Penggunaan Hewan dalam Upacara Bhuta Yadnya (Caru)


Dasar Pemakaian Korban Kerbau Dalam Bhuta Yadnya

Yang pokok dan sangat prinsip mengapa selalu digunakan kerbau sebagai dasar Tawur maupun Tawur Agung, adalah ajaran filsafat Tantra Vamachara. Ajaran Tantra bercorak Siwaistis maupun Bhuddhistis, terutama yang dikemukakan dalam Siwa Purana adalah merupakan upacara pemujaan SHAKTI. Kalau dianalogkan dengan pelaksanaan pemujaan dan persembahan Tawur atau Tawur Agung, berdasarkan sumber konsep ajaran Tattwa Lontar Siwagama di Bali, pemujaan atau persembahan Tawur atau Tawur Agung ini adalah agar unsur-unsur Panca Maha Bhuta seperti : Apah, Perthiwi, Bayu, Teja dan Akasa dan unsur-unsur Sad Kerthi, (Gunung, Laut, Danau, Sungai, Bumi dan Akasa), memiliki kekuatan (Shakti). Kalau Panca Maha Bhuta telah memiliki Shakti yang Sad Kerthi (Enam Kekuatan Positif), semua makhluk hidup akan menikmati hidup dan kehidupan yang damai, sejahtera, bahagia (rahayu). Sad Kerthi adalah enam upacara yaitu :

  1. Wana Kerti, mapahayu Hutan, sebagai sumber mata air dan pembersih udara / atmosfir.
  2. Pitra Kerti, mapahayu bhumi agar tidak lama dikotori atau dicemari oleh jenasah dan mapahayu roh-roh para leluhur yang telah meninggal,
  3. Samudra Kerti, mapahayu Lautan,
  4. Danu Kerti, mapahayu Danau,
  5. Jagad Kerti, mapahayu jagad atau bhumi,
  6. Jana Kerti, mapahayu Manusia dan Masyarakat.

Dalam Siwa Purana, Markandhya Purana (sumber dari Maha Purana) dikemukakan, bahwa Asura Mahisa yang memiliki kesaktian maha hebat, terus mengganggu dengan kehebatannya. Bukan hanya dunia ini saja yang rusak dan dihancurkannya, melainkan Siwa Loka dan Wisnu Loka. Juga digempur dan dihancurkan, termasuk Sorga-sorga Dewata Nawa Sanga semuanya tidak luput dari gempuran dan pengrusakan Asura Mahisa. Menanggapi situasi dan kenyataan seperti itu, Dewata Nawa Sanga menghadap Dewa Siwa di Siwa Loka.

Dalam paruman para Dewa itu, Dewa Siwa dan Dewa Wisnu menugaskan para Dewa untuk mengalahkan Asura Mahisa. Untuk itu mereka semua agar memusatkan shaktinya bersama-sama termasuk mengumpulkan senjata masing-masing yang memiliki kekuatan (Shakti).

Para Dewata Nawa Sanga pun mengikuti petunjuk Dewa Siwa dan Dewa Wisnu, dan segera mengumpulkan senjata masing-masing ditaruh di suatu tempat. Mereka bersama-sama pula melakukan yoga semadi. Dari tumpukan senjata para dewa itu keluarlah nyala api yang besar dan terang benderang. Dari nyala api keluarlah Candika Dewi atau Dewi Durga dalam wujud Pamurtian yang hebat, bertangan sepuluh.

Masing-masing memegang senjata-senjata Dewata Nawa Sanga itu yakni : Cakra senjata Wisnu, Trisula senjata Dewa Sambu (Swayambu), Vajra (bajra) senjata Dewa Iswara, Dupa senjata Dewa Maheswara, Danda (Gada) senjata Dewa Brahma, Moksala senjata Dewa Ludra, Naga Pasa senjata Dewa Mahadewa dan Angkus Senjata Dewa Sangkara. Tambahan dua senjata lagi, menurut buku Development of Hindu Icography, adalah Tameng dan Pedang Dewata.

Kemudian Dewi Durga dengan wahana Singa, pergi menghadapi Asura Mahisa. Pertempuran hebat terjadi. Tidak dalam waktu yang lama Dewi Durga mengalahkan Asura Mahisa. Tatkala Dewi Durga sebagai Shakti Siwa hendak memenggal leher Asura Mahisa dengan pedang Dewatanya, Asura Mahisa berubah wujud menjadi seekor kerbau. Maka leher kerbau lalu dipenggal dengan pedang dewata, sehingga terpisah dari badannya.

Kepala kerbau itu lalu dipendam di sebelah utara tegal Kurukshetra oleh Dewi Durga. Sejak mengalahkan Asura Mahisa itu, Dewi Durga juga dinamai Durga Mahisa Suramardhini, yang berarti penakluk atau pembunuh Asura Mahisa. Setelah menanam kepala kerbau di bagian utama tegal Kurukshetra, Dewi Durga segera memperbaiki sorga dan dunia yang telah rusak karena gempuran Asura Mahisa. Sorga dan Dunia pun menjadi pulih kembali, dengan kestabilan, keseimbangan dan keharmonisan seperti semula.

Apa yang dapat di simpulkan dari ajaran Pemujaan Shakti atau ajaran filsafat Tantra Vamachara, memang untuk merehabilitir kerusakan dan kehancuran dunia ini, untuk mengharmoniskan, menyelaraskan dan menyeimbangkan sorga dan dunia ini, harus menggunakan dasar Kepala Kerbau. Kemudian konsep ajaran filsafat pemujaan shakti dalam Tantra Vamachara ini, dalam pengejawantahan ajaran Kalpa, (tata Upacara) diwujudkan dalam upacara dan upakara Tawur atau Tawur Agung yang memakai korban kerbau. Di luar Bali pun upacara menanam kepala kerbau masih dilakukan sebelum membangun sesuatu yang besar.

Demikianlah sumber ajaran filsafat yang menjadi latar belakang mengapa justru kerbau digunakan sebagai dasar Tawur atau Tawur Agung. Tujuannya adalah untuk merehabilitir (menyelaraskan, mengharmoniskan dan menyeimbangkan), Sorga dan Dunia ini, yang secara wujud fisik adalah unsur-unsur Panca Maha Bhuta.

Biasanya yang dikorbankan sebanyak tiga ekor kerbau. Pada tempat Tawur Agung Pedanan korban suci adalah seekor kerbau.
Di dalam pura, korban sucinya dua ekor kerbau, yaitu : seekor dihadapan pelinggih dan seekor lagi sebagai Titi Mamas di Paselang. Kedua kerbau ini bukan kerbau biasa tetapi kerbau yang khusus yaitu kerbau Silang. Anak-anak kerbau hitam dengan kerbau putih (Misa) yang masing-masing bernama kerbau Yos Brana dan kerbau Anggrek Bulan yang harganya pun khusus.

Di samping itu ada juga uraian di pustaka Garuda Purana mengenai ketinggian makna pengorbanan suci dengan sarana kerbau di dalam upacara Tawur. Di sana diuraikan tentang Raja Detya Bali yang dengan tapanya yang berat mendapatkan anugerah yang sangat hebat sehingga mampu mengalahkan dewa-dewa di sorga. Hal ini merisaukan Dewa Indra sebagai raja para Dewa itu. Oleh karena itu Dewa Indra menjelma ke bumi dalam wujud sebagai Pendeta peminta-minta. Pendeta ini mengajukan permintaannya dan Detya Bali mengabulkan segala permintaannya walaupun belum disebut permintaan itu. Setelah ditanya apa yang diminta itu, Dewa Indra dalam wujud Pendeta itu mengatakan bahwa ia akan mengadakan upacara korban suci dengan sarana kerbau yang diwujudkan dari badan Raja yang bernama Detya Bali. Mendengar permintaan itu, sedangkan Raja Detya sudah berjanji akan memenuhi segala permintaan dan janji seorang raja tidak boleh diingkari, maka Raja Detya Bali bersedia menjelmakan dirinya menjadi kerbau. Dewa Indra dalam wujud Pendeta itu mengadakan upacara dengan sarana kerbau penjelmaan Raja Detya Bali.

Karena pengorbanan ini adalah pengorbanan suci dan dikorbankan dengan hati tulus dan suci maka Detya Bali menjadi suci juga. Setelah menjadi korban suci itu unsur-unsur kerbau itu menjadi bermacam-macam permata yang sangat tinggi nilainya, antara lain :

  1. Darahnya menjadi permata Rubi, yang dipilih oleh planet Matahari untuk mempengaruhi manusia.
  2. Perutnya menjadi permata Jambrud, yang dipilih oleh planet Marcuri dengan tujuan sama.
  3. Lemaknya menjadi Mutiara, yang dipilih oleh planet Bulan dengan tujuan yang sama.
  4. Jantungnya menjadi Mutiara Karang, yang dipilih oleh planet Mars dengan tujuan yang sama,
  5. Tangan dan kakinya menjadi Intan yang dipilih oleh planet Venus dengan tujuan yang sama.
  6. Kulitnya menjadi permata Safir Kuning, yang dipilih oleh planet Jupiter dengan tujuan yang sama.
  7. Matanya menjadi permata Safir Biru, yang dipilih oleh planet Saturnus, dengan tujuan yang sama.
  8. Air Maninya menjadi permata Safir Merah Tua, yang dipilih oleh planet Rahu dengan tujuan yang sama.
  9. Nafasnya menjadi permata Mata Kucing dipilih oleh planet Kytu dengan tujuan yang sama.

Demikianlah makna yang tinggi pemakaian binatang kerbau dalam upacara Tawur sebagai kekayaan di dunia dapat bertambah olehnya yang tentu meningkatkan kesejahteraan umat manusia sendiri mengetahui pengaruh korban itu terhadap dirinya sendiri sesuai dengan unsur-unsur dari wujud kerbau itu yang dipilih oleh planet-planet di angkasa.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga