepalanya mencium tanah, dan dari mulut raksasa itu keluar darah segar. Tubuh Mpu Baradah pun terpental, tetapi posisinya masih duduk bersila dan mulutnya terus membacakan mantra.
Calon Arang bertambah sangar, wajahnya semakin ganas. Matanya melotot menatap Mpu Baradah, “Mati kaupendeta busuk!” serunya, suaranya berteriak keras sambil menyerang dengan gumpalan api bertubi-tubi.
Orang tua itu menghindar, gumpalan api itu mengenai pohon beringin, saat itu juga pohon itu hangus. Serangan selanjutnya mengenai gunung gunung runtuh menjadi batu. Seluruh binatang, anjing, kijang, kera, berlari berhamburan. Pohonpohon jatuh saling bertindihan.
Melihat Calon Arang semakin ganas, akhimya Mpu Baradah tidak dapat tinggal diam lagi. Diserangnya Calon Arang dengan aji-ajinya yang sangat ampuh. Pendeta itu kembali beryoga, membacakan mantra. Setelah itu, pandangan Mpu Baradah pun mengeluarkan api. Api bertemu api, mengadu kekuatan. Tubuh Mpu Baradah bergetar menahan kekuatan yang dilancarkan Calon Arang. Raksasa itu pun mulai oleng menahan kekuatan yang dikeluarkan Mpu Baradah. Kekuatan putih bertemu dengan kekuatan hitam, saling bertahan. Bumi kembali berguncang dan terdengar bunyi yang menggelegar, blaaaaar, blaaaar, blaaaaar.
Rakyat berteriak mendengar suara itu, mereka berhamburan, lari menjauhi tempat pertempuran. Ketika bunyi menggelegar yang paling dahsyat terdengar lagi, Calon Arang kalah.
Raksasa itu pun hangus terbakar, mati tanpa mayat, menjadi abu.
Abu yang masih menumpuk itu diambil Mpu Baradah dan diletakkan di kain putih. Kemudian abu itu dihidupkan kembali oleh Mpu Baradah. Dari abu itu keluarlah tubuh Ki Rangda.
Ki Rangda masih kelihatan pucat, sama seperti saat ingin menebus dosa.
Dengan suara lirih, Ki Ragda minta dimusnahkan “Aku malu masih hidup , teruskan Bunuhlah aku!” seru Ki Rangda. “Aku malu, aku harus menebus dosaku” lanjutnya dengan tubuhnya semakin lunglai dari mulutnya keluar darah segar.
“Aku tidak tega Rangda, kau adalah besanku ” kata Mpu Baradah dengan lembut.
“Kalau kamu tidak membunuhku berarti kamu tidak membantu aku menuju kesucian!” seru Ki Rangda lagi.
Melihat wanita itu ingin menuj kesucian, Mpu Baradah membacakan doa dan mantra kembali. Mulutnya komat-kamit dan matanya kembali terpejam. Beberapa saat kemudian pendeta itu berkata, “Demi ketentramanmu dan ketentraman rakyat semua akan kulakukan juga penyucian ini” kata pendeta itu.
Setelah berkata begitu kembali tubuh Mpu Baradah mengeluarkan cahaya dan cahaya itu terus melebar dan meraih tubuh Ki Rangda yang sudah tidak berdaya. Hanya beberapa saat, terdengar kembali bunyi menggelegar. Saat itu pula, tubuh Ki Rangda melemas dan jatuh ke tanah.
Sernua penduduk bersorak gembira menyambut kematian Ki Rangda alias si Calon Arang, orang yang membuat hidup mereka menderita.
Meninggalnya Ki Rangda berarti hilang pula kutukannya pada seluruh penduduk.
Pada saat itu juga tanah yang gersang tiba-tiba kembali subur. Hujan turun menyirami tanah yang gersang. Padi-padi kem ali menghijau, dan rumput terhampar bagai permadani. penyakit pun lenyap seketika seakan ditelan bumi.
Ratna Manggali masih bermuram durja mengingat kematian ibunya meskipun ia bahagia juga melihat rakyat kembali hidup dalam kemakmuran.
“Anakku sayang, Ketahuilah ibumu dibunuh atas perintah sang Prabu karena ia berbuat jahat, merusak negara. Pasrahkanlah kepergiannya dan tenangkanlah pikiranmu Nak, kata Mpu Baradah menghibur menantunya.
Meskipun Ratna Manggali sadar bahwa ibunya berdosa besar, tetapi ia tidak tega juga ibunya meninggal. Apalagi meninggalnya dengan cara yang tidak wajar.
Bawula pun turut menghibur junjungan hatinya. “Sadarlah Adinda, aku tak tega melihatmu sedih. Kamu tahukan lbu mati dalam penyucian. Ia pasti masuk surga,” lalu Bawula mendiamkan istrinya yang sedang terisak-isak. Air mata Ratna Manggali bercucuran tidak berhenti.
“Kasihan anak kita kalau Adik bersedih terus!” katanya lagi sambil memegangi perut istrinya.”
“Ya, Raka, aku akan berusaha menghilangkan kepedihan hatiku,” sahut Ratna Manggali.
Mpu Baradah pun menambahkan nasihatnya, “Tidakkah anakku senang melihat Daha telah bebas dari malapetaka. tidak perlu disesali lagi kematian ibumu. Ia sudah aman di surga,” lalu pendeta itu berkata lagi, “Kalau dosa ibumu tidak besar, ia tidak akan meninggal dalam penyucian, tetapi ibumu menanggung dosa yang sangat besar. ltulah sebabnya, Sang Hyang Widi memanggilnya. Relakanlah. Ia sekarang sudah ada di sisi Yang Mahakuasa.”
Mendengar nasihat dari kedua orang yang sangat disayanginya, Ratna Manggali cukup terhibur, “Ya, aku rela, aku serahkan lbu pada yang maha adil,” katanya dalam isak tangisnya dan ditariknya napas yang agak panjang terasa ia ingin melepaskan beban yang berat yang menindihnya selama ini.
Setelah tahu Ki Rangda mengadakan penyucian, banyak murid Ki Rangda yang tersebar di desa-desa datang kepada Mpu Baradah untuk disucikan. Menghadapi penebusan dosa ini, Mpu Baradah sangat bahagia. Ia mengajak semua murid Ki Rangda ke kuburan dan di situlah mereka disucikan bersama-sama dengan menato lidah mereka. Tato itu dipercaya dapat menangkal ilmu sihir yang pemah mereka miliki.
Matinya Calon Arang dan seluruh muridnya insaf, kembali ke jalan yang benar dan Jirah, desa di Daha kembali aman dan tenteram.
Raja Daha mendengar pula tentang penyucian diri Ki Rangda dan kematiannya. la juga mendapat laporan bahwa murid-murid raksasa itu telah menyucikan diri. Sebagai raja, ia sangat gembira mendengar semua kabar itu. Negerinya akan kembali aman, damai, dan makmur seperti dulu. Bersama dengan Jayabaya, Jayasaba, dan Patih Widura Wacana, mereka menuju Jirah berbelasungkawa atas kematian Ki Rangda.
Hari masih remang-remang karena kabut masih tebal ketika rombongan Raja keluar dari pintu gerbang istana. Sepanjang perjalanan, Raja Daha diberi penghormatan, semua rakyat menundukkan kepala ketika berpapasan dengan rombongan itu.
Desa-desa yang dilalui rombongan Raja sudah kelihatan hijau kembali. padahal, kemarin masih gersang, tandus, dan korban di mana-mana. Akan tetapi, di beberapa tempat masih terlihat beberapa kerusakan di sana-sini. Aku harus cepat membangun kembali negeri ini. Rakyatku harus sejahtera kembali tanpa suatu penderitaan, pikir Raja.
Sesampai di Jirah rombongan Raja Daha disambut oleh Mpu Badarah. Beliau mengundang Mpu Badarah, Bawula, dan Ratna Manggali ke istana. “Suatu kehormatan bagi kerajaan Daha jika Eyang, Bawula, dan Ratna Manggali datang ke istana,” pinta Raja.
Mpu Badarah menyambut kebaikan hati raja itu. Begitu juga Bawula dan Ratna Manggali. “Kami pasti akan berkunjung ke istana, Tuanku,” kata Bawula dengan suara sopan. Akhimya mereka berjabatan tangan.
Sebelum pulang Mpu Baradah meminta kembali agar Raja Daha mengadakan upacara puja wali kembali. Raja itu sangat senang mendengar saran pendeta itu. Raja mengundang ketiga orang itu menghadiri upacara keagamaan itu dan melaksanakannya bersama-sama mereka di istana.
Raja menarik napas panjang. Dadanya sudah lega kembali. Itu pertanda penderitaan yang selama ini menghantuinya sudah hilang, terbang.
Setelah bercakap-cakap sebentar, rombongan kembali ke Daha. Sesudah rombongan Raja Daha sampai kembali di pintu gerbang istana, gamelan pun kembali terdengar, gong dan genta bersahut-sahutan menyambut rombongan berkuda masuk kembali ke dalam istana.
Jayabaya dan Jayasaba mengumpulkan rakyat yang mengungsi di kerajaan beberapa hari. “Wahai rakyatku yang budiman. Sekarang kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Negeri kita sudah aman lagi. Wabah penyakit sudah punah dan kemarau pun sudah pergi,” kata anak raja itu dengan suara Ian tang.
“Lusa kita akan mengadakan upacara puja wali, kami mengharapkan seluruh rakyat mengikutinya,” kata Jayasaba lagi.
Mendengar berita baik itu seluruh rakyat bersorak-sorak. Mereka menari-nari. Setelah itu mereka pulang menuju rumah mereka masing-masing.
Raja Airlangga memerintahkan seluruh hulubalang istana bekerja bakti membersihkan sebagian ruang kerajaan yang digunakan sebaga1 tempat pengungsian.
Sebagai tanda terima kasih kepada Yang Mahakuasa, raja itu juga menyuruh patihnya membuat pengumuman ke seluruh negeri, mengajak seluruh rakyatnya mengadakan kembali upacara keagamaan, yaitu upacara puja wali, upacara persembahyangan sebagai tanda terima kasih kepada Sang Hyang Widi. Mereka mengharap berkah. Pada hari itu juga seluruh pura, tempat suci, di Daha dibersihkan.
Dalam upacara puja wali, Raja Airlangga dan rakyat sudah menyediakan saji-sajian, berbagai macam janur dirangkai, buahbuahan disusun menjadi gunungan, berbagai aneka sesembahan lain sudah tersaji rapi. Balai pemujaan, tempat upacara akan berlangasung sudah diukir dengan halus.
Para wanita seisi istana berdandan, lalu berkumpul di tempat itu. Mereka semua cantik, berpakaian sutra bertepikan emas perada, bercincin mutiara, berkalung emas, bersubang daun lontar putih, bibir mereka bercahaya, menyenangkan hati.
Rakyat pun tidak mau kalah dengan penghuni istana, laki, perempuan, pemuda, gadis, dan anak-anak turut serta. Mereka pun memakai baju yang paling indah yang mereka miliki.
Suara orang bergemuruh, terdengar di balai pemujaan, berjejal-jejal. Latu umbul-umbul dan payung panjang, suara gending mulai berbunyi nyaring, melagukan wargasari. Dupa pun mulai berasap. Bunyi gamelan pun tidak kalah bagusnya, bersahut-sahutan, gong, kendang, kemong, dan tabuh-tabuhan bernyanyi.
Tidak lama kemudian iring-iringan itu berjalan bersama berduyun-duyun menuju pantai, melemparkan saji-sajian ke air. Mpu Beradah memimpin upacara itu dengan membaca doa kepada Sang Hyang Widi. Upacara berjalan sangat khidmat dan khusyuk. Setelah pembacaan doa selesai, seluruh penduduk Daha yang mengikuti upacara itu berpesta pora di pantai, bersuka-sukaan, bergembira ria.