Pelaksanaan Upacara Ngelinggihang Dewa Hyang


Tempat Ngelinggihang Dewa Hyang

Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan / tempat suci untuk memuja Hyang Widhi/dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya:

  1. Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja Hyang Widhi, para dewata
  2. Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur yang dikenal dengan sebutan Pura Kawitan. Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau luluhur berdasarkan garis kelahiran (genealogis). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebih luas dari pura milik warga atau pura klen.

Dengan demikian maka pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang discbut pura Dadya sehingga mereka disebut tunggal Dadya. 

Keluarga inti disebut juga keluarga batih dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga besar. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak mereka yang belum kawin.  Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut sanggah atau marajan yang juga disebut kamulan taksu, sedangkan tempat pemujaan keluarga luas disebut sanggah gede atau pamarajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadya) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut pura paibon atau pura panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu, ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), pura Penataran (Penataran Klen) dan sebagainya.

Mencermati fungsi pura tersebut kaitannya dengan pelaksanaan ngelinggihang Dewa Hyang sesuai dengan petunjuk sastra (lontar) diantaranya: 

Dalam lontar Usana Dewa, lembar 4 disebutkan :

“ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma, ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh….”

Yang artinya :

”Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).”

Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa. Kutipannya pada lembar 4b adalah sebagai berikut :

“….. ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga….” 

Artinya :

“…… nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud”

Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa.

  • Dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dinyatakaan, muwang ngunggahang dewa pitara ring ibu dengen ring kamulan. 
  • Sedangkan dalam Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan, muwah banten penyuda mala karahaken pitra ngarania angunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengen muang ring Kamulan ngaran. 

Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan yaitu Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal: 

 “..iti kramaning ngunggahang pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa walws dinanya, sawulan pitung dinanya…”. 

Artinya:

 “…Ini perihalnya naikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya..”

Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa seperti disebutkan :

“riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewahyangnya nguni……” 

Yang artinya :

“Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau semasa hidupnya sebagai laki-laki dinaikkan pada ruang kanan, Kalau roh suci itu dahulunya perempuan dinaikkan di sebelah kiri, di sana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.”

Dalam Lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa: sanghyang atma setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirthapangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :

“Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan”

(Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).

Artinya :

“Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan”

Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi / Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahman, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.

 

3. Cara Ngelinggihang

Upacara ngelinggihang Dewa Pitara / Dewa Hyang dapat dilangsungkan setelah 3 hari dari upacara memukur dan dapat pula dilaksanakan setelah nganyud sekah ke segara atau dapat dilaksanakan pada saat tegak piodalan pura bersangkutan. Upacara ini dilaksanakan disanggah merajan/ pura paibon yang disesuaikan dengan cara / drsta yang biasa dilaksanakan oleh keluarga bersangkutan.

Upacara  ini dapat diselesaikan / dipimpin oleh sang sadaka / sulinggih atau pada tingkatan alit dapat dilakukan oleh Jro Mangku. Adapun eed upacaranya sebagai berikut :

  • Terlebih dahulu disiapkan sarana upakara dan diatur letaknya sedemikian rupa menurut fungsi dan letaknya masing-masing
  • Ngajum daksina pelinggih / tigasan / untuk sang dewa pitara pada daksina linggih / tigasan diberi pipil diberikan nama yang diupacarakan kalau sudah di ingkup nama berubah menjadi purusa atau pradana.
  • Dilanjutkan sang muput melaksanakan muja ngastawa, nudusin, nuurang
  • Nuntun daksina linggih / tigasan sang Dewa Hyang kehadapan pelinggih kemulan untuk melaksanakan pengingkupan / ngelinggihang: sang dewa pitara lanang ke ayabang ring tengen kemulan, sang pitara istri ayabang ring rong kiwa pelinggih kemulan,  setelah selesai daksina pelinggih dikelilingkan memutari pelinggih kemulan sebanyak tiga kali mengarah jarum jam / purwadaksina, dengan dituntun menggunakan penuntun, setelah selesai daksina pelinggih dilinggihkan pada rong kemulan sesuai status yang diupacarakan. Sedangkan apabila memakai tigasan dapat dilaksanakan ngingkup / menyatukan antara tigasan pengadeg lama dengan dewa hyang baru.
  • Dilanjutkan upacara tutug tiga hari, abulan pitung dina, tiga bulanan, aoton, duang otong, melekutusin.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga