Pelaksanaan Upakara Caru Labuh Gentuh


Caru labuh gentuh merupakan jenis upakara, banten atau sesajen yang digunakan di dalam upacara bhuta yadnya, untuk menetralisasi alam semesta bhuwana alit dan bhuwana agung menjadi harmoni, Suatu kurban suci yang bertujuan untuk menyucikan tempat (alam beserta isinya), memelihara dan memberikan penyupatan kepada para bhuta kala dan makhluk-makhluk yang dianggap lebih rendah dari pada manusia. Penyucian itu mempunyai dua sasaran. Pertama, penyucian terhadap tempat (alam) dari gangguan dan pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh para bhuta kala dan makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia seperti disebutkan di atas. Kedua, penyucian terhadap bhuta kala dan makhluk-makhluk itu dengan maksud untuk menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada padanya sehingga sifat baik dan kekuatannya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan (alam). Hendaknya disadari juga bahwa kehidupan ini memerlukan kekuatan-kekuatan dari mereka, misalnya untuk menjaga rumah, menjaga diri sendiri, dan sebagainya.

Caru labuh gentuh termasuk caru tawur agung yang mengunakan ayam putih, biing, putih siungan, hitam, brumbun, itik, banyak, angsa, anjing bang bukem, kambing, babi dan kerbau.
Kegiatan membuat sarana ritual caru memerlukan renungan mendalam bahwa manusia menyadari dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam semesta menyadari keberadaannya di tengah-tengah ruang dan waktu yang tidak bisa lepas dari hukum alam semesta (rta). Ritual caru labuh gentuh  khusus diperuntukkan bagi bhuta kala agar tidak menganggu keharmonisan hidup, tidak menggangu kelestarian alam, tetapi hidup berdampingan selaras, seimbang dan serasi.

Ritual caru labuh gentuh dipersembahkan kepada Siwa dalam aspeknya sebagai bhutapati, penguasa bhuta. Bhuta-bhuta tersebut adalah pertiwi, apah, teja, bayu dan akasa yang juga membentuk panca tan matra, yaitu bau (gandha), rasa (rasa), sentuhan (sparsa), penglihatan (rupa) dan suara (sabda). Alam semesta beserta segala isinya dibangun oleh kelima unsur tersebut. Makrokosmos (bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit) dibangun oleh bhuta-bhuta tersebut.

Menurut sistem filsafat Samkya, bertemunya dua prinsip tertinggi, yaitu purusa sebagai unsur kesadaran (cetana) dengan pradana atau prakrti sebagai unsur material (acetana) menimbulkan evolusi alam semesta. Yang pertama tercipta adalah buddhi. Dari sinilah lahir unsur-unsur (tatwa) lainnya, seperti ahamkara, citta, satwam, rajas, tamas, panca buddhindriya, panca karmendria, panca maha bhuta dan panca tan matra.

Panca tan matra merupakan sebagai objek indra-indra sehingga manusia lupa dengan hakikat dirinya yang sejati. Manusia dengan pendakian spiritual mentransendentalkan unsur-unsur material (bhuta) kepada unsur spiritual. Sesungguhnya yang langgeng adalah spirit menuju penyatuan spirit dalam diri dengan spirit Yang Maha Agunglah senantiasa diupayakan dalam setiap napas kehidupan. Kedua hal tersebut memiliki paralelism dan identifikasi. 

Keharmonisan bisa terganggu karena beberapa penyebab yang terjadi, seperti ketidaktenteraman, ketidakbahagiaan, ketidakdamian. Dalam keadaan disharmoni Siwa mengambil aspek bhutapati, yaitu aspek Siwa yang menyeramkan, menakutkan, mengerikan sebagai Dewa Rudra. Yang diketahui bahwa pada saat Karya Agung Eka Dasa Rudra di Pura Agung Besakih sebelas Rudra dipuja. Sehubungan dengan itu, bhuta sering digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan dan menakutkan. Secara niskala harmoni tersebut dapat diwujudkan melalui ritual yadnya dengan segala tata aturannya. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan keadaan balihita, bhutahita, jagadhita, atau sarwapranihita sehingga manusia dengan segala makhluk hidup lainnya hidup tenteram, dapat melaksanakan swadharma-nya masing-masing, dan mengejar cita-cita hidup tertingginya, yaitu moksa.
Tubuh Siwa merupakan dua kekuatan yang saling bertentangan, yaitu dewa dan asura, sinar dan kegelapan menyatu. Hal ini tampak jelas manakala tawur atau caru sebagai butha yadnya setelah di-pralina atau di-somya-kan oleh sulinggih di-sthana-kan sebagai Siwa dengan aspek-aspeknya yang menempati penjuru dunia masing-masing. Pada saat itu umat memohon karunia, anugerah, dan kemurahannya agar dapat dijadikan kekuatan dalam menjalani kehidupannya yang tidak lepas dari pengaruh rwa bhineda.

Tawur dilaksanakan pada tempat dan waktu yang terpilih (pangladesa, subhadewasa) sesuai dengan ketentuan sastra agama. Tawur dilaksanakan di sebuah tempat yang dianggap di tengah-tengah atau pusar dunia (madyaning bhuwana), seperti di lebuh, natar, atau catus pata agung, di mana pretiwi dan akasa bertemu. Dari titik sentrum ini akan digetarkan energi atau vibrasi kesucian ke segala arah sehingga bhuta kala bisa somya. Demikian juga waktu (kala) atau saat (dauh) dan yang muput yadnya yang tepat sangat besar menentukan keberhasilan bhuta yadnya

Ketika diadakan ritual caru, baik skala kecil maupun besar, umumnya dilaksanakan pada sandya kala (menjelang petang) ditandai dengan mebuwu-buwu atau mengacungkan api (misalnya prakpak), menyeburkan bau-bau tertentu (misalnya mesui, jangu, bawang), dan membunyikan suara-suara (misalnya kentongan atau bale ganjur) di tempat tertentu (misalnya di sekitar pekarangan rumah) agar suasana riuh. Semua ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi panca maha bhuta ke dalam struktur atau sistemnya sehingga tidak mengganggu lagi.

 

Tahapan proses ritual caru lebuh gentuh terdiri atas prosesi yang dibangun dalam bentuk kegiatan. Ritual di Bali memiliki dudonan acara (susunun rangkaian acara). Besar kecilnya dudonan tcrsebut tergantung pada besar kecilnya ritual yang sedang dilaksanakan. Secara umum dudonan/eedan acara disusun oleh yazamana karya yang disusun berdasarkan petunjuk sastra, bahkan atas pawisik Ida Bhatara. Dudonan acara pada puncak ritual caru labuh gentuh dapat dilihat seperti di bawah ini. 

  1. Acara persiapan
  2. Pengastawa oleh sulinggih
  3. Menyucikan simbul Panca Mahabuta yang dikebumikan
  4. Menjalankan eteh-eteh penyucian ke surya, sanggar tawang, ke ida bhatara, upakara/banten, ke tawur, ke setiap arah mulai dari arah timur (purwa), arah selatan (daksina), arah barat (pascima), dan arah utara (uttara), dan di tengah (madya)
  5. Ngastawa kesanggar tawang, surya, caru, upakara, bebangkit
  6. Ngayab ke sanggar tawang, surya, bebangkit, caru/tawur
  7. Meralina caru
  8. Pemuspan antuk kramaning sembah, nunas wangsuhpada ida bhatara
  9. Ngerames caru
  10. Penyineban
  11. Mulang pakelem


Sumber :

Teo-Ekologi Caru Labuh Gentuh di Bali
Oleh :
Dr. Drs. I Wayan Sukabawa, S.Ag., M.Ag



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga