7 Versi Kisah Lahirnya Barong Landung


Versi Keempat

Sudarsana (2005: 29-31) dalam bukunya “Bali Dwipa Mandhala” memberi catatan bahwa, raja besar Bali Shri Aji Jaya Pangus terkenal paling banyak mengeluarkan prasasti (39 buah), berkuasa antara tahun Saka 1103 sampai dengan 1191 (1181 sampai dengan 1269 Masehi), juga telah mempersunting putri Cung Khang dari Tanah Tiongkok.

Raja besar dan bijaksana ini selalu memerintah bersama kedua permaisurinya, telah berhasil membawa pulau Balu ke dalam keadaan damai dan sejahtera dalam waktu cukup lama. Atas jasa besarnya maka oleh sebagian masyarakat Bali diabadikan atau diekspresikan ke dalam seni-budaya Barong Landung.

Topeng (tapel) barong landung yang perempuan dibuat dengan ciri-ciri paras muka bermata sipit dan memakai pakaian longdress (seperti pakaian wanita Tionghoa tempo dulu).

Sedangkan, yang laki-laki diekspresikan berupa barong landung berwajah angker berbadan hitam tinggi besar (warna hitam simbol dari Wisnu atau Waisnawa), yang tiada lain merupakan simbol keagungan, keangkeran dan kewibawaan raja Bali.

Kebesaran raja ini menurut Sudarsana dapat diketahui dari isi lontar Markandhya Purana. Ada disebutkan bahwa ketika tahun Saka 1103 (1181 Masehi) pulau Bali diperintah oleh seorang raja berasal dari keturunan Waisnawa dengan gelar Shri Aji Jaya Pangus Arkajalancana. Arkaja berarti keturunan Arka. Arka berarti Suryawangsa, Suryawangsa sama dengan Hariwangsa, Hariwangsa berarti Wishnu wangsa, itulah Waisnawa namanya.

Shri Aji Jaya Pangus bertahta di pulau Bali bersama dua orang permaisurinya, yang masing-masing bernama paduka Sri Parameswari Indujaketana dan Sri Mahadewi Sasangkajacihna. Yang terakhir ini berasal dari negeri Tiongkok (Cina) dengan nama asli Dewi Cung Khang (Kang Cing Wei). Dewi Cung Khang juga dapat berarti puteri dari Dinasti Cung atau Sung di Tiongkok.

Disebutkan pula dalam lontar Markandhya Purana bahwa, sebagai seorang raja diraja yang memerintah di Bali beliau sangat berwibawa dalam melindungi pulau Bali. Beliau dapat melaksanakan tugas kewajiban sebagai pucuk pimpinan seluruh masyarakat Bali, karena beliau sangat bijaksana, bertingkah laku baik dan lagi cakap serta muda, menguasai ilmu pemerintahan dan ajaran-ajaran tentang agama, selalu didampingi oleh kedua orang permaisurinya, para patih, mentri, yang sama-sama menguasai ilmu tentang akal dan taktik kebijaksanaan dalam ilmu pemerintahan, serta sebagai perwira yang menguasai ilmu peperangan.

Karena jasa beliaulah menyebabkan pulau Bali menjadi aman, tertib dan santosa. Juga disinggung bahwa, tatkala berkuasanya beliau bersama kedua permaisurinya, maka Sang Rsi Siwa dan Sogata telah berhasil menyelesaikan membangun sebuah bangunan suci yang berupa parahyangan Widhi (bangunan tempat suci pemujaan Tuhan Yang Maha Esa) diberi nama Candi Dasa, yang dibangun tahun Saka 1112 atau 1190 Masehi.

Kemudian pada hari Kamis Wage bulan Palguna (sekitar Pebruari) Saka 1191 atau 1269 Masehi, paduka Shri Aji Jaya Pangus Arkajalancana menuju Wishnu Loka (sorga, wafat), dan abu jenazahnya dicandikan di Dharma Anyar (lokasi sekarang, di dekat pura Pengukur-Ukur, Pejeng, Gianyar), di sana terdapat Pura Panti yang diurus oleh Dangarya Jiwajaya.

Waktu beliau mangkat belum ada penggantinya, sehingga tidak menentu keadaan pulau Bali. Oleh masyarakat Bali, kemudian dibuatlah simbol raja dalam bentuk Barong-Landung.

Versi Kelima

Menurut Yudabakti (2007: 47), kisah keberadaan Barong Landung berkaitan erat dengan Lontar Kanda Pat Bhuta. Dalam lontar Kanda Pat Bhuta dibahas peranan Sang Catur Sanak (empat saudara yang selalu merupakan satu kesatuan) dalam Bhuana Agung (alam semesta) maupun Bhuana Alit (tubuh manusia), dan berkaitan erat dengan keberadaan perwujudan barong. Keempat Catur Sanak (saudara empat) itu, terdiri atas: 1) Anggapati, di alam semesta menempati arah timur, dan di badan manusia berbentuk nafsu atau kala, yang merupakan musuh manusia yang paling berbahaya; 2) Mrajapati, di alam semesta menempati arah selatan, dan sebagai penguasa Pempatan Agung (perempatan jalan) dan kuburan (Setra Gandamayu) berbentuk Durga, yang memiliki wewenang untuk mengganggu orang yang melanggar aturan atiwa-tiwa (pengabenan); 3) Banaspati, di alam semesta menempati arah barat, mengambil wujud Jin, Setan, Tonya (Barong Landung), penjaga sungai/jurang, dan tempat-tempat keramat; 4) Banaspati Raja, di alam semesta menempati arah utara, mengambil wujud sebagai Barong (Barong Ketket), serta mempunyai tugas sebagai penjaga pohon kayu-kayu besar seperti Kepuh (Rangdu), Pole (Pulasari), Bunut Besar, Beringin, dan lain-lain.

Keempat unsur alam tersebut di atas dinamakan Catur Sanak (saudara empat), dan sudah berada dalam diri setiap orang sejak dari asalnya. Menurut Kitab Kanda Pat, sang catur sanak (keempat saudara) yang diruraikan di atas diyakini sebagai penguasa atau raja setiap jin, setan, tonya, bhuta, kala, dengen, dan lain-lain. Dengan demikian, Yudabakti (2007: 48) dapat menarik asal-usul atau sejarah atau mitologi dari adanya Barong-Rangda dan Barong Landung adalah berkaitan dengan tugas dan wewenang Sang Catur Sanak di dunia dan pada diri manusia sendiri. Oleh karena itu, Barong Landung sangat disakralkan oleh masyarakat Bali, karena dipercaya sebagai penolak wabah penyakit dan menetralisir segala bentuk kekuatan jahat dari para bhuta kala (kekuatan negatip). Jadi, kisah lahirnya Barong Landung diyakini sebagai perwujudan salah satu perwujudan dari Sang Catur Sanak yaitu Sang Banaspati. Disebutkan tentang simbolis Sang Banaspati sebagai penguasa sungai-sungai/jurang dengan wujud sebagai setan, wong samar, dan para orang halus. Kemudian, gambaran tentang wong samar/tonya itu diwujudkan oleh para undagi sebagaimana bentuk Barong Landung.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga