Konsep Kosmologi Masyarakat Hindu Bali


Kosmos adalah jagad alam semesta. Kosmologi adalah kajian tentang kosmos yang berkaitan dengan kosmogoni atau mite mengenai penciptaan dunia atau alam semesta dan manusia (Koentjaraningrat, 1984 : 329). Berkaitan dengan pengertian tersebut meliputi hal-ihkwal tentang proses terjadinya alam jagad raya beserta isinya, yaitu siapa pencipta dan bagaimana alam semesta ini di ciptakan. Kata kosmologi, berasal dari bahasa Yunani yakni “kosmos”, yang berarti keteraturan, keseimbangan, sistem yang harmonis; alam jagad raya inilah sebagai contoh keteraturan tersebut. Kosmologi bagi budaya masyarakat Bali memandang alam semesta sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang pula. Oleh sebab itu bagi masyarakat Bali kosmologi dimaknai sebagai keteraturan, keserasian, dan harmoni yang dimanesfetasikan ke dalam jagat raya (makrokosmos) dan jagat alit (mikrokosmos). Dalam budaya masyarakat Bali kosmologi diimplementasikan ke dalam elemen-elemen di alam semesta ini; antara lain manusia, bangunan suci, rumah pawongan, dan komonitas lain sebagai mikrokosmos.

Setelah masuknya faham agama Hindu-Budha di Bali dengan kitab suci Weda dan Tri Pitakanya, budaya mitis tetap berjalan berdampingan dengan faham Siwa- Budha sampai sekarang. Budaya mitis tersebut berbaur dan bergabung membentuk budaya Bali berkembang hingga sekarang seperti apa yang dapat kita saksikan dewasa ini.

Cara berpikir budaya mitis berbeda dengan cara berpikir modern yang ontologis. Pada budaya mitis, manusia justru bersikap menyatu dengan alam di luar dirinya. Hidup ini merupakan kesatuan maha besar, antara manusia dengan masyarakat, antara manusia dengan alam, antara manusia dengan dunia roh yang gaib, antara manusia dengan seluruh tata kosmos semesta ini. Manusia harus menyelaraskan diri dengan kosmos kalau mau selamat di dunia fana ini. Manusia menyatukan dirinya dengan objek di luar dirinya, dari sinilah mereka menemukan jati dirinya (Sumardjo.2000 : 320). Logika mitis adalah merupakan kesatuan kosmos, dunia sana yang omnipoten dikawinkan dengan dunia sini yang impoten. Perkawinan tersebut hanya dapat dilakukan lewat laku seksual. Dan laku seksual itu dilambangkan dengan persetubuhan antara unsur laki-laki dan perempuan.

Kehidupan atau kesuburan terjelma perkawinan dua unsur laki-laki dan perempuan tadi. Seks adalah bagian dari peristiwa kosmos, persetubuhan laki-laki langit dan ibu pertiwi. Dari persetubuhan itu diharapkan turun hujan demi kesuburan pertanian, akibatnya akan tumbuh kehidupan berupa tanaman.

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan terhadap beberapa responden menyatakan bahwa Hyang Widhi adalah maha pencipta, Hyang Widhilah yang menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya. Sebelum Hyang Widhi mencipta, alam dengan segala isinya tiada. “Duk tan hana paran-paran, anrawang-anruwung”, artinya ketika sebelum ada penciptaan, maka tidak ada apa-apa dan semuanya tidak menentu. Sesuai pula seperti apa yang tersurat dalam Weda (Brihad Aranyaka dan Chandogya Upanisad) disebutkan sebagai berikut :”Idam wa agra naiwa kincid asit, sad ewasaumya idam agra asit, ekam ewa adwitya”. Artinya : sebelum diciptakan alam ini tidak ada apa-apa, Maha Esa tidak ada duanya. Alam semesta dan segala isinya adalah ciptaan Hyang Widhi yang merupakan pancaran kemahakuasaanNya, yang tercipta melalui tapa Hyang Widhi sendiri. Tapa adalah pemusatan tenaga pikiran yang terfokuskan, sehingga menimbulkan pancaran panas yang luar biasa. Dengan tapa inilah Hyang Widhi menciptakan alam semesta dengan segala isinya.

Demikianlah kemahakuasaan Hyang Widhi, di samping menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya ini juga menyatu dan meresap ke dalam ciptaannya, serta menghidupkan atau memberikan jiwa alam semesta dengan segala isinya sehingga adanya kehidupan. Alam semesta dengan segala isinya ini yang dahulu kala pernah tidak ada, lalu ada, kemudian tidak ada lagi dan demikian seterusnya berulang kali. Pada saat ini terciptanya alam semesta yang disebut “Srsti” atau “Brahma Diva” (siang hari Brahma) dan ketika alam ini meniada disebut “Pralaya”, atau “Brahma Nakta” (malam hari Brahma). Proses terciptanya alam semesta ini berlangsung secara berjenjang yang teramat gaib atau halus sampai jenjang yang tampak atau berwujud.

Penciptaan oleh Hyang Widhi melalui tapa-Nya, pada mulanya terjadi dua kekuatan asal, yakni “Purusa” dan “Prakerti”. Purusa adalah unsur dasar yang bersifat kejiwaan, sedang Prakerti adalah unsur dasar yang bersifat kebendaan. Baik Purusa maupun Prakerti kedua-duanya memiliki sifat yang tidak dapat diamati dan tanpa permulaan. Purusa dan Prakerti kedua-duanya bertemu atau bekerjasama menyebabkan adanya alam semesta ini secara bertingkat dan berjenjang. Pertemuan antara Purusa dan Prakerti ini dilukiskan sebagai kerja sama antara yang melek tapi lumpuh denganyang kuat tapi buta. Dengan kerja itulah mereka baru bisa melakukan atau membuat sesuatu.

Prakerti yang merupakan azas kebendaan, memiliki Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Sattwam sifat dasarnya adalah tenang dan menerangi. Rajas sifat dasarnya adalah aktif dan dinamis, dan Tamas sifat dasarnya adalah berat dan gelap. Akibat adanya kerjasama Purusa dengan Prakerti ini menyebabkan kekuatan yang ada pada Tri Guna menjadi seimbang. Pertama-tama kekuatan Sattwam yang lebih besar dari Rajas dan Tamas melahirkan adanya Mahat. Mahat yang berarti agung. Dari Mahat ini kemudian muncullah Budhi yaitu benih kejiwaan tertinggi. Budhi ini adalah sifat yang dimiliki oleh Sattwam, sehingga keputusannya bersifat bijaksana.

Selanjutnya dari Budhi ini lahirlah Ahamkara. Ahamkara berfungsi untuk merasakan. Dari Ahamkara lahirlah Manas yaitu akal pikiran yang berfungsi untuk berpikir. Dari Manas selanjutnya lahir “Panca Tanmatra”, yaitu lima unsur halus yang meliputi sabda tanmatra (sari suara), sparsa tanmatra (sari rabaan), rupa tanmatra (sari warna), rasa tanmatra (sari rasa), ganda tanmatra (sari bau).

Perkembangan selanjutnya dari Panca Maha Bhuta yaitu lima unsur yang kasar meliputi : Akasa (ether), Bayu (hawa/udara), Teja (api), Apah (air) dan Pertiwi (tanah). Panca Maha Bhuta ini kemudian menjadi alam semesta dengan segala isinya seperti: matahari, bulan, bumi, yang disebut Brahmanda. Demikian juga gunung, sungai, pohon, binatang, manusia, serta yang lainnya. Jadi jelaslah bahwa alam semesta dengan segala isinya lahir dan mengalir dari tubuh Hyang Widhi, pada saatnya nanti akan kembali kepada Hyang Widhi.

Demikian pula asal mula manusia dan alam ini pada hakikatnya sama yaitu dari Purusa  dan Prakerti. Oleh sebab itu alam semesta ini  lazim disebut    Bhuana Agung dan manusia disebut Bhuana Alit. Pada diri manusia unsur purusa itu menjadi jiwatman, sedangkan unsur prakerti menjadi badan kasar atau stula sarira. Sukma sarira disebut juga raga sarira, sukma sarira terdiri dari budhi, manas, ahamkara yang disebut tri anatah karana sarira. Tri anatah karana sarira inilah yang menciptakan bagian manusia yang amat menentukan watak seseorang. Indra manusia ada 10 banyaknya sehingga disebut dasendriya.

Manas di samping berkedudukan sebagai anggota dari tri antah karana sarira juga berkedudukan sebagai rajendriya, karena semua indriya itu berpusat pada pikiran manusia. Indriya itu tidak dapat di amati. Stula sarisa atau raga sarira yang terjadi pada panca tanmatra dan panca maha bhuta adalah sebagai berikut (1) tulang belulang, otot, daging, dan segala yang padat sifatnya terjadi dari gandha atau pertiwi, (2) darah, lemak, kelenjar, empedu, air badan, dan segala yang cair sifatnya terjadi dari rasa atau apah, (3) panas badan, sinar mata dan yang panas dan bercahaya sifatnya terjadi dari  rupa dan teja, (4) napas dan udara dalam badan terjadi dari sparsa atau wayu, rongga dada, rongga mulut, dan segala rongga lainnya terjadi dari sabdha atau akasa.

Demikian hakikat manusia adalah makhluk yang berakal. Manusia sering juga disebut atmaja, anuja, jadma, dan purusa. Manusia disebut atmaja, anuja, dan jadma, karena pada hakikatnya ia adalah atman atau anu yang lahir dari atma atau anu yang berbadan. Disebut purusa karena memang berasal dari purusa, dan semua itu adalah sama yaitu percikan yang mengalir dari Hyang Widhi. Oleh sebab itu, manusia pada hakikatnya adalah penjelmaan dari atman, sedangkan atman sendiri adalah berasal dari percikan dari Mahaatman. Terkait dengan hal ini ada kepercayaan Masyarakat Bali bahwa roh atau atman setelah pada waktunya nanti akan kembali menyatu dengan Mahaatman (Hyang Widhi)

Dalam kosmologi masyarakat Bali tidak memandang alam semesta ini sebagai kesatuan yang bersifat fisik (sekala) semata, melainkan juga bersifat spiritual (niskala) yang teratur di bawah kekuatan Mahaatman yang menjadi pusatnya. Dalam kehidupan budaya masyarakat Bali pada dasarnya memandang keberadaan alam semesta ini sebagai suatu sistem yang teratur dan harmonis. Makrokosmos atau alam jagat raya akan tetap ada dan terjaga selama unsur-unsurnya masih terkontrol oleh hukum keteraturan dan keseimbangan yang dimiliki oleh pusat kosmos atau Mahaatman sebagai pencipta dan mengontrol alam semesta ini.

Seperti telah diuraikan di atas bahwa masyarakat Bali juga percaya dengan adanya alam makrokosmos (bhuwana agung) dan mikrokosmos (bhuwana alit). Untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan bhuwana agung maka di kesembilan arah mata angin dijaga oleh para Dewata yang dikenal pula dengan sebutan Nawa Sanga. Kesembilan Dewata Nawa Sanga tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Utara ; Dewa Wisnu, Sakti Dewi Sri, Senjata Cakra, warna hitam, aksara A.
  2. Timur laut; Dewa Sambhu, Sakti-Mahadewi, Senjata Tri Sula, warna abu-abu, aksara Wa
  3. Timur; Dewa Iswara, Sakti Dewi Uma, Sejata Bajra, Warna Putih, Aksara Sa
  4. Tenggara; Dewa Maeswara, Sakti Dewi Laksmi, Senjata Padupan, Warna Merah jambu, Aksara Na
  5. Selatan; Dewa Brahma, Sakti Dewi Saraswati, Senjata Gada, Warna Merah, Aksara Ba
  6. Barat Daya; Dewa Rudra, Sakti Dewi Camodi, Senjata Gada dengan dua kepala, Warna Oranye, Aksara Ma
  7. Barat; Dewa Mahadewa, Sakti Dewi Sanci, Senjata Panah Nagapasah, Warna Kuning, Aksara Ta
  8. Barat Laut; Dewa Sangkara, Sakti Dewi Rodri, Senjata Panah Pasupati, Warna Hijau, Aksara Si
  9. Tengah; Dewa Siwa Mahadewa, Sakti Dewi Durga, Senjata Padma, Warna Pancawarna (warna campuran)

Untuk menjaga keharmonisan alam semesta baik makrokosmos, maupun mikrokosmos, maka bagi masyarakat Bali senantiasa setiap tahun selalu menyelenggarakan upacara “Tawur Kesanga” jatuh pada sehari sebelum dilakukan upacara penyepian Jagat. Upacara Tawur Kesanga ini adalah upacara ritual memberikan atau persembahan korban kepada para Bhuta Kala, agar supaya alam semesta ini selalu senantiasa harmonis beredar sesuai dengan hukum alam, sehingga hal ini akan dapat memberikan kesejahteraan dalam kehidupan dan

ketentreman di alam dunia fana ini. Jika kita bandingkan di Jawa upacara ritual ini hampir sama dengan upacara-upacara ritual yang masih dilaksanakan di Pedesaan maupun daerah-daerah pinggir pantai seperti upacara ritual bersih desa, upacara sedekah bumi, upacara wisuda bumi, upacara sedekah laut dan sebagainya, merupakan persembahan tulus ikhlas dari masyarakat setempat sebagai ucapan terimah kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dapat memberikan hasil panen maupun tangkapan melaut yang demikian melimpah, tentu hal ini dikarenakan adanya keharmonisan Jagat Ageng maupun Jagat Alit.

Kembali pada makrokosmos dan mikrokosmos seperti telah diuraikan di atas bahwa alam makrokosmos dijaga ketat oleh Dewata Nawa Sanga, dengan tujuan tiada lain adalah untuk menjaga keseimbangan maupun keharmonisan jagat raya, agar supaya tidak menyimpang dari hukum peredarannya. Sedangkan pada mikrokosmos (badan manusia) seperti apa yang tersurat dalam lontar Kanda Empat dinyatakan demikian bahwa manusia lahir diikuti oleh saudara-saudaranya seperti : (1) pertama atau yang tertua berupa yeh-nyem bertugas melindungi bayi dari sentuhan roh jahat atau bahaya. Dewanya Sang Kursika, menjadi Bhuta  Putih, disebut pula Bhuta Anggapati, (2) kedua berupa Darah, bertugas memberi hidup, Dewanya Sang Garga, menjadi Bhuta Abang, atau juga sering disebut Bhuta Merajapati, (3) ketiga berupa ari-ari, bertugas membungkus bayi dan kalau sudah pecah mendorong bayi untuk dapat lahir. Dewanya Sang Kursya, menjadi Bhuta Kuning, disebut pula Bhuta Banaspati, (4) keempat berupa Lamad,  bertugas melicinkan bayi untuk lahir, Dewanya Sang Metri, berwarna hitam, dikenal dengan Bhuta Banaspatiraja, dan (5) kelima berupa Yeh Ening, Dewanya Sang Pratenjala, berwarna mancawarna, bernama Bhuta Dengen.

Bhuta Banaspatiraja inilah menurut kepercayaan masyarakat Bali dianggap menjadi Barong, sebagai unen-unen (binatang peliharaan) di Pura Dalem (kuburan), sedangkan Bhuta Anggapati, Bhuta Merajapati, dan Bhuta Banaspati menjadi Patih. Sementara kedudukan dan tempat masing-masing Bhuta tersebut adalah sebagai berikut ; (1) Bhuta Anggapati berkedudukan di Timur dan warna putih, (2) Bhuta Merajepati, berkedudukan di Selatan dan warna merah, (3) Bhuta Banaspati, berkedudukan di Barat, warna Kuning, (4) Bhuta Banaspatiraja, berkedudukan di utara, warna hitam, dan (5) Bhuta Dengen, berkedudukan di tengah dan warna mancawarna.

Demikian kosmologi budaya masyarakat Bali dalam kehidupannya senantiasa berorientasi terhadap keseimbangan alam jagad raya baik makrokosmos maupun mikrokosmos, dan sikap ini diantisipasi dengan melakukan laku upacara ritual dan etika dalam berhubungan bermasyarakat yakni hubungan serasi dengan Hyang Widi, dengan alam lingkungan, dan hubungan harmonis dengan sesama manusia, dan untuk menjaga lingkungan dari serangan wabah maupun bahaya diyakini Barong dan Rangda dapat melindunginya. Barong merupakan jelmaan dari Bhatara Siwa dan, Rangda adalah jelmaan dari Bhatari Durga.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga