Pelaksanaan Upakara Caru Labuh Gentuh


Uperengga Yadnya – Caru Labuh Gentuh

Banten dilengkapi dengan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan caru lahuh gentuh yaitu : Saggah surya; Saggah cucuk; Tengala/lampit/tulud; Api prakpak/danyuh; Sapu lidi 12 katih; Kulkul/keplugan; Arak berem;Penimpug; Kelabang dangap-dangap; Penggorengan dan daun kelor.

  1. Saggah surya sebagai stana Sang Hyang Siwa Raditya (San Hyang Surya) menjadi sarana pesaksi;
  2. Saggah cucuk sebagai stana Sang Hyang Ibu Pertiwi, dilengkapi dengan : sujang berisi arak berem; Tengala/lampit/tulud sebagai simbol penetralisir kekuatan panca maha bhuta yang bersifat negatif untuk dikembalikan keunsur bayu agar terciptanya keseimbangan antara bhuana alit dengan bhuana agung;
  3. Api prakpak/danyuh sebagai penetralisir kekuatan panca maha bhuta yang bersifat negatif untuk dikembalikan keunsur Teja agar terciptanya keseimbangan antara bhuana agung dengan bhuana alit;
  4. Sapu lidi 12 katih sebagai penetralisir kekuatan panca maha bhuta yang bersifat negatif untuk dikembalikan keunsur Pertiwi agar terciptanya keseimbangan;
  5. Kulkul/kentongan/keplugan sebagai penetralisir kekuatan panca maha bhuta yang bersifat negetif untuk dikembalikan keunsur Akasa agar terciptanya keseimbanga;
  6. Arak berem sebagai penetralisir kekuatan panca maha bhuta yang bersifat negatif untuk dikembalikan keunsur Apah agar terciptanya keseimbangan;
  7. Penimpug yang terbuat dari bambu satu buku (lawas) sebanyak 3 buah;
  8. Kelabang dangap dangap yang terbuat dari selepan yang terdiri dari 10 helai sebagai kepala, 10 helai sebagai tangan, 18 helai sebagai badan, dan 10 helai segagai kaki, sisa diujungnya sebagai ekor;
  9. Penggorengan sebagai Windu, nunas galang kehadapan Surya Chandra; dan
  10. Daun kelor sebagai penyomya

Pelaksanaan ritual menggunakan sarana atau upakara. Upakara tersebut merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. 

Terkait dengan bahan-bahan upakara tampak bahwa semuanya diambil dari ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang didapatkan di dunia ini. Semua itu dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut.

  1. Mataya adalah sesuatu yang tumbuh. Bahan-bahan ini terdiri atas tumbuh-tumbuhan yang dipakai sarana upacara yang terdiri atas berjenis-jenis daun, bunga, dan buah-buahan.
  2. Mantiga adalah sesuatu yang lahir dua kali, seperti telur, itik, ayam, angsa, dan sejenisnya.
  3. Maharya adalah sesuatu yang lahir sekali langsung menjadi binatang seperti binatang berkaki empat, yaitu sapi, kerbau, kambing, babi, anjing, dan sejenisnya.

Bahan atau sarana yang digunakan dalam ritual caru labuh gentuh mendekati hal tersebut di atas, seperti: ayam, bebek, banyak, kerbau (kebo) yang belum ditusuk hidungnya (ditelusuk), telur ayam, telur bebek, babi, kambing, angsa, anjing (asu bang bungkem). Tumbuh-tumbuhan, yaitu daun kelapa (slepan) untuk membuat aledan atau taledan, bebuu, tamas, dan lain-lainya. Janur (busung) untuk membuat berbagai bentuk reringgitan/ tetuwasan sampian-sampian, seperti sampian sesayut, penyeneng, pengambean. Daun enau (ron), daun lontar (ental) dan berbagai jenis daun sebagai bahan tetandingan, bunga, buah-buahan. Bahan dari beras, ketan, gula, yang kemudian diolah menjadi berbagai bentuk jajan.

Ritual caru labuh gentuh menggunakan beberapa jenis banten. Banten tersebut terdiri dari: suci laksana, macatur wedyagana, mapancha Saraswat: dewa-dewi, sasantun gede, pras, 2, hajuman, 2, pabangkit hasoroh, cawu dadanan, tulung matangga, cawu pangrekan, suci, daksina, gelar sangha, nasi sokan; bakaran; tuwak arak brem yeh, padha mawadah sujang, sorohan, karangan, gelar sanga, bayuhan. Daksina, Peras ajuman, Tipat kelanan, Canang sari, dan dilengkapi dengan rantasan dan sesari.

 

Juga ada yang menyatakan dengan disertai banten abatekan terdiri atas hal-hal berikut.

Banten bebangkit, tuntunan, pulegembal, lis acakep, jerimpen mesumbu apasang. Suci asoroh, dilengkapi dengan guling bebek.

Aturan adandanan yang terdiri dari: peras, penyeneng, sayut sumajati, pengulapan, pengambean, penyegjeg, pemapag pengiring, bayuan apasang, daksina, sesayut bangun sakti, tipat kelanan telung kelan, sayut tumpeng papat, penganteban medaging beras, pipis, 254 keteng, canang sari, ayunansari apasang, canang bebaos, saagan manca warna atanding.

Salaran atau tegen-tegenan sarwa solas dari kayu dadap isinya padi, jagung, buah-buahan, dan umbi-umbian. Canang lenge wangi-burat wangi, canang ini dibuat dari alat-alat yang serba wangi (harum) seperti burat wangi (boreh miyik) dan dua jenis minyak yang khusus untuk sesajen ada yang berwarna kuning dan ada yang berwarna hitam kemudian dilengkapi dengan porosan dan bunga.

Banten lainnya yang digunakan adalah beakala, durmangala dan prayascita, sayut guru piduka.

 

Struktur banten yang di gunakan pada ritual caru labuh gentuh, dibagi menjadi empat bagian, yaitu

  • Banten ke surya, banten catur, banten yang mengikuti pemelaspasan, dan caru.
  • Banten di sanggar surya sebagai upasaksi adalah suci duang soroh, tigasan putih-kuning, toya anyar 1 gelas.
  • Banten ke sanggar tawang adalah bebangkit, suci asoroh, aturan adandanan, Salaran atau tegen-tegenan, canang lenge wangi dan burat wangi. 
  • Banten di hadapan pemuput adalah suci, peras, lis, sesayut prayascita, byakala, durmangala, toya, serta inum-inuman (arak-berem), sibuh pepek, buu kameligi, teenan, payuk pengelukatan. 

Ritual caru labuh gentuh memiliki beberapa rerajahan yang dipakai dalam membuat pengideran. Rerajahan sebagai bagian ritus dalam upacara ritual caru labuh gentuh berupa lukisan aksara suci yang ada di dalamnya. Tidak sembarang orang dapat membuatnya. Penulisan huruf suci ini tidak semata memerlukan keahlian dari si pembuatnya, tetapi idealnya dikerjakan oleh orang  suci, yakni orang yang sudah menjalankan inisiasi melalui upacara diksa (setidak-tidaknya dalam kegiatan menyakralkan dan memberikan nilai gaib pada aksara suci).

Dalam pelaksanaan kegiatan ritual caru labuh gentuh yang membuat rerajahan adalah orang yang sudah melaksanakan diksa, yaitu Ida Pedanda

 

BINATANG YANG DIGUNAKAN

Ritual caru labuh gentuh menggunakan ayam putih, biing, putih siungan, hitam, brumbun, sapi, anjing bang bungkem, kambing, babi, kerbau, angsa, dan banyak. Caru labuh gentuh , yaitu caru yang dasarnya adalah manca sanak ditambah dengan angsa , kambing, dan kerbau. Di samping itu, dibuat nasi tawur sebagai simbol untuk membersihkan bumi ini. Caru ini tergolong caru yang besar (tergolong tawur).

Selain itu dilengkapi dengan hal- hal sebagai berikut:

  1. Ngewangun sanggah tawang rong tiga, dihaturkan suci laksana petang soroh, mecatur wedyaghana, panca saraswati ring kiwa-tengen, citra gatra siwa bahu, pucuk bahu, papada, dewa-dewi, tegen-tegenan bebek- ayam, sesantun gede, saji petang soroh, rantasan kalih pradeg, peras ajuman kalih, bebek 16 ekor, sesantun sabuatan arthania 1.600 utama.
  2. Di panggungan, bebangkit agung makaras kalih, selam kapir, ulam bebek putih jambul saha dangsil apasang, tumpeng lelima jangkep seruntutania, soroh jangkep, pagenian ring sor.
  3. Sebagai dasar caru adalah manca sanak winangun urip. Olahannya ketengan sesuai dengan warna pangideran dilengkapi dengan karangan, gelar sanga, bakaran masing-masing asiki, cau dandan, takep-takepan.
  4. Caru ring sor menghadap
  5. Ke timur sapi winangun urip olahannya 55
  6. Di selatan manjangan winangun urip olahanya 99
  7. Di barat kijang winangun urip olahannya 77
  8. Di utara kucit butuhan winangun urip olahannya 44
  9. Di tenggara luwak winangun urip olahannya 88 tanpa bebangkit
  10. Di barat daya asu bang bungkem winangun urip olahannya 33
  11. Di barat laut irengan winangun urip olahannya 22
  12. Di timur laut kambing winangun urip olahannya 66
  13. Urdah angsa winangun urip olahannya asiki disertai bebangkit.
  14. Madya kebo winangun urip olahannya 88
  15. Ardah banyak winangun urip olahannya 55 disertai bebangkit.

Dalam pelaksanaan caru labuh gentuh tidak semua binatang yang tercantum di atas digunakan, yaitu kijang dan manjangan. Kedua hewan itu tidak dipakai sesuai dengan petunjuk lontar Bhama Kertih. Penempatan binatang berdasarkan tingkatan dan nama caru yang dilaksanakan.

Berdasarkan lontar bhama kertih binatang yang digunakan dalam pelaksanaan caru labuh gentuh adalah ayam putih, biing, putih siungan, hitam, brumbun, itik, banyak, angsa, anjing, kambing, sapi, babi, kerbau.

  1. Timur (kangin/purwa) caru ayam putih tulus dan sapi tandingan ketengan 55) dialasi “sengkwi” di atasnya dibentangkan bayang-bayang ayam putih, karangan 1, bakaran 1 dialasi limas, getih (darah) 1 dialasi limas, sega warna putih 5 kemudian tempatkan satu unit bayuan putih. Caru ini untuk sang kala janggitan.
  2. Selatan (kelod/daksina) tempatkan caru ayam merah atau biiing (wiring) dan anjing/asu bang bungkem dialasi “sengkwi” di atasnya di bentangkan bayang-bayang ayam biiing, tandingan ketengan 99, karangan 1, bakaran 1 dialasi limas, getih 1 dialasi limas, di atasnya nasi sega warna merah 9 tanding, satu unit bayuan merah. Caru ini untuk sang kala langkir.
  3. Barat (kauh/kulon/pascima) tempatkan caru ayam putih siyungan, dan kambing dialasi “sengkwi” di atasnya dibentangkan bayang-bayang ayam putih siyungan, tandingan ketengan 77, karangan 1, bakaran 1, getih 1, sega nasi kuning 7 tanding, satu unit bayuan kuning. Caru ini untuk sang kala lembu kere.
  4. Utara (kaja/lor) tempatkan caru ayam hitam (ireng), celeng plen (celeng butuhan) dialasi “sengkwi” di atasnya dibentangkan bayang-bayang ayam hitam, tandingan ketengan 44, karangan 1, bakaran 1, getih 1, sega/nasi hitam 4 tanding, satu unit bayuan hitam. Caru ini untuk Sang Kala Bhuta Truna.
  5. Tengah (maddya), tempatkan caru ayam brumbun diolah tetandingan jadi (88), kebo diolah tetandingan jadi (88), angsa diolah tetandingan jadi (1), dan banyak diolah tetandingan jadi (55) dialasi “sengkwi” di atasnya di bentangkan bayang-bayang ayam brumbun, karangan 1, bakaran 1, getih 1 sega nasi manca warna 8 tanding bebek belang kalung sebagai penangkeb (penutup) tandingan ketengan 88, bakaran 1, karangan 1, getih 1. caru ini untuk Sang Kala Tiga Sakti.

Pada tiap-tiap caru dilengkapi suci, pras, penyengeng, kelanan, blayag pesor, sangga urip, daksina dan sebuah sanggah cucuk, yang dialasi dengan daun tlujungan, dengan sebatang penjor dari cabang bambu lengkap dengan bakang-bakang, jumlah bakang-bakang sesuai denga urip , yaitu penjor di timur berisi bakang-bakang (5), di selatan (9), di barat (7), di utara (4), dan di tengah jumlah bakang-bakangnya adalah (8), disertai sampiannya, di sanggah cucuk dihaturkan dananan satu, dilengkapi dengan tetabuhan twak arak pada sujang.

Caru dilengkapi dengan kulkul, sampat, tulud. Sengkui nganut urip, jatah lembat asem, calon, urab, lawar, jukut blimbing, pada mara. Di samping caru dibuat “tatimpug” atau “keplug-keplugan” yang dibuat dari batang bambu kering yang dibakar. Masing-masing bayuhan dilengkapi peras, penyeneng, blayag pesor, kelanan, daksina, sege anut warna.

 

Pemuput dalam pelaksanaan yadnya ada tiga unsur penting yang dikenal dengan sebutan tri manggalaning yadnya, yaitu

  1. Sang yazamana (orang yang melakukan upacara),
  2. Sang mancaghra (serati atau tukang banten), yaitu tukang banten yang memiliki tugas untuk membuat atau menyelenggarakan dan menjadikan semua bentuk dan jenis upakara yang akan dipersembahkan sebagai sradha dalam upacara yang dilaksanakan, 
  3. Wiku pamuput, sebagai pemimpin upacara dari persiapan sampai selesai. 

 

Tahapan/dudonan pelaksanaan upacaranya adalah sebagai :

(a) adistana widhi/panuhur, (b) ngemargiang toya anyar, (c) ngemariang byakala, (d) ngemargiang durmangala, (e) ngemargiang pesosol (itik, babi, ayam), (f) ngemargiang sehenan,(g) ngaturang pasucian ring Ida Bhatara, (h) ngaturin Ida Bhatara mahiyas/ pahyas-hyas, (i) ngaturin Ida Bhatara sekar sumpang, (j) panca wrti, yaitu puja sang muput (ngelekah sapta wara, prayascita banten/ pengelukatan banten, surya stawa, brahma stawa, wisnu stawa, giri pati stawa, ngerecah bebanten anut kawentenan banten, puja panca dewata, puja caru manut caru, ngaksama jagatnatha, mapekelem ring segara.
Puncak acara disertai dengan kidung/dharmagita, gong, tarian, selanjutnya pementasan tarian, seluruh masyarakat sembahyang/muspa, tri sandhya. Urutan pamuspaan yaitu (1) sembah puyung, (2) sembah ke hadapan siwa Raditya, (3) sembah ke hadapan Bhatara Dewi Danuh, (4) maktiang caru ke hadapan Ibu Pertiwi, (5) sembah ke hadapan bhatara samudaya, (6) sembah puyung, dilanjutkan dengan mohon tirtha dan bija.

Ada beberapa kelompok yang mempunyai kewenangan yang berbeda-beda dalam memimpin/menyelesaikan suatu ritual, yaitu sebagai berikut.

  1. Sulinggih / Pendeta adalah orang yang telah madwijati. Menurut sastra dresta sang pendeta berhak muput segala upakara (baik yadnya yang rutin nityam yadnya) maupun yang bersifat suatu karya (anityam eka yadnya). 
  2. Pamangku adalah rohaniwan yang lahir dari adanya orang yang sudah ma-ekajati. Menurut lontar Kesumadewa, pamangku mempunyai kewajiban pokok untuk menyelesaikan upakara pujawali dan menghaturkan bakti untuk siapa saja, kecuali pandita yang maturan (muspa) di pura bersangkutan. Pamangku menyelesaikan upakara yang rutin di pura itu dengan jalan nunas tirta, sehingga penyelesaiannya itu dalam bentuk ngantebang. Secara wakya bahwa pamangku itu untuk mendapatkan tirta dengan memohon (nunas), bukan membuat tirta, dan pada waktu memohon tirta mengangkat tempat tirta yang telah berisi tirta (air, bunga) sejajar dengan tingginya dahi atau di atas ubun-ubun seraya permohonannya disebut mareha, bukan ngastawa.
  3. Sedehan Engengan berwenang nganteb upakara dalam rangka memohonkan keterangan dari bhatara yang diperlukan. Tentang Upakara tebasan yang kelihatan dari Sedahan Engengan dapat diselesaikan oleh pendeta, pamangku kalau menyangkut pura dan oleh keluarga yang bersangkutan dengan memakai tirta pendeta kalau upakara sederhana dan tempat-tempatnya di luar pura.
  4. Sangging berwenang untuk muput (nganteb) upakara mohon kesaksian dan didampingi selama sang sangging mengerjakan pekerjaan itu. Apabila pekerjaan itu patut dipelaspas, maka sang sangging dapat melakukan dengan menggunakan tirta dari pendeta, tetapi bila hasil karya itu perlu disucikan dengan pasupati, maka upakara pasupati itu langsung dipuja oleh pendeta.

 


Sumber :

Teo-Ekologi Caru Labuh Gentuh di Bali
Oleh :
Dr. Drs. I Wayan Sukabawa, S.Ag., M.Ag



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga