Sabda (Suara), Aksara dan Pemujaan dalam Tutūr Aji Śaraśwatī


 

Ongkara Serta Letak Bijaksara dalam Tutur Ajisaraswati

Teks Aji Saraswati menyebutkan berbagai jenis Ongkara. Salah satunya adalah Ongkara Rwa-Bhinéda, yaitu Ongkara Ngadêg dan Ongkara Sumungsang (atau Sungsang). Pertemuan jenis-jenis Ongkara ini memiliki makna yang mendalam dalam perjalanan spiritual yang menanjak dimana tubuh menjadi sarana men- sthana-kan keduanya di dalam proses yoga. Pencari spiritual ingin memiliki kompetensi untuk mempertemukan keduanya dimana kesucian menjadi keharusan.

Jenis Ekaksara atau Pranawa semacam ini tidak ditemukan dalam tradisi India. Juga cara penulisan atau penulisan Ongkara sedikit berbeda: dalam tradisi India tidak menggunakan Nаda, hanya Ardha-candra dan Windu yang berada di atas A-kara. Namun dalam tradisi Bali, ia menggunakan semua aspek yang disebutkan di atas; bukan A-kara digunakan sebagai dasar, tetapi O-kara. Tidak hanya itu, di Bali dikenal berbagai Ongkara, misalnya, Ongkara Amreta, Ongkara Gni, Ongkara Adumukha, dan sebagainya.

Perbedaan ini layak untuk diingat karena memiliki dampak mendalam dalam perjalanan spiritual. Dalam teks Jñana Siddhanta, misl. konsep tujuh level, seperti Sapta Dévata, Sapta Loka, Sapta Patala, Sapta Aksara, dll. terkait dengan Pranawa (Ongkara) juga dibahas. Setiap bagian dari Pranawa memiliki padanannya di tingkat tujuh lainnya, baik di bhuwan agung maupun bhuwana alit.

Kemajuan di dalam perjalanan spiritual dimulai dari yang terendah / kotor hingga tertinggi / halus. Satu metodologis dimulai dari kasar yang mudah dirasakan. Seseorang ingin meraih yang halus dari yang kotor. Di sini adalah signifikansi epistemologi (pramana) karena berkaitan dengan cara untuk mencapai kebenaran yang valid (prama). Sifat dasar dari prinsip ini adalah jñana (pengetahuan spiritual) dan untuk mencapainya harus melalui pengetahuan yang benar dan pandangan hidup yang benar. Melihat dunia internal dan eksternal pada dasarnya adalah untuk memiliki pandangan yang benar tentang mereka sebagai dasar dimana yang tertinggi dapat dipahami dengan cara yang tepat.

Ciri unik dari teks ini adalah ia menjelaskan dunia / alam semesta (bhuwana) dengan mengacu pada suara (sabda). Suara dipandang sebagai prinsip utama dari mana semua ini berasal, dipertahankan dan dikembalikan ke asalnya pada saat pralaya. Segala sesuatu adalah aksara sebagai perwujudan sabda, sehingga antara aksara dan sabda identik. Ketika mencoba duduk memejamkan mata dalam konteks yoga dan mulai melihat diri kita sendiri, kita akan mendengar suara murni, yang berada di dalam batin. Orang sering membilang suara hati. Dengan demikian, satu-satunya realitas di dunia ini adalah suara (shabda), yang dalam bentuk huruf suci (aksara).

Aksara sebagai manifestasi prinsip tertinggi bersifat abadi; sementara ksara keberadaan ini bersifat berubah dan bisa hancur. Dengan demikian, sarana untuk bisa menuju kepada tujuan akhir kehidupan adalah melalui pemanfaatan suara juga. Di sinilah posisi dan signifikansi mantra dalam pemujaan. Ketika huruf dianggap sebagai segala sesuatu termasuk sarana untuk mencapai suara yang absolut, maka setiap huruf memiliki kekuatan ketuhanan (sakti) karena aksara tersebut identik dengan realitas yang dimanfestasikan.

Dengan demikian, Sakti (kekuatan) digunakan untuk mencapai kebahagiaan duniawi (abhyudaya) dan kebebasan (nishsresya). Kekuatan ini dapat membakar semua kotoran (mala) dan akhirnya seseorang mencapai tingkat kemurnian, ketenangan, dan kedamaian. Hal ini dijelaskan di dalam teks ini yaitu dalam bentuk penglukunan dan pengringkesan Dasaksara.

Karena suara hanya terdengar, maka diwakili melalui huruf yang tak terhitung jumlahnya (aksara) untuk mewakili berbagai suara. Di sini adalah asal dari huruf dengan mana orang dapat membentuk ekspresi linguistik yang lebih besar. Di antara suara-suara itu, Bijaksara, misal. SA BA TA A I dianggap suci karena mereka mewakili aspek-aspek berbeda dari Dewa Siwa sebagai Prinsip Utama. Bija Aksara merupakan simbul bahkan manifestasi dari dewa-dewa di dalam Pancaksara. Bija Aksara tersebut identik dengan dewa dengan kekuatannya.

Dengan kata lain, setiap aspek / manifestasi dari Dewa Siwa memiliki tanda / lambang/ aksara sendiri; dan karenanya memiliki kekuatan ketika dinyanyikan/diucapkan dengan penuh pemujaan. Dari suara sebagai prinsip ontologis, sekarang diturunkan dari huruf yang dapat digunakan untuk membentuk ekspresi linguistik yang lebih besar seperti ucapan / wacana. Dari alfabet Bali [disebut ha na ca ra ka atau ho no co ro ko (dalam bahasa Jawa)—walalaupun dalam keduanya ada sedikit perbedaan urutan], ia mengembangkan sistem vokal dan konsonan dan tanda-tanda suara atau pênganggé aksara, seperti carik tunggal, carik ganda, surang, pêpêt, adêg-adêg, dll. Dengan fakta-fakta ini, kita memiliki bahasa dengan mana manusia dapat mengeksplorasi pengetahuan dan melakukan tindakan dalam kehidupan. Beberapa poin kecil dalam teks ini juga berbicara tentang ritual terutama Mantra yang digunakan bersama dengan bahan yang digunakan untuk membuat persembahan (disebut bantên dalam tradisi Bali).

Dengan mengacu arah mata angin di dunia makrokosmik dan tubuh manusia, alfabet Bali memiliki posisi masing-masing seperti yang dirangkum di bawah ini.

 

Aksara bali dalam Aji Saraswati

 

Untuk menampilkan bagian ini, diperlukan
Login Membership

 


Sumber

I.B. Putu Suamba
Dan
Lontar Ida Bagus Made Jlantik (Griya Kacicang, Karangasem)



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga