Sejarah, Struktur dan Pujawali di Pura Multikultur Batu Meringgit


Tahap Inti Upacara

Tahap inti dari proses upacara di Pura Batu Meringgit berlangsung pada buda umanis wuku medangsia. Pada hari tersebut, merupakan pujawali pokok di Pura Batu Meringgit. Tahap inti pada prosesi upacara di Pura Batu Meringgit, juga memiliki beberapa rentetan struktur upacara yakni : Ida Bhatara masucian, mendak Ida Bhatara, jajar linggih ring paruman, katur iyunan, ngelinggihang, nganteb piodalan. Secara lebih lanjut, rentetan inti upacara di Pura Batu Maringgit dapat disimak pada uraian berikut :

1. Ida Bhatara Masucian

Ida Bhatara masucian merupakan tahap perdana dalam prosesi inti dari prosesi upacara di Pura Batu Meringgit. Masucian memiliki kesamaan arti dan konteks dengan melasti. Masucian bertujuan untuk pembersihan semua sarana upacara atau kebeji. Dalam upacara ini semua sarana seperti lelontek dan umbul-umbul di ikut sertakan sebagai pengiring dari rantasan dan pejenengan ida bhattara untuk kebeji mesiram. Dalam istilah lain semua sarana termasuk dewa yang berstana di Pura Batu Meringgit di sucikan layaknya manusia. Hal tersebut merupakan perwujudan dari falsafah yang memanusiakan dewa atau bhatara, tiada lain tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cara seperti itu.

Ida Bhatara kairing masucian merupakan salah satu bentuk personalisasi Tuhan. Manusia sebagai mahluk yang terbatas dalam menghayati Tuhan, berusaha untuk mengkontruksi simbol sebagai sisi personal dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Simbol Tuhan diiring sampai kepada memperlakukan seperti manusia. Realita ini merupaka hal yang sesuai karena Ida Sang Hyang Widhi memiliki sifat personal God. Tuhan memiliki wujud dan memiliki sifat kemanusia, sehingga diperlakukan selayaknya manusia.

Segala bentuk kepercayaan tersebut merupakan perwujudan atau implementasi teologi Hindu dalam kehidupan lokal masyarakat untuk mempercayai keberadaan Tuhan. Pemahaman akan keberadaan Tuhan yang bersifat transenden atau impersonal God sangat sulit dilaksanakan terlebih kepada manusia atau umat yang memiliki konsentrasi bercabang. Melalui hal tersebut untuk mempermudah cara manusia untuk melakukan persembahan kepada Tuhan maka diwujudkan dengan pratima sebagai perwujudan Tuhan dan dipercayai sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi. 

2. Mendak Ida Bhatara

Mendak Ida Bhatara merupakan proses lanjutan setelah Ida Bhatara masucian. Segala perangat dan simbol yang sebelumnya diiring menuju beji, kemudian dipersiapkjan untuk kembali ke areal utama Pura Batu Meringgit. Dalam prosesi ini, dilalakukan sebuah proses ritual yang disebut dengan mendak (menjemput) Ida Bhatara. Mendak Ida Bhatara dilakukan dengan ritual banten byakala. Banten Byakala/Bayakaon terdiri dari dua suku kata yaitu: baya dan kaon. Baya berarti segala marabahaya baik pada setiap upakara yadnya, pralingga, termasuk yang terdapat dalam diri sendiri, yang kemudian dapat menimbulkan gejolak-gejolak negatif tatkala berpikir, berucap dan berprilaku yang bersumber dari ahamkara (egoisme). Sedangkan kata Kaon artinya menghilangkan.

Banten Bayakaon sebagai lambang untuk menghilangkan segala bentuk marabahaya. Dalam bentuk banten bayakaon pada intinya terdiri dari warna merah yaitu: sampiyan dibuat dari daun andong merah dan tetebus yang dipakai juga berwarna merah. Warna merah sebagai lambang agni/api, api sebagai lambang bayu, bayu sebagai lambang aktivitas atau perilaku. Banten Byakala/Bayakaon digunakan untuk memohon kekuatan kepada Sang Hyang Agni agar segala perilaku terhindar dari segala hal-hal yang tidak baik atau yang membahayakan. Dalam penggunaan banten byakala, dijalankan pada bangunan bagian bawah (ring sor), dalam tubuh manusia dilaksanakan pada bagian kaki. Sedangkan dalam wujud Tri Bhuwana sebagai pensucian bhur loka.

Pada Tri Mandala dilaksanakan pada nistha mandala, di dalam Tri Premana sebagai pensucian bayu, dalam wujud Tri Kaya sebagai pensucian dari perilaku ataupun perbuatan. Pada upacara tutug kambuhan banten byakala sebagai sarana untuk menghilangkan semua gejolak negatif yang bersumber dari ahamkara (egoisme), pada saat proses upacara byakala tirtha dipercikkan ke bawah atau dari pinggang ke bawah dan diayab ke belakang. Dalam Lontar Rare angon dikatakan:

Banten Bayakaon inggih punika maka sarana ngicalang sekancanin pikobet-pikobet sane nenten ecik, dumugi sidha galang apadang.

Terjemahannya :
Dengan demikian Banten Bayakaon berfungsi sebagai sarana untuk menghilangkan semua gejolak negatif yang bersumber dari ahamkara (egoisme).

Banten Byakala/Byakaon sebagai penetralisir kekuatan bhuta kala yang bersifat negatif, yang mengandung arti membersihkan dan menyebabkan bahaya atau menetralisir kekuatan bhuta kala yang bersifat negatif untuk dijadikan bhuta hita. Pada upacara tutug kambuhan banten byakala dipergunakan sebagai manggala upacara, baik unsur Bhuwana Agung maupun Bhuwana Alit dengan tujuan mencapai keseimbangan antara lahir dan bhatin. Secara niskala untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan buruk bhuta kala serta mengembalikan ke sumbernya dan tidak mengganggu proses upacara. Sebagai sarana menstanakan, mengembalikan, memanggil agar premana atau karisma (taksu) pada suatu bangunan dan diri manusia kembali bersinar dengan cerah. Setelah Tri Bhuwana, Tri Mandhala, Tri Premana dan Tri kaya kita terlepas belenggu mala atau kekotoran membelenggunya, dengan sinar Atma yang cerah akan dapat menyatu dengan sinar Ida Sang Hyang Widhi, sebagai sumber dari segala kehidupan.

Setelah mabyakala, kemudian seluruh piranti simbol diring untuk murwadaksina (berputar mengelilingi Pelinggih di areal utama mandala Pura Batu Meringgit). Secara etimologi, purwa berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya bermacam-macam: ‘awal, permulaan, depan, bagian depan; timur; yang terdahulu, paling terdahulu.’. Semua pemaknaan itu terikat dalam satu objek, yaitu matahari. Matahari terbit di sebelah timur. Sedangkan daksina mengandung arti selatan. Upacara pradaksina dalam kepercayaan Hindu adalah berputar dengan mengelilingi objek. Berputarnya pun berdasarkan arah jarum jam. Objek yang dikelilinginya adalah arca atau api suci yang disebut daksinâgni.

Pengertian yang berbeda dalam pembahasan mengenai purwa daksina adalah nedunang atau memanggil Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan yang berada di alam semesta untuk berstana di masing-masing Pelinggih areal Pura Batu Meringgit. Setelah melaksanakan purwa daksina sebanyak tiga kali pratima kemudian distanakan, sementara diPelinggih sudah terdapat banten suci asoroh sebagai sarana pemujaan. Banten Suci yang sederhana atau disebut satu Soroh Suci terdiri dari: Banten Suci, Daksina, Peras, Ajuman, Tipat Kelanan, Banten Duma, Banten Pisang Matah dan Pisang Lebeng, Banten Pebersihan, Canang Lengewangi Burat wangi dan Canang Sari. Dalam Banten yang lebih besar dilengkapi dengan Banten Perayunan. Kelengkapan Banten Suci ini diuraikan dalam Lontar Kusuma Dewa koleksi Ida Pedanda Made Sidemen Sanur.

3. Jajar Linggih Ring Paruman

Setelah ida bhatara kapendak dan murwadaksina, maka selanjutnya dilakukan prosesi malinggih ring piasan atau bale paruman. Seluruh komponen yang sebelumnya diiring melakukan upacara masucian di usung dan diletakan pada bale piasan di Pura Batu Meringgit. Simbolimse yang secara khsuus diletakan atau kalinggihang di bale piasan adalah pratima serta pengadegan dari masing-masing palinggih yang ada di Pura Batu Meringgit. Secara berlanjut, maka ketika ida bhatara malinggih di bale piasan, maka seluruh sarana atau pengadegan yang dipercaya sebagai simbolisme Tuhan kemudian dihias sedemikian rupa sebelum mengarah pada tataran upacara selanjutnya.

Ketika ida bhatara malinggih di bale piasan, maka dihaturkan pula beberapa sesajen atau banten. Bebantenan yang dihaturkan diiringi pula oleh japa mantara dan sesontengan dari para pengamngku Pura Batu Meringgit. Adapun banten yang dihaturkan pada prosesi malinggih di bale piasan ini seperti, soda rayunan dan racem-raceman, segehan warna lima maulam taluh.

4. Ngelinggihang

Ngalinggihang merupakan sebuah tahapan setelah prosesi malinggih ring piasan. Segala bentuk simbolisme dari ida bhatara yang telah melalui rangkaian upacara masucian, kemudian dipersiapkan untuk mengikuti rangkaian prosesi ngelinggihang. Secara mendasar dapat pula dikatakan bahwa, upacara ngalinggihang merupakan salah satu bagian dari rangkian upacara yang masih memposisikan Tuhan sebagai personal god. Tuhan yang sebelumnya telah disimbolkan melalui berbagai wujud dan konstruksi simbol, meleawati tahapan upacara nuwur serta masucian ke beji, kemudian dilanjutkan dengan pengembalian simbol-simbol itu sendiri pada masing-masing palinggih yang ada di Pura Batu Meringgit.

Sebelum merujuk pada pelaksanaan upacara ngelinggihang, para pangempon istri dan serati banten mempersiapkan segala bentuk kelengkapan ritual (bebantenan) yang akan dipergunakan dalam upacara ngelinggihang. Bentan yang dipergunakan dalam upcara ngelinggihang, pada nantinya akan menjadi salah satu aspek ritus yang berkontribusi dalam kelancaran upacara ngelinggihang. Secara lebih lanjut, maka banten yang dipergunakan dalam upacara ngelinggihang seperti, soda rayunan, datengan linggih maulam bebek putih, segehan putih kuning, jerimpen pengambean, segehan agung.

Setelah perlengkapan banten selesai dipersiapkan, maka upacara ngelinggihang dilakukan secara bertahap melalui beberapa proses. Para krama pangempon mulai mengatur diri untuk melakukan persiapan ngelinggihang, yang dipimpin oleh pamangku serta dikoordinir oleh prajuru Desa Candi Kuning. Segala bentuk pengadegan dan simbol lain dari ida bhatara di Pura Batu Meringgit, kemudian mulai diusung guna di stanakan kembali pada masing-maisng palinggih yang ada di lingkungan Pura Batu Meringgit. Setelah semua simbolisme tersbut berada pada posisinya masing-masing, kemudian upacara ngalinggihang tersebut dilengkapi pula dengan prosesi ngaturang rayunan, datengan linggih, ngulap nebus, menben, dan tabuh enak. 

5. Nganteb Piodalan dan Persembahyangan Bersama

Nganteb piodalan merupakan rangkaian inti dari Pujawali yang berlangusng di Pura Batu Meringgit. Setelah simbol-simbol ida bhatara diusung serta ditempatkan pada masing-masing palinggih yang ada, maka rangkaian simbolisme selanjutnya adalah melakukan pemujaan terkait dengan maksud inti dari pelaksanaan pujawali di Pura Batu Meringgit. Nganteb pujawali selalu berlangsung dengan khusyuk dibawah arahan yang diberikan secara sentral oleh pamangku gede Pura Batu Meringgit.

Pelaksanaan upacara nganteb pujawali di Pura Batu Meringgit, mempergunakan sarana upacara (banten) yang tergolong lengkap. Penggunaan infrastruktur banten dalam prosesi ini, bertujuan untuk memohon keselamatan, karahayuan terhadap umat, begitu juga maksimalitas pada upacara nganteb pujawali yang dilakukan. banten utama yang dipergunakan secara global dalam pelaksanaan nganteb pujawali seperti, banten suci, taman pregembal dua soroh, segehan agung, caru bebek bulu sikep.

Rangkaian upacara nganteb piodalan dipimpin oleh pamangku gede Pura Batu Meringgit, serta didampingi dengan jajaran pamangku desa, serati, pangranceng pura termasuk manggala karya yang dalam hal ini adalah prajuru Desa Pakraman Peningal. Nganteb pujawali dilakukan dengan cara ngaturang banten yang telah diperuntukan guna pelaksanaan nganteb pujawali, yang diantarkan oleh sea dan puja pangastawa dari para pamangku Pura Batu Meringgit.

Setelah melakukan prosesi ngenteb piodalan maka dilanjutkan dengan persembahyangan bersama (ngaturang sembah pangubhakti). Ngaturang sembah bhakti (sembahyang) secara bersama, pada dasarnya termasuk dalam tahapan inti dan hal utama serangkaian dengan pujawai di Pura Batu Meringgit. Pelaksanaan sembah bhakti menjadi simbolisme yang memberikan sebuah pertanda bahwa, rangkaian pujawali di Pura Batu Meringgit telah selesai mencapai pada tataran puncak. Seluruh komponen warga masyarakat baik pangempon Pura Batu Meringgit yang berasal dari Banjar Dinas Pemuteran (pangempon pura) Desa Candi Kuning maupun pamedek yang berasal dari luar ikatan pangempon, secara bersama mengumandangkan doa suci setulus hati, kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan manifestasu Beliau yang bersthana di Pura Batu Meringgit. Nuansa kebersamaan dalam ruang lingkup pelaksaan yadnya dan realisasi sradha terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sangat terasa dalam pelaksanaan atau prosesi ngaturang sembah bhakti itu sendiri.

Tidak berbeda dengan rangkaian upacara diatas, maka sebelum melaksanakan persembahyangan bersama (sembah pangubhakti) didahului pula dengan mempersiapkan sarana ritual baik yang akan diperguanakan secara umum maupun secara perorangan. Banten dan sarana upakara lain yang dipergunakan dalam proses ngaturang sembah pangubhakti, memiliki berbagai bentuk simbolisme ke-Tuhanan yang nantinya juga menjadi media konsentrasi bagi umat didalam menghayati aspek ke-Tuhanan di Pura Batu Meringgit. Adapun sarana upakara (banten) yang dipergunakan dalam prosesi sembah pangubhakti merupakan sarana umum yang dipergunakan saat melakukan persembahyangan seperti, aturan, gebogan, kuangen, dupa, dan lain sebagainya.

Tahapan ngaturang sembah pangubhakti ini dilakukan dengan beberapa tahapan serta dipimpin oleh mangku gede Pura Batu Meringgit. Disisi lain, tahapan persembahyangan yang dilakukan juga di koordinir langsung oleh prajuru Desa Candi Kuning Tahapan pertama dalam persembahyangan diawali dengan melakukan puja tri sandya, kemudian dilanjutkan dengan menghatrukan kramaning sembah, serta diakhiri oleh nunas wangsuh pada dalam bentuk tirta dan bija, yang dilakukan serta diikuti oleh seluruh komponen baik jajaran pamangku desa, serati, pangranceng pura termasuk manggala karya, serta pamedek lain yang melakukan persembahyangan di Pura Batu Meringgit. Kegiatan persembahyangan bersama, selalu berjalan dengan penuh kesucian dan nuansa spiritual. Setelah upacara tahap inti selesai dilaksanakan, maka Ida Bhatara di Pura Batu Meringgit nyejer selama tiga hari. Panyejeran dihitung mulai dari puncak pujawali di Pura Batu Meringgit. 

Tahap Akhir – Upacara Nyineb Pujawali

Setelah rentetan upacara inti di Pura Batu Meringgit dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan proses akhir upacara. Prosesi akhir upacara di Pura Batu Meringgit, dilaksanakan pada hari terakhir dari tiga hari masa panyejeran. 

Sebagai tahap akhir dari totalitas pelaksanana pujawali di Pura Batu Meringgit, maka pelaksanaan upacara nyineb pujawali juga dilakukan dengan sistem dan struktur tersendiri. Seluruh pamangku, manggala karya, dan pangempon kembali melakukan sinergi untuk melakukan penyelesaian terhadap sistem dan struktur nyineb pujawali. Seluruh simbol-simbol, banten, serta berbagai hal khsusus yang wajib disimpan pada tempat tertentu, mulai dipersiapkan untuk memasuki upacaran nyineb pujawali.

Struktur pelaksanaan upacara nyineb pujawali, juga mempergunakan beberapa sarana bebantenan sebagai pelengkap dan sarana utama dalam terselenggaranya upacara. Banten-banten yang dipergunakan ditempatkan baik pada palinggih dan halaman yang terdapat di wilayah utama utama mandala, madya mandala dan utama mandala. Klasifikasi banten yang dipergunakan seperti, banten salaran, suci, daksina tipat, punjung rayunan, dan segehan agung.

Setelah sarana upakara (banten) panyineban selesai dipersiapkan, kemudian dilanjutkan dengan memasuki tahap awal dari penyineban. Tahapan awal dalam upacara ini diawali dengan pementasan tari kincang-kincung yang di bawakan oleh perwakilan krama pangempon Pura Batu Meringgit. Terakhir dilanjutkan pula ngantebang banten panyineban, sebagai simbolistik dari proses akhir secara sah dari seluruh rentetan upacara pada pujawali di Pura Batu Meringgit. 


Sumber
I Made Adi Surya Pradnya

Pelinggih Multikultur di Pura Batu Meringgit



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga