Dinamika Agama Leluhur & Penghayat Kepercayaan


Dinamika Politik Agama dan Pemaknaan Agama Leluhur

Tulisan ini memaparkan dinamika politik agama sejak awal kemerdekaan Indonesia, bahkan sebelumnya, hingga era Reformasi di mana penganut agama leluhur menjadi semacam “bulan-bulanan.” Dalam politik agama, penganut agama leluhur senantiasa menjadi target penundukan, diskriminasi dan kriminalisasi. Sekalipun negara telah menerbitkan dan meratifikasi berbagai undang-undang HAM, diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap penganut agama leluhur tetap dilegalkan dan terus berlangsung hingga hari ini atas nama agama resmi (politik agama). Berbagai penelitian tentang diskriminasi negara terhadap penganut agama leluhur telah dilaporkan dan didesiminasi, tetapi negara tetap saja memiliki argumen hukum untuk menjustifikasi diskriminasinya. Politik agama masih terlalu kuat “mensucikan” agama resmi. Agama resmi negara masih terlalu suci untuk disetarakan dengan agama leluhur. Kesucian agama, dalam politik agama, masih lebih diutamakan dibanding penegakan HAM.

Dinamika politik agama berdampak pada pemaknaan agama leluhur, termasuk perlakuan (negara) terhadapnya. Berdasarkan penjelasan di atas terkait subjek materi agama leluhur, kelompok adat dan abangan pada masa penjajahan Belanda merupakan penganut agama leluhur. Pada waktu itu, istilah agama leluhur tentu saja belum dikenal. Jangankan agama leluhur, terma agama sendiri juga belum populer sebagaimana digunakan saat ini. Dalam catatan beberapa penelitian, agama sebagaimana digunakan masyarakat seakan serupa dengan adat. Adat adalah agama. Demikian juga dengan Hindu dan Buddha. Keduanya tidak digunakan sebagaimana hari ini. Istilah abangan di satu sisi sering dikategorikan sebagai varian Islam (Geertz, 1960; Woodward, 1998), tetapi juga dijelaskan sebagai kelompok yang mempraktikkan tradisi-tradisi lokal Jawa, atau kejawen. Praktik kejawen tersebut pada laporan ini dirujuk sebagai praktik agama leluhur. Seperti akan dipaparkan, praktik inilah yang menjadi target penundukan dalam politik agama.

Pada masa Reformasi, agama leluhur sebagai kategori dalam wacana publik baru populer. Ia dikontraskan dengan agama resmi sebagai agama impor dan agama leluhur sebagai agama asli nusantara, warisan leluhur. Ia merujuk pada (penghayat) kepercayaan dan religiusitas, sering juga disebut dengan “spiritualitas” masyarakat adat. Sekali lagi ditegaskan, tidak penting dipersoalkan adanya fakta dari kelompok masyarakat adat yang tidak menyatakan diri sebagai penganut agama leluhur. Teori politik agama telah menjelaskan bahwa agama, kepercayaan, adat, budaya, dan seterusnya tidak lain adalah konstruksi politik dengan tujuan untuk melegitimasi kuasa dan kontrol oleh kelompok (agama) tertentu atas yang lain (kepercayaan, adat, dan budaya). Konstruksi politik tersebut sudah sangat hegemonik sehingga ia diterima tanpa kritik (taken for granted), dan sejarahnya dilupakan. Penghayat kepercayaan dan masyarakat adat telah menjadi target dan korban politik agama atas nama agama resmi di mana mereka wajib pindah agama karena agama leluhurnya tidak “sah” sebagai identitas kewarganegaraan.


Sumber
Samsul Maarif

Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga