Sejarah Lingga Yoni di Pura Kancing Gumi


Lingga di Pura Kancing Gumi yang berada di Desa Adat Batu Lantang, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung memiliki fungsi sebagai tempat untuk melakukan persembahyangan bagi masyarakat di Desa Sulangai dan masyarakat umum karena status pura merupakan pura Kahyangan Jagat atau pura umum. 

Lingga di Pura Kancing Gumi bentuknya tidak seperti Lingga-Lingga yang ditemukan di Indonesia secara umumnya. Lingga di Pura Kancing Gumi merupakan Lingga yang langsung menancap di permukaan bumi, Lingga merupakan simbol Purusa dan bumi (pretiwi) merupakan unsur Pradana. Sehingga Yoni yang biasanya menjadi dasar daripada Lingga, di Pura Kancing Gumi Yoni yang dimaksud adalah bumi tempat dimana Lingga itu berada.

Lingga di Pura Kancing Gumi sangat disakralkan, pemedek yang ingin melakukan pemujaan ke halaman utama mandala dilarang memakai alas kaki agar kesucian pura tetap terjaga dan terhindar dari kekotoran, upakara yang dipersembahkan tidak boleh memakai daging babi sebagai filosofi bahwa babi memiliki sifat tamasika yang harus dihindari oleh manusia, wanita hamil dan menyusui tidak diperkenankan memasuki areal pura untuk menjaga kesucian pura, mempersembahkan telur itik sebanyak enam biji sebagai filosofi agar manusia dalam menjalankan hidup hendaknya selalu berpegang teguh pada ajaran dharma atau kebenaran yang dapat menumbuhkan sifat kebijaksanaan, sehingga akan tercipta hubungan yang baik terhadap Tuhan, sesama manusia maupun terhadap lingkungannya dengan meninggalkan enam sifat yang disebut dengan Sad Ripu.

Lingga Yoni di Pura Kancing Gumi sebagai tempat untuk melakukan penglukatan atau pembersihan diri secara Niskala, yang dilakukan di beji pura dengan terlebih dahulu ngatur piuning di Pura Kancing Gumi.

Masyarakat Desa Sulangai percaya bahwa Lingga tersebut merupakan Stana Hyang Siwa dan sangat disucikan keberadaanya. Melakukan pemujaan melalui media Lingga selalu dilakukan dengan harapan agar senantiasa dilindungi, diberikan kemakmuran oleh Hyang Siwa (Tuhan). Dengan mengetahui bahwa melakukan pemujaan kehadapan media Lingga dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan maka masyarakat senantiasa melakukan pemujaan kepada Hyang Siwa melalui media Lingga.

Banyak kejadian luar biasa yang di alami oleh masyarakat seperti dilihatnya sinar yang menerangi pemukiman, didapatkannya keris secara tiba-tiba diatas Lingga dan kejadian lainnya. Masyarakat sangat meyakini keberadaan Ida Bharata Lingsir atau Hyang Siwa yang dapat memberikan keselamatan, kesembuhan bagi yang melakukan pemujaan di Pura Kancing Gumi. Berfungsi kesuburan, dengan memercikkan tirta yang didapat di Pura Kancing Gumi para petani berharap diberikan kesuburan dengan hasil pertanian yang baik terbebas dari hama maupun cuaca yang kurang baik.

Sejarah Lingga di Pura Kancing Gumi

Awal mula ditemukannya Lingga di Pura Kancing Gumi tersebut menurut cerita secara turun temurun berawal dari keinginan penduduk yang berkeinginan memindahkan pemukiman warga dari posisi semula mengarah ke utara dari pemukiman yang telah ada yang lokasinya lebih tinggi, karena tempat yang dijadikan pemukiman dialiri air yang menurut masyarakat sangat cocok untuk membuka lahan persawahan. Sehingga dari hal tersebut mulailah warga secara perlahan lahan pindah ke arah yang lebih tinggi yakni kearah utara. Karena di sebelah utara merupakan hamparan hutan (alas) sehingga dilakukan penebangan hutan yang rencananya akan dipakai pemukiman.

Hamparan hutan tersebut juga terdapat bukit-bukit sehingga penduduk melakukan perataan agar bisa didirikan sebagai pemukiman. Namun secara bersamaan ditemukan batu panjang seperti tiang yang menancap di permukaan tanah, karena tujuan awalnya adalah meratakan tanah sehingga batu itupun digali.

Begitu digali dan digoyang-goyangkan sehingga menjadikan batu itu patah. Patahan yang pertama diletakkan disebelah tempat penggalian. Penggalian kembali dilanjutkan oleh penduduk dan mengalami hal yang sama juga berupa patahan, hingga mencapai sebelas patahan dan tidak menemukan ujungnya akhirnya penggalian dihentikan.

Setelah dilakukan penggalian tersebut mulailah timbul berbagai macam keanehan-keanehan yang menimpa penduduk di sana, mulai dari timbulnya berbagai macam penyakit menyerang penduduk, wabah yang menimpa perkebunan, sawah dan ladang. Disamping itu juga timbul suara-suara yang aneh disekitar penggalian tersebut.

Hingga pada akhirnya setiap penduduk berkeinginan memindahkan dan mulai membangun pemukiman di tempat penggalian namun terhalang oleh berbagai macam binatang seperti secara tiba-tiba ada ulat banyak dan ular, hal ini menyebabkan banyak penduduk mengurungkan niatnya membangun pemukiman.

Akhirnya salah satu dari penduduk tersebut kerauhan (dimasuki roh gaib), dan memberikan sabda bahwa ditempat tersebut tidak boleh dipakai sebagai pemukiman karena merupakan areal suci dan batu yang digali tersebut merupakan linggih (tempat berstana) Ida Bhatara Lingsir, dan sekaligus tempat tersebut berdasarkan sabda bernama Kancing Gumi. Sehingga dari kejadian tersebut masyarakat akhirnya sadar dan menyimpulkan bahwa lokasi tersebut merupakan kawasan suci Ida Betara Lingsir dan Batu Panjang tersebut merupakan tempat Beliau berstana. Berdasarkan kejadian tersebut masyarakat melakukan pemujaan untuk memohon maaf atas kejadian itu.

Mulai saat itulah kawasan tersebut di beri nama Pura Kancing Gumi. Pura adalah secara umum berarti tempat melakukan persembahyangan, kancing jika dikaitkan dengan bahasa Bali berarti sebuat benda yang berada dalam pakaian dan ditengah-tengah yang fungsinya sebagai penguat atau penekek, sedangkan gumi berarti bumi atau alam semesta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pura Kancing Gumi merupakan tempat melakukan persembahyangan untuk memohon keselamatan alam lingkungan.

Lingga dalam pengertian masyarakat setempat merupakan linggih (tempat berstana) yang disucikan yakni linggih Ida Bhatara Lingsir. Hingga pada tahun 1990 berdasarkan paruman masyarakat berkeinginan untuk merubah nama Pura Kancing Gumi menjadi Pura Pusering Jagat dengan alasan pertama, supaya nama pura lebih diperhalus. Kedua, masyarakat berkeinginan agar status pura mendapat pengakuan dari pemerintah.

Setelah dilakukan perubahan nama pura kembali lagi terjadi kejadian-kejadian yang tidak baik menimpa masyarakat desa tersebut, seperti terjadi banyak pertentangan pendapat di antara masyarakat dan pengurus adat. Sehingga timbul jalan pemikiran yang berbeda-beda yang menyebabkan pertentangan diantara masyarakat. Adanya perilaku-perilaku masyarakat yang diluar batas kewajaran seperti berkata-kata kotor, berbuat yang tidak baik yang menimbulkan biuta (konflik).

Pertentangan seperti itu terjadi hingga 13 tahun, hingga akhirnya pada tahun 2003 tanpa sepengetahuan siapapun ditemukan surat yang bertulis latin yang ditujukan kepada bendesa adat. Surat tersebut diyakini sebagai pewisik, karena surat tersebut didapat begitu saja di areal pura tanpa ada orang yang menaruh, pada intinya isi surat tersebut agar masyarakat mengembalikan nama pura ke asalnya dan melakukan upacara Penyegjeg Jagad.

Akhirnya para pengurus melakukan parum (rapat) untuk membahas hal tersebut, dari hasil rapat disepakati tidak akan dilaksanakan upacara tersebut dengan alasan karena upacara tersebut dianggap besar sedangkan pengemponnya sedikit. Setelah 6 (enam) hari kemudian timbul lagi berbagai bencana seperti di salah satu rumah penduduk terjadi kebakaran secara tiba-tiba, masyarakat kembali dihantui perasaan takut dikarenakan pada saat menjelang malam terdengar ada suara-suara orang menangis yang keberadaannya tidak diketahui, tanaman diladang secara tiba-tiba mati, sawah mengering perlahan-lahan tidak dialiri air, bahkan sampai ada yang meninggal karena ketakutan tersebut. Masyarakat kemudian membuat Upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka sebagai simbol ungkapan permohonan maaf.

Dari berbagai kejadian yang timbul masyarakat kembali mengadakan rapat dan disepakati akan melaksanakan upacara Panyegjeg Jagat, dan akan dilaksanakan pada Tahun 2006 dengan tingkatan Alit (kecil), namun masyarakat kembali mengadakan pertemuan dan menghasilkan keputusan bahwa upacara akan dimajukan dan akan dilaksanakan pada Tahun 2004 dengan tingkatan utama.
Tahun 2004 tepatnya Tanggal 10 Nopember 2004 dilaksanakanlah upacara tersebut dengan hati tulus iklas mempersembahkan berbagai macam sarana Upacara. Setelah dilaksanakan upacara tersebut dan nama pura dikembalikan menjadi Pura Kancing Gumi keadaan mulai normal kembali, masyarakat dapat melaksanakan Swadarmanya (kegiatan) masing-masing tanpa halangan, sawah-sawah masyarakat kembali di aliri air, hasil ladang meningkat dan keadaan masyarakat menjadi semakin baik. Pada Tanggal 19 Nopember 2004 atau tepatnya sembilan hari sejak dilakukan upacara ada suatu kejadian, dimalam hari pukul 24.00- 02.00 Wita yakni beliau menampakkan diri berupa sinar putih yang menerangi pemukiman penduduk, yang bersumber dari Lingga tersebut.
Sinar tersebut disaksikan oleh masyarakat disekitar areal pura. Beberapa mencoba mendekati sumber sinar namun begitu mendekat sinar tidak dapat dilihat setelah dari kejauhan sinar itu baru bisa dilihat. Jika di lihat dari jauh dengan jarak sekitar 50 meter nampak jelas dan jika diperhatikan sinar tersebut datangnya dari lingkup Pura kancing Gumi.

Kejadian itu semakin memperkuatkan keyakinan masyarakat bahwa Beliau berkenan memberikan cihna (ciri) kepada masyarakat. Hingga sampai sekarang pujawali atau piodalan di Pura Kancing Gumi dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali yakni setiap Buda, Umanis, Prangbakat.

Adapun perangkat banten yang dihaturkan atau dipersembahkan yakni dapat dibagi menjadi 3 bagian atau tiga tingkatan yakni nista, madya dan uttama. Pada piodalan nista dihaturkan Upakara Pulegembal, pada tingkatan madya yakni dihaturkan Upakara Bebangkit dan pada tingkatan Utama menghaturkan Upakara Catur. Upacara dan Upakara Catur telah dilaksanakan untuk yang pertama kali pada tanggal 10 Nopember tahun 2004. Semua itu dilakukan dengan tujuan memohon keselamatan dan agar beliau memberikan waranugraha kepada umat dan masyarakat.


Sumber

I Ketut Tanu
Lingga di Pura Kancing Gumi



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga