Sejarah (Babad) Raja-raja dan Para Arya Bali Kuno


Keberadaan Bali sekarang ini tentunya tidak lepas dengan sejarah panjang masa lalu yang menyangkut keberadaan kerajaan Bali kuno di pulau Bali. Pada masa pemerintahan kerajaan Bali kuno tersebut, raja-raja silih berganti memegang tapuk pemerintahan, apakah itu karena keturunan ataupun saudara termasuk juga dari dinasti yang berbeda. Tercatat dalam sejarah Bali Kuno dinasti Warmadewa yang memerintah kerajaan Bali kuno pertama, berdasarkan prasasti Blanjong yang ditemukan di Banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, Denpasar Selatan, Bali yang berangka tahun 913 M atau 835 Isaka.

Prasasti Blanjong tersebut merupakan prasasti tertulis tertua yang terdapat sejarah tentang raja-raja kuno di pulau Bali, tulisan dalam prasasti Blanjong ini dengan huruf Pranagari dalam bahasa Bali Kuno dan huruf Kawi menggunakan bahasa Sanskerta. Bentuk prasasti tersebut berupa pilar batu dengan tinggi 177 cm dan diameter 62 cm, peninggalan sejarah Bali tempo dulu ini juga meliputi sejumlah arca kuno dan tempat pemujaan. Dalam prasasti disebutkan kata Walidwipa sebutan untuk pulau Bali, dikeluarkan oleh raja Bali bernama Sri Kesari Warmadewa, sebagai tanda kemenangan mengalahkan musuh-musuhnya. 

Bukti sejarah Bali Kuno lainnya ditemukanya juga beberapa cap kecil berukuran 2.5 cm dari tanah liat, prasasti ini ditemukan di daerah Pejeng, prasasti berupa cap kecil di Pejeng ini berangka tahun 882 dan merupakan prasasti tertua di Bali. Prasasti ini tidak menyebutkan tentang keberadaan kerajaan Bali pada abad tersebut, tetapi memberikan perintah untuk membuat pesanggrahan dan pertapaan di Bukit Kintamani.

Sejarah kerajaan Bali Kuno termasuk keberadaan dinasti Warmadewa yang memerintah pertama, serta sejumlah prasasti ditemukan di sejumlah tempat yang berkaitan dengan raja atau penguasa di Bali, berikut informasinya.

 

Raja- Raja Bali Kuno

Sri Kesari Warmadewa

Yang tercatat dalam sejarah Bali Kuno, raja Sri Kesari Warmadewa adalah raja pertama yang memerintah di Bali. Raja ini juga sebagai pendiri dari dinasti Warmadewa, nama Warmadewa memastikan kalau raja berasal dari keturunan Sailendra dari Sriwijaya Palembang. Dalam kitab kuno Raja Purana, disebutkan kalau raja Bali yang bernama Shri Wira Dhalem Kesari mendirikan istana Singhadwala di kawasan pura Besakih, sang raja sangat tekun melakukan pemujaan terhadap Dewa yang berstana di gunung Agung, tempat pemujaanya sekarang dinamakan Merajan Selonding. Sri Kesari Warmadewa tidak lama memerintah, hanya sekitar 2 tahun dan kemudian digantikan oleh Ugrasena.

 

Shri Ugrasena

Raja Bali Kuno ini memerintah dari tahun 915 – 942 M, pusat pemerintanya di Singhamandawa, daerah sekitar Batur. Beliau seorang raja yang bijaksana, secara spiritual Bali berkembang pesat. Sehingga mulai mendapatkan perhatian oleh kaum pedagang dan kerajaan lain. Walaupun tidak menyematkan gelar Warmadewa, tapi dipastikan sang raja dari dinasti Warmadewa. Shri Ugrasena terkenal bijaksana dan berwibawa sehingga menjadikan pulau Bali aman dan tenteram. Pada saat jaman pemerintahan Bali Kuno tersebut para pendeta Siwa Budha, Hindu, Rsi para Empu datang dari pulau Jawa dan juga India semua hidup rukun. Sejumlah prasasti juga menyebutkan keberadaan raja Shri Ugrasena seperti Prasasti Sembiran A I, Prasasti Pengotan A I, Prasasti Gobleg Pura Batur A dan lainya prasasti-prasasti tersebut tertulis dalam bahasa Bali Kuno.

 

Shri Tabanendra Warmadewa

Pemerintahan kerajaan Bali Kuno berlanjut ke raja Shri Tabanendra Warmadewa, sang raja masih merupakan keturunan dinasti Warmadewa, beliau sendiri putra dari raja Shri Ugrasena, setelah Shri Ugrasena meninggal maka digantikan oleh putra beliau Shri Tabanendra Warmadewa dan bertahta di kerajaan Singhamandawa, beliau mempersunting istri dari anak seorang mpu, bernama Shri Subhadri Dharmadewi anak dari Mpu sendok yang berasal dari Jawa Timur, Dalam prasasti berbahasa Bali Kuno di Manikliyu di Kintamanii, disebutkan kalau ada raja putri, ini menandakan sang permaisuri yakni Shri Subhadri Dharmadewi ikut memerintah dalam kerajaan Bali Kuno, yang memerintah dari tahun 943-961 Masehi.

 

Jaya Singha Warmadewa

Pengganti berikutnya adalah Jaya Singha Warmadewa, beliau adalah putra raja suami istri Shri Tabanendra Warmadewa dan Shri Subhadri Dharmadewi, raja Bali Kuno ini juga tercatat membangun sebuah pemandian dengan sumber mata air alami di desa Manukaya, Tampaksiring, pemandian tersebut disebut Tirtha Empul, yang sekarang menjadi destinasi wisata populer di wilayah Tampaksiring Gianyar. Raja Bali Kuno ini memerintah mulai tahun 968 masehi – 975 masehi.

 

Shri Djanusandhu Warmadewa

Setelah Jaya singha Warmadewa meninggal, maka pemerintahan kerajaan Bali Kuno berikutnya digantikan oleh putranya, yakni Shri Djanusandhu Warmadewa, permaisuri raja berasal dari Jawa Timur yang diberi gelar Shri Wijaya Mahadewi. Banyak perbaikan pembangunan yang dilakukan pada jaman pemerintahan Shri Wijaya Mahadewi diantaranya pembangunan pura, kerajaan Bali Kuno saat tersebut juga banyak mendapatkan bantuan dari kerajaan Jawa Timur, sehingga penduduk pulau Bali terasa lebih makmur, kerajaan Bali kuno di bawah pemerintahan Shri Wijaya Mahadewi berlangsung dari tahun 975-988 Masehi.

 

Udayana Warmadewa Dan Gunapriya Dharmapatni

Kerajaan Bali Kuno berikutnya diperintah oleh raja suami istri, yakni raja Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriya Dharmapatni (988-1011 M). Permaisurinya berasal dari Jawa Timur anak raja seorang putri dari Shri Makuta Wangsa Wardana dan bernama Mahendradatha. setelah dinobatkan sebagai raja suami istri sang pangeran bergelar Dharmodayana Warmadewa dan permaisurinya diberi gelar Gunapriya Dharmapatni, raja Bali kuno ini memerintah dari tahun 988-1011 Masehi. Namun yang cukup menarik, dalam sejumlah prasasti yang ditemukan di Bali menyebutkan nama permaisuri disebutkan terlebih dahulu. Pengaruh besar dari jawa ini juga membawa pengaruh pada kebudayaan, semenjak itu pembuatan prasasti digunakan bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi. Raja Udayana memiliki 3 orang putra diantaranya Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga sendiri tidak pernah memerintah kerajaan di Bali, karena hijrah ke Jawa Timur dan menjadi menanti Dharmawangsa.

 

Marakata

Setelah Raja Udayana mangkat, upacara besar pun dilakukan untuk penghormatan kepada sang raja yang sudah berjasa besar, penghormatan oleh seluruh lapisan masyarakat Bali, para pemuka agama, pembesar kerajaan, pemuka masyarakat juga hadir untuk penghormatan tersebut, termasuk juga Mpu Beradah yang merupakan utusan dari Airlangga. Dan pemerintahan kerajaan Bali Kuno dilanjutkan oleh putera beliau yakni Marakata dan diberi gelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkaja sthana Uttunngadewa, raja Bali kuno ini memerintah dari tahun 1011-1022 M.

 

Anak Wungsu

Perjalanan sejarah kerajaan Bali Kuno berlanjut ke raja berikutnya yakni Anak Wungsu yang merupakan adik dari Marakata dan Airlangga. Pada jaman pemerintahan kerajaan Bali Kuno, raja Anak Wungsu tercatat paling banyak meninggalkan prasasti di Bali, diantaranya prasasati yang tersimpan di desa trunyan bangli, prasasti di Bebetin Buleleng, prasasti di Sembiran Buleleng, Sawan Belantih, SPrasasti Serai, Pengotan, Manikliyu Bangli, prasasti Klungkung dan banyak lagi lainnya, sebagian besar menggunakan bahasa Bali Kuno. Peninggalan sejarah Bali kuno tempo dulu juga berbentuk arca, salah satunya komplek candi Gunung Kawi yang sekarang menjadi destinasi wisata di bali. Sang raja pada masa pemerintahanya selama 28 tahun (1049–1077) berhasil membawa kesejahteraan masyarakat dan agama Hindu dan Budha bisa hidup berdampingan. Raja anak Wungsu dianggap rakyatnya sebagai Dewa Kebaikan. Anak Wungsu sendiri tidak memiliki putera, permaisurinya dikenal dengan Batari Mandul.

 

Shri Suradhipa

Setelah masa kejayaan kerajaan Bali Kuno di bawah pemerintahan raja Anak Wungsu, tercatat dalam sejumlah prasasti di Bali yang sudah berbahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi. Adanya seorang ratu yang bertahta di kerajaan Bali, sekitar tahun 1078-1114 Masehi yang menggantikan raja Anak Wungsu, pada tahun berikutnya ada juga prasasti yang sekarang tersimpan di Gobleg Buleleng yang berangka tahun 1115 Masehi bernama Shri Suradhipa, yang merupakan keturunan dinasti Warmedewa, beliau putra dari Shri Sakalendu.

 

Shri Jaya Pangus

Pemerintahan kerajaan Bali kuno berikutnya setelah Shri Suradhipa, berturut-turut diperintah oleh raja Shri Jaya Sakti, Shri Jaya Kasunu dan Shri Jaya Pangus. Dilihat dari nama-nama raja yang memerintah pada masa Bali Kuno tersebut, sudah terjadi percampuran dinasti atau wangsa yakni dari dinasti Warmadewa dengan dinasti Maharaja Jaya Sakti. Dalam sejumlah prasasti di Bali diketahui kalau Shri Jaya Sakti memerintah bali kuno dari tahun 1133-1150. Kerajaan Bali Kuno berikutnya dipegang oleh Shri Jaya Kasunu pada saat pemerintahanya diperkenalkan adanya perayaan Hari raya Galungan dan Kuningan. Selanjutnya raja Shri Jaya Pangus yang mengundang Sapta Pandita untuk memimpin upacara Eka dasa Rudra di Pura Besakih. Dalam sebuah prasasti Shri Jaya Pangus disebutkan berstana di Pejeng. Kerajaan Bali Kuno dibawah pemerintahan raja Shri Jaya Pangus dari tahun 1177-1199 Masehi.

Setelah wangsa atau dinasti Jaya Sakti memerintah kerajaan Bali Kuno, datang kerajaan Singasari yang menaklukkan kerajaan Bali pada tahun 1284 Masehi, kemudian datang lagi kerajaan Majapahit menaklukkan Bali di tahun 1343 masehi, dan raja-raja selanjutnya yang memerintah kerajaan di Bali diantaranya Sri Aji Kresna Kepakisan, Dalem Samprangan, Dalem Ketut, Dalem Waturenggong, Dalem Bekung, Dalem Sagening, Dalem Di Made, Dewa Pacekan, Dewa Cawu dan Anglurah Agung Maruti.

 

Raja-raja (Adipati) di Bali

 

Setelah Pulau Bali dikuasai sepenuhnya oleh Majapahit maka Pemerintahan sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih Wulung. Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel. Walaupun Bali sudah dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh Bali Aga sudah menyerah. sering terjadi perselisihan antara orang-orang Bali-Aga dengan pasukan Majapahit yang ditugaskan menjaga keamanan di Bali. Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur. satunya orang yang masih disegani pada waktu itu adalah Patih Ulung tetapi tidak mempunyai wewenang apapun untuk mengatasi situasi yang tidak tentram di Bali.

Situasi menjadi makin tidak menetu karena para Arya dari Jawa kurang mengindahkan kekuasaan pemerintahan sementara tersebut. Setelah tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum mau menerima kehadiran “si-penjajah” sepenuh hati. Melihat keamanan sudah membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada tahun 1350 M atau 1272 isaka, terdorong oleh keinginan luhur untuk menjaga keutuhan Bali maka Patih Ulung bersama dua orang keluarganya Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan memberanikan diri menghadap ke Majapahit yang bertujuan melaporkan situasi di Bali dan memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa yang mampu meredakan ketegangan di Bali.

Atas saran Patih Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat orang Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu:

  1. Ida Nyoman Kepakisan menjadi Raja di Blambangan
  2. Ida Made Kepakisan menjadi Raja di Pasuruan,
  3. Ida Nyoman Istri Kepakisan/Dalem Sukanya diperistri Raja Sumbawa
  4. Ida Ketut Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.

Sri Soma Kepakisan adalah penasehat Patih Gajah Mada. Konon beliau lahir dari batu. Pada saat beliau memuja Dewa Surya (Surya Sewana), beliau bertemu dengan bidadari. Bidadari itu dinikahinya. Setelah beliau berputra, putra-putranya itu diminta oleh patih Gajah Mada sebagai raja di wilayah yang sudah ditaklukan oleh Majapahit . Sebelum itu Ki Patih Gajah Mada sudah memohon putra Ida Mpu Danghyang Soma Kepakisan – sebagai pendeta guru utama di Kediri, yang bernama Ida Sri Kresna Kepakisan, untuk diasuh di Majapahit. Ida Mpu Soma Kepakisan itu tiada lain saudara dari Ida Mpu Danghyang Panawasikan, Ida Mpu Danghyang Siddhimantra dan Ida Mpu Asmaranatha.

Pada saat di Bali serta daerah lain tidak memiliki penguasa, serta dalam upaya menyelenggarakan Kesejahteraan di masing-masing wilayah, maka sesuai dengan perintah Raja Majapahit, Mahapatih Gajah Mada meminta putra Ida Sri Kresna Kapakisan yang sudah dewasa untuk dijadikan penguasa atau Dalem di Bali.

 

Sri Kresna Kepakisan

Dasar Bhuwana distanakan Raja (Dalem) pertama di Bali. “Kepakisan” asal katanya “Pakis” berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar “Paku” di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.

Diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu: Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra. Akhirnya Mpu Panawasikan berputra: Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan yang berputra empat orang yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali.

Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali adalah dari keturunan Brahmana yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatrya atau dari Danghyang/ Mpu menjadi Sri.

 

Pengangkatan Dinasti Sri Kresna Kepakisan

Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan

Dalam pemerintahannya Dalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan/ Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hamper sama yaitu Adipatinya bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan sedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan

Dalam pemerintahannya dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.

Dari Babad Dalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.

Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu Gajah Para, merupakan putri dari Arya Gajah para melahirkan:

  1. Dalem Wayan (Dalem Samprangan)
  2. Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan)
  3. Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak)
  4. Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir).

Dari Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin merupakan putri dari Arya Kutawaringin, melahirkan: Dewa Tegal Besung.

 

Sistem Pemerintahan

Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908). Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali Kuno.

Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.

Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya mereka diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra

Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha. Dalem Sri Kresna Kepakisan dalam menjalankan pemerintahannya di bantu oleh para Arya yang terlebih dahulu menetap di Bali yang kedatangannya bersamaan dengan ekspedisi Majapahit bersama Patih Gajah Mada juga dibantu para Arya yang menyertai perjalanan Dalem Sri Kresna Kepakisan dari Majapahit ke Bali. Para arya tersebut diantaranya :

  1. Arya Kenceng mengambil tempat di Tabanan
  2. Arya Kanuruhan mengambil tempat di Tangkas
  3. Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu
  4. Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal
  5. Arya Belog mengambil tempat di Kaba Kaba
  6. Arya Pangalasan
  7. Arya Manguri
  8. Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas mengambil tempat di Toya Anyar
  9. Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon
  10. Arya Kutawaringin bertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung
  11. Arya Belentong mengambil tempat di Pacung
  12. Arya Sentong mengambil tempat di Carangsari,
  13. Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal
  14. Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti
  15. Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet
  16. Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana
  17. Arya Melel Cengkrong mengambil tempat di Jembrana
  18. Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem,
  19. Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan

Demikian dikatakan di Babad Dalem.

 

Kehidupan beragama dan Seni Budaya

Mengenai kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu banyak diketahui karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu kurang dari setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum stabil sebagai akibat munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga. Agama yang dianut masyarakat pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting. Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.

Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande).

Dalem Kresna Kepakisan adalah penganut sekte Waisnawa, mungkin saja dari Sub Sekte Bhagawata , mengingat nama kresna yangbelau pergunakan sehingga wajarlah beliau dikelilingi oleh para Bujangga Waisnawa, baik Bujangga Waisnawa yang di bali maupun yang menyertai Beliau dari Jawa.

Kehidupan seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu masyarakat Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon topeng, diman pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan. Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.

 

Akhir Pemerintahan

Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait