KEGANASAN Kl RANGDA, SI CALON ARANG
Setelah musyawarah diadakan, seluruh rakyat Daha mengambil keputusan bahwa Ki Rangda harus dipanggil dan akan dihadapkan ke depan sidang. Patih Ki Jayasuara dan Patih Sidura Wacana ditugasi memanggil Ki Rangda untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di kerajaan Daha. Menanggapi keputusan itu, rakyat masih dapat bersorak-sorai gembira di sela-sela penderitaan mereka. Dalam benak mereka bencana yang menimpa mereka akan segera berakhir.
Ketika mcmasuki ruangan, Ki Rangda sangat sombong. Wanita yang buruk rupa itu terus mendongakkan wajahnya. Sebaliknya, Ratna Manggali, anaknya yang berjalan di sisinya tertunduk terus. Gadis itu kelihatan malu. Mereka berdua duduk bersimpuh di hadapan Raja.
Melihat kedua orang itu sudah masuk, Raja membuka perbincangan. “Ki Rangda mengapa Anda berbuat keji, rela membuat rakyatku menderita seperti sekarang? Ilmu hitam dapat saja Anda miliki, tetapi jangan sampai Anda gunakan untuk membunuh seluruh rakyatku,” kata Raja dengan wajah serius dan dengan suara yang tegas kepada Ki Rangda.
Ki Rangda menanggapi sinis pertanyaan Raja dengan ucapan, “Perbuatan mereka juga kejam terhadap hamba dan anak hamba, Ratna Manggali. calon suaminya diusir dari desa dengan jalan kekerasan.
Raja memanggil seorang pemuda dari desa Jirah untuk membuktikan kebenaran perkataan Ki Rangda. Sesesorang penduduk menghadap dan menceritakan apa yang pernah terjadi. Ki Rangda dengan kasar membantah laporan pemuda itu. “Bohong … Widiasta pemuda yang baik, ia tidak akan mengganggu gadis-gadis desa karena ia sudah rnempunyai Ratna Manggali. Dasar pemuda biadab. Kamu iri hati tidak dapat mendekati anak saya.
Akan saya santet kalau kauberani … ” kata Ki Rangda dengan suara bernafsu dan muka bersemu merah, marah.
Untuk membenarkan berita ini, Raja akhirnya menanyakan langsung pada Ratna Manggali yang selama ini hanya duduk berdiam diri.
Jayabaya sempat tertegun melihat gadis cantik anak Rangda memperhatikan gadis itu dengan pandangan penuh kagum. Ratna Manggali sempat melirik pandangan pangeran itu.
Di luar dugaan, Ratna Manggali justru membenarkan tuduhan bahwa Widiasta, calon suaminya, memang sering mengganggu para gadis.
Betapa kecewanya Ki Rangda. Dengan penuh emosi dipandagnya penduduk pemuda itu. Tiba-tiba seluruh tubuh pemuda itu memerah dan berguling-guling di tanah. Semua terkejut terutama Raja. Kemudian dengan kasar Ki Rangda menyeret Ratna Manggali meninggalkan kerajaan. Sepanjang jalan menuruni tangga, Ki Rangda mengeluarkan sumpah serapah dan ancaman yang mengerikan.
Menghadapi peristiwa ini Raja termenung. Rupanya benar orang tua itu memiliki ilmu hitam yang sangat ganas, pikir Raja.
Kemudian Raja kembali memusyawarahkan apa yang harus dilakukan untuk menghukum wanita ganas itu. Akhirnya, diambil kata sepakat bahwa wanita itu akan dihukum dengan jalan membunuhnya ketika wanita itu sedang tidur. Pertimbangan itu diambil karena hanya pada saat tidur itulah ilmu sihir Ki Rangda tidak bekerja.
Raja mengutus pasukan terlatih untuk menangani kasus ini, yaitu Patih Sidura Wacana, Patih Ki Jayasuara, Ken Demung, dan Ken Tumenggung serta beberapa hulubalang yang terlatih.
Ketika tengah malam, saat seluruh penduduk tertidur pulas, pasukan itu diam-diam mengurung rumah Ki Rangda. Keempat patih itu mengendap-endap masuk ke dalam rumah Ki Rangda. Rupanya Ki Rangda sudah tahu bahwa dirinya sedang terancam bahaya. Ia tidak tidur, ia sedang bersemedi di kamar suci.
Baru saja keempat patih itu memegang pintu kamar suci untuk memeriksa keadaan di dalam ruangan itu, tiba-tiba Ki Rangda keluar dengan wujud yang lain, wujud Calon Arang, raksasa yang jahat. Tubuh Ki Rangda jadi begitu menyeramkan, mulutnya menganga, air liurnya jatuh menetes. Matanya terbelalak, biji matanya besar, sinar matanya berapi-api, rambutnya ikal terurai panjang. Lidahnya yang panjang menjulur-julur. Tubuh raksasa itu semakin berat jalannya karena susunya yang sebesar bakul tergantung. Dari semua jarinya keluar kuku yang panjang dan melilit-lilit.
Keempat patih itu mundur beberapa langkah. Karena terkejutnya, Patih Ki Jayasuara jatuh terlentang. Melihat tamunya ketakutan, Ki Rangda tertawa terkekeh-kekeh, menyeramkan. Suaranya yang menakutkan itu terdengar membelah malam. Ia terus terkekeh-kekeh. Angin yang berembus dan sunyinya malam membawa suara itu ke seluruh penjuru negeri. Penduduk ketakutan, mereka berlindung di bawah tempat tidur.
Patih Sidura Wacana dan Ken Demung mundur beberapa langkah, sedangkan Ki Rangda terus maju mendesak musuhnya tanpa ampun. Dengan satu gerakan yang sangat cepat Ki Rangda dapat menjatuhkan keempat patih itu dan dilempar ke luar.
“Aku tidak terkalahkan … tidak terkalahkan, ha … ha … Aku- lah murid teladan Dewi Durga! He … he … he … pulanglah kalian semua. Katakan pada rajamu, ia sendiri yang harus mengalahkan aku”, Ki Rangda terdengar memecahkan malam.
Burung hantu yang sedang bemyanyi tiba-tiba berhenti, angin pun bertiup semakin kencang, dan rembulan yang sedang tertawa turut berduka. “Aku akan terus mengganggu ketentraman hidup kalian, seluruh rakyat Daha, karena kalian sudah menyiksaku sepanjang hidup. Aku diasingkan, suamiku dibunuh, dan anakku diasingkan, tanpa teman! Kalian memang patut disiksa. Sekarang rasakan pembalasanku, ha .. . ha .. . ha … ! ” tambah Ki Rangda dengan suara seperti halilintar.
Penduduk yang mendengar ancaman itu semakin takut dan menarik anak mereka ke dalam pelukan mereka. Malam semakin senyap!
Esok siangnya tersebarlah berita bahwa Ki Rangda sudah membunuh para hulubalang, andalan Raja Airlangga. Rakyat semakin ketakutan mendengar berita itu. Berarti siapa lagi yang akan membantu mereka melepaskan penderitaan.
“Anakku … kita akan kelaparan, lumbung yang kita miliki sudah kosong, tak satu pun padi di sana, tak ada makanan yang tersisa,” kata salah satu penduduk pada anaknya yang duduk memegang perutnya yang kosong.
“Pak, kita pindah saja dari desa ini. Mungkin desa sebelah barat masih memiliki makanan,” kata istrinya, sambil mendiamkan anaknya yang berumur dua tahun yang terus menangis di pangkuannya.
Mereka lalu berkemas dan meninggalkan desa itu. Sepanjang perjalanan mereka mendengar teriakan kelaparan di sepanjang jalan. Bahkan ada rakyat yang mulai terjatuh dan meregang.
Beberapa saat kemudian, bukan hanya padi dan tumbuh-tumbuhan lain saja yang mati. Bahkan, air pun mulai mengering. Tanah-tanah retak, debu bertebaran, dan kuman penyakit mulai berkerumun. Kini, rakyat bukan hanya menderita kelaparan, tetapi juga dihinggapi penyakit. Banyak rakyat yang mengungsi ke dekat pantai. Mereka tidak merasakan lagi asinnya air laut. Yang penting mereka dapat minum. Negeri Daha benar-benar gersang!
Raja Airlangga sudah memberikan berton-ton makanan yang ada di gudang kerajaan membantu rakyatnya yang kelaparan. Bahkan, bagian belakang kerajaan yang selama ini kosong digunakan untuk menampung rakyat yang kelaparan. Lama-lama tempat itu semakin penuh orang sehingga persediaan semakin menipis dan mata air satu-satunya yang berada di taman sari mulai kering.
Melihat peristiwa naas itu, Raja Airlangga sangat sedih. Semua patih unggulannya tidak dapat mengalahkan ilmu Ki Rangda. Akhirnya, Raja memanggil sisa-sisa patih yang masih hidup.
“Aku harap hari ini adalah musyawarah yang terakhir. Aku ingin kekejaman Ki Rangda cepat teratasi,” kata raja dengan penuh semangat. “Apakah ada ide gemilang yang dapat mengatasi bencana ini?” tanya Raja.
Di luar dugaan Jayabaya mengacungkan tangan dan berkata, “Ayah, aku baru saja membaca lontar yang tersimpan di perpustakaan kerajaan. Dalam lontar itu dinyatakan bahwa ilmu hitam Ki Rangda hanya dapat dilawan oleh seorang pendeta, yaitu Pendeta Agung Lemah Tulis. Pendeta itu tinggal jauh di atas bukit di daerah Lemah Tulis. Pendeta agung itu bemama Mpu Baradah.”
“Apakah Ananda dapat membawa lontar itu kemari. Mari kita baca bersama,” pinta Raja dengan penuh semangat.
Setelah mereka membaca bersama lontar itu, mereka mengambil kata sepakat bahwa yang pertama mereka lakukan adalah menemui Pendeta Agung Mpu Baradah. Akhimya, Raja memerintahkan Patih Kanuruhun, Patih Arya Daksa, Jayabaya, dan Jayasaba, menemui Pendeta Agung Mpu Baradah. Perjalanan mereka kali ini tanpa upacara resmi karena semua rakyat sedang berduka cita. Keempat orang itu hanya membawa perbekalan yang sangat terbatas. Gunung demi gunung mereka lewati, masuk hutan keluar hutan, beberapa celuk dan pantai terlewati, Lemah Tulis belum juga terlihat. Yang ada di hadapan mereka hanyalah korban-korban keganasan Ki Rangda.