Ngaben Dalam Lontar Yama Tattwa


Tatwa di Dalam Lontar Yama Tattwa

Dalam ajaran agama Hindu pandangan tentang kebenaran disebut Tattwa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “kebenaran, kenyataan”. Lontar-lontar di Bali menyebutkan kata tattwa inilah yang dipakai untuk kebenaran berlainan, maka benarnya sebuah kebenaran itu adalah sesuai kebenaran itu hanya ada satu.

Berdasakan uraian di atas, maka nilai tattwa yang terkandung dalam lontar memiliki makna sebagai proses untuk mempercepat pengembalian sumbernya masing-masing. Dengan kembalinya unsur-unsur Panca Maha Bhuta yan meningkatkan perjalanannya dari Bhur Loka sampai pada Bhuvah berbadankan Suksma Sarira (badan halus). Dengan demikian Upacara Ngaben itu yaitu dengan melepaskan Pitara dari ikatan Panca Maha Bhuta.

Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya, dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Jiwa).

Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca maha bhuta yaitu prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu, dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.

Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma (roh).

Untuk tidak terlalu lama atma terhalang perginya, perlu badan kasarnya di upacarakan untuk mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya dialam yakni Panca Maha Bhuta. Demikian juga bagi sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.

Upacara Ngaben biasanya mempergunakan sarana bade. Bade adalah lambang “Bhuwana Agung ” dengan puncak-puncak gunung yang disimbolkan dengan atap tumpang seperti Meru. Dengan ditempatkannya jenasah pada menara yang disebut bade ini, diharapkan Roh (Atma) orang yang diupacarakan Ngaben tersebut segera mencapai alam Sorga (Kadewataan).

Dari pakem-pakem yang dijelaskan dalam lontar Yama Tattwa dapat dijabarkan dalam tiga bagian, yaitu bagian kaki, bagian badan dan bagian kepala, dengan bentuk pepalihan dan ragam hias yang melekat pada wadah, yaitu:

  1.  pada bagian kaki terdiri atas pepalihan bacem, pepalihan bedawang,  pepalihan gunung tajak dan  pepalihan gunung gelut;
  2. bagian badan terdiri atas pepalihan padma negara, pepalihan sancak dan pepalihan taman;
  3. bagian kepala terdiri atas pepalihan padma sari,  pepalihan badadara, pepalihan rongan, dan  pepalihan tumpang/atap.

Tiap-tiap bagian pepalihan yang terdapat pada wadah, terdiri atas susunan pepalihan yang berukuran besar, sedang, dan kecil, yaitu:

  1. pepalihan wayah adalah pundan berundak tiga seperti anak tangga yang jumlahnya tiga dan masing masing mempunyai nama yang diurut dari bawah, yaitu weton, pai, dan  ganggong;
  2. pelok adalah pembatas tiap-tiap pepalihan; 
  3. penyorog adalah pembatas tiap-tiap pepalihan yang bagian tepinya mengalami kemiring empat puluh lima derajat; 
  4. padma terdiri  atas undakan yang berjumlah  lima; 
  5. peneteh adalah pembatas yang ukurannya dua senti meter; 
  6. pebentet adalah pembatas yang ukurannya lima senti meter;
  7. gulesebungkul atau cakepgule adalah dua undak digabung menjadi satu dengan pinggiran menyerupai sudut segi tiga; 
  8. amenlima adalah bidang datar yang persegi empat panjang yang berada di tiap-tiap dinding dari wadah;
  9. lelengen adalah ruang segi empat panjang berada di tiap-tiap sudut wadah.

Penggunakan pepalihan dan ragam hias wadah sesuai dengan pakem-pakem lontar Yama Tattwa, dapat digolongkan dalam triangga  (kaki, badan, dan kepala) tiga kelompok besar, yaitu bagian kaki, bagian badan, dan bagian kepala. Adapun pepalihan yang ada pada pakem-pakem lontar Yama Tattwa dapat dibaca dibagian bawah artikel ini.

Dalam lontar Yama Tattwa bahwa yang memakai pabajangan (kuburan untuk anak-anak) dan dasar bade adalah kaum Brahmana, Kstarya, Wesya, Prabali, Prabekel, dan Pamangku yang berasal dari keturunan para Mpu yang berasal dari Majapahit, yaitu Mpu Witadarma, Mpu Kuturan, Mpu Lumbang dan Mpu Pradah. Namun bagi orang Bali, Bali Age, Kayu Selem, Celagi Ayung yang merupakan keturunan orang Bali Mula, tidak memakai pabajangan dan dasar bade, hanya memakai wadah lalimasan dan babodagan.

Adapun isi lontar ini yang juga memiliki persamaan dengan lontar Yama Purwa Tattwa, lontar Yama Purana Tattwa, Yama Purwana Tattwa yaitu memberikan tuntunan terhadap tata cara pelaksanaan untuk upacara Atma Wedana bagi orang yang meninggal, baik secara wajar maupun yang tidak wajar.

Untuk orang yang mati secara wajar, sebaiknya dibakar, jangan dikubur. Namun bila dikubur buatkan pejati dan upacara “adeg semaya” bahwa jasad yang dikubur akan diupacarai (ngaben) setelah setahun dikubur.

Sedangkan bagi mereka yang mati secara tidak wajar (salah pati) atau yang seharusnya tidak mati, setelah tiga tahun baru bisa diupacarai (ngaben). Kalau tidak diupacarai, boleh dibuatkan adeg samaya.

Dan kalau mati bunuh diri (ngulah pati), setelah lima tahun dikubur baru boleh diupacarai (ngaben).

Sedangkan kalau mati mati tidur, mati bersimpuh, mati berdiri, diseruduk sapi, tujuh tahun lamanya baru bisa diupacarai (ngaben) setelah dikubur. Semenatara kalau ada orang bersuami dua, setelah meninggal baru boleh diupacarai (ngaben) setelah 33 tahun ia dikubur. Dan kalau mati karena wabah penyakit, seperti penyakit Lepra, harus ditanam di pinggir pantai, 11 tahun baru bisa diupacarai (ngaben) dan harus dibuatkan adeg semaya.

Adapun perlengkapan yang digunakan seperti sesajen pejati dipersembahkan kepada Bhatari Durga; daksina, suci ajuman 3 soroh dipersembahkan kepada Sedahan Setra, setelah batas waktu yang ditentukan baru dibuatkan upacara pengabenan. Apabila setelah batas waktu dikubur sudah selesai, namun tidak dilakukan upacara pengabenan, maka roh orang yang meninggal itu akan menjadi Dete, Buta, dan sejenis makhluk halus lainnya.

Adapun pelaksanaan upacara ngaben untuk mayat yang dikubur, harus dibuatkan badan perwujudan dengan menggunakan kayu cendana dengan panjang sejengkal ditambah “samusti” dengan lebarnya tiga atau empat ruas jari, yang ditulisi huruf Triaksara, Dasaksara, dan Rwa Bhineda.

Upacara ini didahului dengan upacara pengulapan, yaitu memohon kepada penghulu kuburan (Bhatari Durga) untuk mengajak roh itu pulang untuk dibuatkan upacara pengabenan. Sehari sebelum upacara pengabenan, maka tulang jenazah yang dikubur itu diangkat, dibersihkan dengan air kumkuman, air kelapa gading.

Setelah itu jenazah itu ditempatkan di kuburan dan diberikan sesajen berupa dahar kasturi, sedangkan pada liang lahatnya diberikan upacara berupa pesilur bangbang. Pada hari pengabenan, tulang-belulang itu disatukan dengan badan perwujudannya lalu dibakar, proses pengabenan ini ada tingkatannya sesuai dengan nista, madya, utama, dengan sesajen sesuai tingkat upacara yang dilaksanakan.

Setelah upacara pengabenan bari dapat dilakukan upacara memukur, apakah itu tingkat Nyekah Kekangseng, Nyekah Kurung, Memukur, dan sebagainya .




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Dapatkan Dalam Versi Cetak
Baca Juga