7 Versi Kisah Lahirnya Barong Landung


Versi Keenam

Sejarah keberadaan Barong Landung menurut Tonjaya, (1981: 36-46; Yudabakti, 2007: 53-54) itu sangat unik, seperti dikisahkan berikut.

Tersebutlah seorang tonya laki-laki yang bernama Bhuta Awu-Awu yang amat besar dan tinggi badannya, menakutkan dan mempunyai watak, sifat yang tidak baik dan sering menyakiti orang-orang yang ada di sekitarnya dengan kekuatan ilmu hitamnya.

Buktinya, di mana ia bertempat tinggal atau berada, maka tempat itu menjadi angker, serta wabah penyakit akan berjangkit, yang menyebabkan kesakitan dan kematian menimpa masyarakat. Karena sifatnya itu, ia tak disenangi oleh rakyat Bali. Mengingat kejahatan Sang Bhuta Awu-awu yang membahayakan masyarakat, maka atas prakarsa para pendeta di Bali ia diusir ke luar Bali.

Melalui pertempuran yang sangat dasyat secara sekala dan niskala, ia pun merasa kalah dan terusir dari Bali. Karena dikalahkan oleh orang-orang Bali, Sang Bhuta Awu-Awu kemudian lari ke Nusa Penida. Untuk mewujudkan keanehan dan keangkeran Sang Bhuta Awu-Awu, oleh para undagi diwujudkanlah dalam bentuk Barong Landung. Barong Landung ini terdiri atas: Barong Landung laki-laki yang bernama Jero Gede, dan yang perempuan bernama Jero Luh. Barong Landung ini dipentaskan pada setiap Hari Buncal Galungan (Buncal Balung), berguna untuk mengusir Sang Kala Tiga, yakni Sang Bhuta Dungulan, Sang Bhuta Galungan, dan Sang Bhuta Amangkurat, yang selalu berniat mengganggu pelaksanaan Hari Raya Galungan, hari raya yang dijadikan tonggak peringatan kemenangan dharma atau kebenaran melawan adharma atau kebatilan oleh umat Hindu di Bali dan Indonesia umumnya.

Oleh karena itu, hari Buncal Balung adalah hari-hari pantangan untuk melakukan upacara yadnya, yang jatuh antara Redite Umanis Langkir setelah Kuningan sampai Budha Kliwon Pahang (Tim Sabha Sastra Bali, 2005: 22; Warna, dkk., 1993: 104). Tenggang waktu ini dipakai untuk ngelawang yaitu menarikan berbagai barong sakral di sepanjang kampung dari lawangan (gerbang rumah) satu ke lawangan lainnya.

Umat Hindu mendapatkan air suci dari barong yang dapat diperciki ke setiap sudut pekarangan, bangunan, ruangan dan penghuni rumah. Air suci ini diyakini mampu melebur kekuatan negatif yang sebelumnya telah disebar oleh para bhuta kala di bawah perintah Sang Bhuta Awu-Awu.

Versi Ketujuh

Versi lain adalah dari Wayan Kardji (1993: 62-64) yang menghubungkan Barong Landung dengan Ratu Gede Mecaling.

Menurutnya, di Bali ada kepercayaan bahwa pada sasih keenem (seputar bulan Januari) roh Dalem Bungkut (disebut juga Dalem Nusa dari Nusa Penida) bergentayangan dan mengganggu masyarakat Bali, karena itu diperlukan unsur penawar.

Namun, segala bentuk barong yang telah ada di Bali tidak ada yang mampu memusnahkan wabah penyakit yang dihembuskan oleh roh Dalem Bungkut, sehingga wabah dan suasana mencekam di mana-mana. Konon, diceritakan ada seorang penduduk pada suatu malam saking demikian takutnya, sehingga ia sampai terpaksa sembunyi menyelinap di antara rumpun pohon pandan duri. Dalam keadaan selalu awas dan ketakutan dari tempat persembunyian, tepat saat tengah malam orang ini melihat wujud

Ratu Gede Mecaling yang tinggi besar sedang menerima anak buahnya yaitu para leak, untuk menerima dan melaporkan tugas barunya masing-masing, sampai saat mereka bubar setelah menjelang pagi. Singkat cerita, setelah agak siang barulah orang itu berani keluar dari tempat persembunyiannya.

Tiba di rumah ia membuat wujud barong yang bentuk tubuh dan wajahnya serupa dengan yang dilihatnya tadi malam. Setiap malam barong itu kemudian diarak keliling desa. Karena menyangka barong itu adalah Ratu Gede Mecaling, maka para leak itu tidak berani lagi menyerang penduduk desa, sehingga wabah pun berangsur-angsur menghilang.

Oleh penduduk desa, kemudian barong ini disebut Barong Landung sesuai dengan wujud barong ini yang bentuk tubuhnya berukuran tinggi besar (landung). Dalam pada itu, orang Bali kemudian juga mulai menjadi sangat mempercayai kalau daun pandan duri dapat digunakan untuk menolak bala (penyakit, malapetaka) yang diperbuat orang jahat atau para leak.

Pergelaran Barong Landung biasanya diikuti unsur tokoh lain yang berturut-turut disebut: Jero Gede, Jero Luh, Mantri (Putra Raja), dan Galuh (Putri Raja).

Di tempat lain, ada unsur tokoh yang lebih lengkap, dengan penambahan tokoh Cupak. Gambaran ciri-ciri pembeda tokoh, adalah:

  1. Jero Gede, berbadan hitam legam, rambut hitam panjang terurai, mengenakan hiasan penutup kepala (destar) berwarna putih berperada, dan menyelipkan keris di punggung;
  2. Jero Luh, badannya agak putih/kuning, rambut keputih-putihan disanggul khas Bali (pusung tagel), mengenakan selendang (selempang) bermotif batik dan kain batik kembang nyonya;
  3. Cupak, badannya berwarna merah, rambutnya hitam berdiri kejur (Jerang), mengenakan hiasan penutup kepala (destar) berwarna hitam polos (tanpa corak), mengenakan kain poleng dan menyelipkan keris di punggung;
  4. Mantri, mengenakan atribut yang serupa dengan tokoh mantri dalam seni pertujukkan arja;
  5. Galuh, juga mengenakan atribut serupa dengan tokoh galuh dalam seni pertunjukkan arja di Bali.

Dari kasus penelitian Kardji, barong landung yang terdiri atas lima unsur tokoh dapat ditemukan di Banjar Pemeregan (Denpasar), sedangkan yang terdiri atas empat unsur tokoh terdapat di banjar Anyar (Ubung Kaja), Banjar Batur (Kelurahan Ubung), Banjar Bersih (Peguyangan) dan di beberapa tempat lain.

Di antara tokoh Jero Gede di masing-masing tempat yang disebutkan, menurut Kardji ada menunjukkan perbedaan ciri, yakni ada yang memperlihatkan gigi taring dan ada yang tidak. Perbedaan yang lebih menyolok disebutkan bahwa barong landung yang berada di banjar Batur (Kelurahan Ubung) selain lima unsur tokoh yang umum ditemukan, malah ada satu tambahan tokoh lagi menjadi unsur keenam, yaitu Mantri Alit. Tetapi dari penelusuran Kardji, tambahan tokoh keenam (baru) dilakukan belakangan oleh seorang bernama I Putu Balon (almarhum), dimaksudkan untuk melengkapi peran suatu kisah pergelaran.


Dari semua versi yang ada, Kedua tokoh utama dalam cerita barong landung ini sudah menjadi mitologi yang keramat di Bali, dan secara nyata dipuja sebagai Dewa/Bhatara oleh hampir sebagian besar masyarakat Bali Tengah.

Kedua tokoh yang dilukiskan berwarna hitam dan berwarna putih adalah perlambangan dari kebijaksanaan, keadilan atau kewenangan untuk menentukan atau menegakkan kebajikan yang dalam istilah Balinya disebut nyelem-putihin (menentukan hitam dan putih atau mahakuasa).

Mengapa simbol-simbol terasa sangat serasi? Hal ini ada kaitannya dengan persamaan konsep religi orang Bali ”Rwabineda” dan Cina ”Im-Yang” yang juga memiliki kesamaan dalam tafsiran.

Kepercayaan umum di Bali, Barong landung laki-laki merupakan simbol suci untuk memuja kebesaran raja Sri Jaya Pangus yang bertahta di Kedatuan (istana) Panarajon, sekarang termasuk wilayah Desa Pinggan (Sukawana), Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Barong landung wanita tua merupakan simbol dari permaisuri beliau, yang memiliki keturunan ras Mongoloid (Tionghoa).

Secara kebetulan pula pada zaman pemerintahan raja suami istri ini terjadi suksesi penyatuan mazhab besar dalam agama Hindu di Bali ke dalam paham Siwa-Budha. Simbol warna putih adalah mewakili mazhab Siwa Siddhanta dan hitam adalah simbol mazhab Budha. Dalam Dasa Awatara (sepuluh awatara) Wisnu yang dikenal agama Hindu salah satunya Budha Awatara. Budha adalah salah satu aspek Wisnu dalam agama Hindu yang disimbolkan dengan warna hitam.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga