- 1KLAKAT / PANCAK SUDHAMALA
- 1.1Klakat Sudhamala Lanang
- 1.2Klakat Sudhamala Wadon / Istri
- 2ULATAN KELABANG
- 2.2.1Kelabang Dangap-dangap
- 2.2.2Kelabang Wong wongan
- 2.2.3Kelabang Taring
- 2.2.4Kelabang Mantri atau kelabang sakti
- 2.2.5Kelabang losok
- 2.2.6Kelabang Sengkui
- 3Sanggah Tutuan
- 4Sanggah Arda Candra
- 5Sanggah Agung / Surya
- 6Sanggah Tawang
- 7Kober (Bendera), Tedung (Payung) dan Lelontekan (Umbul-Umbul)
- 7.2.1Kober (Bendera)
- 7.2.2Pajeng / Tedung (Payung)
- 7.2.3Lelontekan (Umbul-umbul)
- 7.2.4Bandrang
Kober (Bendera), Tedung (Payung) dan Lelontekan (Umbul-Umbul)
Kober (Bendera)
Bendera atau kober yang digunakan dalan uocara Yadnya, tidak sama dengan bendera biasa melainkan pada ujung bendera ini berisi tombak dan berisi aksara ataupun gambar tertentu, seperti contohnya gambar Anoman yang disebut Sang Marutsuta. Bendera ini merupakan simbul angin sebagai pelindung dan berada pada urutan ke empat setelah umbul-umbul kalau diidentifikasikan dengan sastra maka, sastranya ” Mangkara.”
Pajeng / Tedung (Payung)
Tedung merupakan pelengkap upakara yang berbentuk seperti payung, tedung memiliki beberapa bentuk, ukuran, warna dan fungsi. Tedung biasanya diletakkan di pelinggih atau Padma sebagai pelindung. Warna tedung dalam upakara biasanya digunakan warna putih, kuning, hitam, merah serta poleng. Warna itu digunakan sesuai dengan makna dari warna tedung tsb, warna putih berkaitan dengan lambang Siwa diletakkan di padmasana atau surya di setiap merajan atau pura. Tedung warna hitam berkaitan dengan lambang Wisnu diletakkan di sumur atau tempat penyimpanan air. Tedung warna merah berkaitan dengan lambang Brahma diletakkan di pelinggih Taksu. Tedung poleng (hitam putih) melambangkan keseimbangan alam (Rwa Bhineda) dipasang pada pelinggih Tugu Karang, Ratu Gede dan Penyijeng. Kerangka tedung juga memiliki makna.
Iga iga tedung bermakna sebagai pengider bhuana (lambang dunia) yg berfungsi sebagai peneduh alam karena bentuknya bulat dan sesuai dgn arah mata angin. Kober (bendera) sebuah tombak yg berisikan kain menyerupai bendera dengan gambar Hanoman yg disebut Sang Marutsuta atau sang Pengendali Angin sebagai simbol Bayu (Angin). Sebelum dipakai, tedung dan kober harus diupacarai dahulu menggunakan banten pengulapan. Pada tedung dan kober juga diisi janur yg dihias dengan daun dadap disebut sasap. Stlh itu, baru bisa dgunakan karena sudah dianggap suci.
Pajeng atau payung biasanya berada pada urutan terakhir pada saat upacara Bethara melasti ke segara. Payung memayungi pretima atau daksina pelinggih Ida Bethara yang akan melasti ke segara atau danau. Pajeng merupakan simbul windu atau sunia sebagai kekuatan Siwa, kalau diidentifikasikan terhadap sastra maka sastranya “Ong-kara“.
Lelontekan (Umbul-umbul)
Umbul-umbul adalah salah satu perangkat dalam sebuah tempat suci/Parhyangan. Dilihat dari bentuknya yang unik dan menarik memberikan inspirasi pada masyarakat untuk membuat padanannya sehingga dimungkinkan untuk digunakan dalam konteks yang bersifat profan.
Secara kasat mata dengan dipan-cangkannya umbul-umbul lebih memberi kesan kemeriahan suasana. Inilah mungkin salah satu alasan diadopsinya umbul-umbul walau dalam bentuk dan asesoris yang berbeda untuk kepentingan di luar kegiatan seremonial religius Hindu. Sepanjang tidak menyertakan idiom-idiom Hindu hal tersebut sah-sah saja dilakukan.
Umbul-umbul dalam agama Hindu ada\ah benda yang suci dan disakralkan. Hal ini disebabkan oleh karena umbul-umbul mempunyai mythologinya sendiri yaitu yang tersurat dalam kitab Itihasa dalam epos besar Mahabharata, pada kisah Arjuna Pramada yaitu diceritakan Prabu Yudistira bermaksud membuat istana yang indah maka disuruhlah adik-adiknya mencari contoh istana yang bisa akan ditiru.
Dalam persidangan Arjuna melaporkan bahwa konon istana yang sangat indah yaitu istana Alengka, tempat Dewi Sita ditawan oleh Rahwana. Keidahannya tak terlukiskan oleh kata-kata. Akhirnya Yudistira mengutus Arjuna untuk pergi ke sana, Arjuna meminta bantuan Sri Kresna untuk mengantarkannya dalam perjalanan menuju Alengka. Setelah sampai di tepi pantai menyebrang ke Alengka, maka duihatlah jembatan yang dahulu dibuat oleh bala bantuan tentara monyet dari Sri Rama.
Setelah melihat jembatan itu. Sri Kresna terkenang pada penjelmaannya yang dahulu pada waktu beliau bermkarnasi lahir sebagai Rama dan teringat serta rindu pada kesetiaan Hanoman, kerinduan ini menyebabkan Hanoman yang sedang bertapa tertarik oleh kerinduan Sri Kresna (reinkarnasi Wisnu) dan datang kehadapan Sri Kresna. Dilain pihak Arjuna berkata kepada Sri Kresna “Kanda saya tidak percaya pada kehebatan Hanoman dan para kera lainnya yang dikatakan begitu sakti, mengapa membuat jembatan seperti ini narus mengambil waktu beberapa hari. Saya dalam sekejap saja dapat membuatnya”. Kata-kata Arjuna ini didengar oleh Hanoman dan berkata “Ya Arjuna, bala tentara Sang Rama adalah banyak sekali, sebab itu kami membuat jembatan yang kokoh”. Arjuna menjawab “Saya bisa membuat jembatan yang kokoh, barang siapa yang bisa mematahkan jembatan saya, saya akan sembah”. Kalau begitu cobalah kata Hanoman. Arjuna mengambil panah naganya dan begitu dilontarkan seketika menjadi jembatan yang kokoh sejajar dengan jembatan yang telah ada. Hanoman meloncat ke atas jembatan itu maka patahlah jembatan itu. Sri Kresna melihat kejadian itu, lalu melepaskan panahnya sehingga jembatan itu kembali sebagaimana semula dan Hanomanpun mencoba untuk mematahkan, tetapi tidak bisa. Sadarlah Hanoman yang dihadapinya itu adalah junjungannya Rama Dewa, yang lahir kembali menjadi Sri Kresna lalu mendekatinya mau menyembahnya.
Sebaliknya Arjuna mendekati Hanoman untuk menyembahnya, karena jembatan yang dibuat Arjuna telah bisa dipatahkan oleh Hanoman, tetapi Hanoman menolak dengan mengatakan manusia tidak boleh menyembah binatang, karena dia masih berupa monyet. Arjurna berkeras untuk menyembah, dengan mengatakan “Saya adalah ksatria Pandawa, saya tidak boleh ingkar pada kata-kata saya”. Perdebatan ini akhirnya diketengahi oleh Sri Kresna dengan manasehatkan Arjuna bahwa jangan merasa diri sakti, karena tidak ada makhluk di dunia ini yang sakti, hanya Hyang Widhilah yang maha sakti, dan hanya Beliaulah yang patut disembah.
Namun agar hutang sembah Arjuna bisa dilunasi, maka dikutuklah jembatan yang dibuat Arjun itu menjadi umbul-umbul, dengan pesan agar manusia jangan takabur seperti Arjuna. Maka di manapun ada Parhyangan atau Pelinggih Dewa, maka dimukanya dipancangkan umbul-umbul dan kober (bendera) bergambar wanara. Dengan demikian, orang akan selalu ingat dengan peristiwa Arjuna dengan Hanoman, dan dengan menyembah di hadapan Parhyangan maka umbul-umbul dan bendera Hanomanpun ikut tersembah sebagai penebus janji bagi Arjuna. Untuk meyakinkan peristiwa itu, maka umbul-umbul itu dihiasai dengan gambar naga (panah naga dari Arjuna) dan gambar wanara yaitu gambar Hanoman.
Dengan sejarah yang singkat ini barangkali bisa disadari mengapa kita harus menyucikan umbul-umbul, yang tidak lain karena mempunyai sumber wujukan pada kitab suci Hindu, yang patut kita percaya dan yakini bersama.
Bandrang
Perangkat upacara ini berbentuk sebuah tombak hanya berisi bulu dari atas ke bawah sepanjang kira-kira setengah meter. Bandrang ini merupakan simbul kekuatan Dewa Brahma, disamping itu desertai lagi satu macam tombak yang berbentuk senjata dewata nawa sanga. Semuanya itu merupakan simbul api sebagai pengawal, dan kalau diidentifikasikan terhadap Widhi Sastra maka merupakan simbul sastra “Ang-kara“. Bandrang dan tombak yang lain berada dalam urutan kedua setelah tebu pada upacara pemelastian.