Rangkaian Membangun Palinggih Padmasana


Struktur Padmāsana

Adapun struktur dasar padmāsana itu sendiri pertama-tama mengacu pada kisah tirtha amṛta, sebagaimana dikisahkan di dalam pustaka Ādiparwa, Padmāsana menggambarkan Mandharagiri, sedangkan Samudra Manthana disimbolisasi dalam bentuk kolam yang mengelilingi bangunan padmāsana.

Bangunan padmāsana itu sendiri mengacu pada konsep Triangga yaitu:

  1. Nishtha Angga atau bagian tepas atau bagian kaki
  2. Madhya Angga atau bagian batur atau bagian badan
  3. Uttama Angga atau bagian sari atau bagian kepala

 

a. Nishtha Angga

Di bagian tepas atau bagian dasar padmāsana terdapat badawang nala yang dililit oleh Naga Basuki dan Anantabhoga. Badawang nala itu sendiri merupakan lambang dari dasar bhuwana. Sementara itu kedua naga merupakan simbol kekuatan yang mengikat semesta alam, sekaligus sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan alam itu sendiri. Dengan demikian padmāsana merupakan tempat kedudukan Ida Sang Hyang Widhiwaśa yang mengayomi dan merupakan sumber kehidupan di bumi.

Sementara itu dari jumlah kukunya, dibedakan menjadi beberapa jenis badawang nala, yaitu:

  • Eka Penyu, yang merupakan badawang nala berkuku satu
  • Dwi Baning, yang merupakan badawang nala berkuku dua
  • Tri Bulus, yang merupakan badawang nala berkuku tiga
  • Catur Kurma, yang merupakan badawang nala berkuku empat
  • Panca Empas, yang merupakan badawang nala berkuku lima
  • Sad Badawang Nala, yang merupakan badawang nala berkuku enam

Selanjutnya, bagian tepas ini juga dihiasi dengan pelbagai ornamen, seperti karang gajah (karang hasti) yang tepat berada di setiap sudut bagian atas badawang nala. Sejajar dengan karang gajah pada bagian tengah terdapat karang bentulu dan karang daun. Di atas karang gajah terdapat motif ornamen karang tapel dikombinasikan dengan karang simbar pada bagian bawahnya. Di atas karang tapel terdapat ornamen karang guak dikombinasi dengan karang simbar dan patra punggel. Selanjutnya pada terapan papalihan terdapat motif kaketusan atau motif-motif geometris seperti ganggong, ceracap, dan kakul- kakulan.

 

b. Madhya Angga

Dewa Wíṣṇu yang mengendarai Garuḍa dan membawa tirtha amta, terletak di bagian batur atau tengah belakang, serta berperan sebagai dewa pemelihara kehidupan. Selanjutnya, di atas Garuḍa terdapat pula seekor angsa yang sedang mengepakkan sayapnya. Angsa ini adalah kendaraan Dewi Saraswatī, Sang Dewi Ilmu Pengetahuan.

Adapun kehadiran Garuḍa di sini berangkat dari salah satu kisah dalam pustaka Ādiparwa, tentang istri Bhagawan Kasyapa, yang bernama Sang Kadru dan Sang Winata. Putra Sang Kadru adalah naga yang ribuan jumlahnya, sedangkan Sang Winata berputra Sang Aruṇa dan Sang Garuḍa.

Pada suatu saat Sang Kadru bersitegang dengan Sang Winata tentang Uccaihsrawa, si kuda putih yang muncul saat proses pengadukan samudra susu seperti terurai di atas. Sang Kadru bersikukuh mengatakan bahwa Uccaihsrawa itu seekor kuda yang berwarna hitam. Sedangkan Sang Winata ngotot mengatakan bahwa kuda tersebut berwarna putih. Karena itu mereka sepakat untuk bertaruh. Barangsiapa kalah, harus menjadi budak si pemenang.

Demi kemenangan ibunya, para naga anak Sang Kadru menyemprotkan bisa, agar warna sang kuda berubah menjadi hitam. Alhasil, Sang Winata kalah, dan lalu menjadi budak Sang Kadru. Atas dasar itu Garuḍa, anak Sang Winata bertekad untuk membebaskan ibunya dari perbudakan tersebut.

Garuḍa lalu bertanya kepada para naga, bagaimana cara membebaskan ibunya itu. Sang Naga kemudian memberitahu agar Garuḍa mencari tirtha amta. Garuḍa kemudian berangkat ke Kahyangan untuk mencari tirtha amta itu. Dia harus berperang melawan para dewa, namun kalah. Melihat hal itu Dewa Wíṣṇu merasa iba, dan bersedia untuk menolong Garuḍa. Dewa Wíṣṇu lalu menolong Garuḍa, namun dengan syarat bahwa Garuḍa bersedia untuk menjadi kendaraan Dewa Wíṣṇu. Garuḍa menyanggupi. Untuk itu berdua mereka lalu mencari tirtha amta guna menolong Sang Winata.

Adapun angsa atau hasa merupakan simbol ketenangan. Warnanya yang putih bersih juga menjadi lambang kesucian. Angsa juga dikenal sebagai seekor burung yang teliti dalam memilih makanan. Meskipun paruhnya masuk ke dalam air keruh dan lumpur yang busuk, namun kebusukan tersebut tidak ikut termakan. Artinya, angsa merupakan lambang kemampuan ataupun kebijaksanaan dalam memilah segala sesuatu yang baik dan bermanfaat di antara kebusukan dan kekumuhan hidup itu sendiri. Selain itu, angsa juga dikenal sebagai hewan yang selalu waspada. Angsa terkesan tidak pernah tidur, mengingat angsa selalu memberi tanda setiap kali muncul marabahaya, tidak peduli siang ataupun malam.

Lebih jauh pada bagian batur atau badan padmāsana ini, di sudut- sudut atas bagian belakang Garuḍa dihiasi dengan ornamen karang guak dikombinasi dengan karang simbar dan patra punggel. Pada terapan papalihan terdapat motif kaketusan seperti emas-emasan, kakul-kakulan, ceracap dan batun timun.

 

c. Uttama Angga

Puncak padmāsana itu sendiri berbentuk semacam tempat duduk ataupun kursi, tanpa atap. Hal ini menunjukkan bahwa Ida Sang Hyang Widhiwaśa itu bersifat tanpa batas dan meliputi segenap alam raya. Hal ini mengacu pada Ida Sang Hyang Widhiwaśa itu sendiri yang bersifat Wyàpi-wyàpaka. Artinya, Ida Sang Hyang Widhiwaśa itu bersifat kecil sekecil-kecilnya, sekaligus besar sebesar-besarnya, di samping senantiasa berada dimana-mana. Selain itu, Sang Hyang merupakan telinga dari segala telinga, pikiran dari segala pikiran, dan mata dari segala mata. Dengan demikian, Ida Sang Hyang Widhiwaśa itu selalu serba mendengar, serba melihat, dan mahatahu atas segalanya. Ida Sang Hyang Widhiwaśa juga bersifat nirwikāra. Artinya, tidak berubah dan serba kekal.

Lebih jauh bagian sari dari padmāsana ini terdiri atas ulon, tabing, apit lawang dan badan dara. Bagian belakang ulon merupakan sandaran yang dihiasi dengan patra punggel, yang berbentuk gunungan atau kayonan. Sementara itu pada bagian depan ulon terdapat lukisan Sang Hyang Acintya. Adapun Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya, yang merupakan lambang Ida Sang

Hyang Widhiwaśa itu, bermakna yang tidak terbayangkan serta melampaui nalar manusia, meskipun daya kuasanya senantiasa terasa. Sementara itu acintya itu sendiri berarti yang tidak terbayangkan. Dengan demikian Ida Sang Hyang Widhiwaśa itu merupakan Sang Hyang yang selalu hadir, namun di luar nalar manusia untuk membayangkan.

Sang Hyang Acintya itu sendiri dilukiskan sebagai tubuh manusia telanjang dengan api di setiap sendinya. Kakinya dilukiskan terangkat, dan kepalanya tanpa bentuk. Adapun tubuh telanjang menyimbolkan ciptaan dari Ida Sang Hyang Widhiwaśa. Sementara itu api pada setiap sendi adalah lambang energi kehidupan. Selanjutnya, kaki kanan yang terangkat adalah simbol rotasi alam dan aktivitas kehidupan. Sedangkan kepala tanpa bentuk merupakan simbol dari keberadaan yang tidak terbayangkan.

Adapun sikap mudra pratiṣṭdari Sang Hyang Acintya ini menggambarkan tarian Sang Śiwa Naṭarāja saat menciptakan alam semesta. Sikap mudra itu sendiri melambangkan rasa cinta Ida Sang Hyang Widhiwaśa kepada semesta alam yang merupakan hasil karya agungnya itu.

Sementara itu tabing atau dalam bahasa Bali disebut juga tebeng merupakan pengapit tahta atau semacam sandaran tangan pada bagian kiri dan kanan ulon, dengan apit lawang yang berbentuk tiang pada bagian depan dari tabing itu sendiri. Sementara itu umumnya tabing ini berbentuk naga, yang menggambarkan Naga Takaka bersayap, yang dipahat dan diukir secara simetris, dikombinasikan dengan patra punggel, seperti tersebut di atas. Dengan demikian, bagian sari dari padmāsana ini melukiskan Sang Hyang Acintya yang sedang ber-sihāsana di bagian tengah ulon, sebagai simbol kehadiran Ida Sang Hyang Widhiwaśa, dengan diapit oleh Sang Naga Takṣaka. Adapun badan dara adalah bentuk leher yang ada di bawah kursi atau tahta padmāsana itu sendiri.

 




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga