belajar tantra bali

Analisis Terpadu Ajaran Tantra di Bali, untuk Tercapainya Keharmonisan


Morfologi Dewi Durga : Dari Shakti Siwa Menjadi Ratu Setra

Posisi Dewi Durga dalam teologi Hindu Bali sangat sentral namun paradoksal. Ia ditakuti sebagai sumber penyakit dan bencana, namun dipuja sebagai Hyang Nini atau Ibu Alam Semesta yang memberikan perlindungan mutlak. Pemahaman ini berakar pada mitologi penciptaan dan teks-teks purana lokal.

Analisis terhadap Lontar Siwa Tattwa Purana memberikan wawasan krusial mengenai asal-usul aspek demonis Durga.

Kisah ini bermula dari peristiwa kosmis di mana Bhatara Siwa dan Dewi Uma berjalan-jalan di tepi pantai. Angin kencang menyingkap kain Dewi Uma, yang memicu hasrat seksual (Kama) Siwa. Namun, karena situasi yang tidak terkendali, sperma (Kama) Siwa keluar sebelum penyatuan (coitus) dan jatuh ke laut.

Peristiwa ini dikenal sebagai Kama Salah (benih yang salah tempat/salah waktu). Dari kesalahan kosmis ini, lahirlah entitas-entitas raksasa dan Kala yang mengganggu keseimbangan dunia. Dewi Uma, karena merasa malu dan marah atas ketidaksenonohan tersebut, memilih berubah wujud menjadi Dewi Durga yang menyeramkan untuk mengasuh anak-anak “salah kejadian” tersebut.

Narasi ini mengandung implikasi teologis yang mendalam :

  1. Asal-Usul Kejahatan : Kejahatan atau kekacauan (chaos) di dunia bukanlah ciptaan kekuatan tandingan Tuhan, melainkan hasil dari “kecelakaan” atau ketidakseimbangan energi Ilahi itu sendiri (Divine energy misplaced).
  2. Fungsi Durga : Durga lahir untuk mewadahi, mengasuh, dan mengendalikan energi-energi liar tersebut. Tanpa Durga, Kama Salah akan menghancurkan semesta. Oleh karena itu, pemujaan Durga adalah upaya untuk memohon agar energi liar dalam diri manusia dan alam dapat dikendalikan.

Sinkretisme Siwa-Buddha dan Durga – Prajna paramita

Dalam kajian lintas teks, terutama Lontar Candra Bhairawi, ditemukan jejak sinkretisme Siwa-Buddha yang kuat dalam pemujaan Durga. Di sini, Durga atau Shakti dipadankan dengan Prajna-paramita (Dewi Kebijaksanaan Tertinggi) dalam tradisi Buddhis Mahayana / Tantrayana.

Hal ini menunjukkan bahwa wujud menyeramkan Durga hanyalah topeng luar (Maya). Di balik wajah Rangda yang menakutkan, tersembunyi hakikat Prajna-paramita atau kebijaksanaan non-dualitas (Advaya).

Bagi praktisi yang belum tercerahkan, ia tampak sebagai monster pemakan mayat ; bagi praktisi yang telah mencapai Jnana (pengetahuan suci), ia adalah ibu yang membebaskan jiwa dari ilusi duniawi. Konsep Tri Purusha (Parama Siwa, Sada Siwa, Siwa) dalam teks ini bersanding harmonis dengan konsep Trikaya (Dharmakaya, Sambhogakaya, Nirmanakaya) dalam Buddhisme, dengan Durga sebagai jembatan energi femininnya.

Manifestasi Durga di Bali tidak tunggal. Sebuah variasi menarik dapat ditemukan di Pura Dalem Kahyangan Kedaton (Alas Kedaton). Pura ini didirikan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-12 dan memiliki arsitektur yang melanggar pakem umum: halaman utama (Jeroan) posisinya lebih rendah daripada halaman luar (Jaba Tengah), menciptakan sensasi turun ke dalam perut bumi atau dunia bawah.

Di pura ini, Durga dipuja dalam bentuk arca Mahisasura Mardini (Durga yang membunuh raksasa kerbau) dengan delapan tangan, berdiri di atas lembu. Atribut tangannya meliputi :

  • Kanan : Ekor lembu, Camara (pengusir lalat), panah, pisau.
  • Kiri : Kerang (Sangkha), busur, gada, perisai.

Keunikan teologis yang paling mencolok di Alas Kedaton adalah pantangan penggunaan dupa dan api (Agni). Tradisi lisan menyebutkan bahwa Mpu Kuturan melarang api untuk menjaga “kesejukan” hutan dan mencegah kebakaran, namun secara esoterik, ini menandakan bentuk pemujaan Tantra Kiri yang bersifat “dingin” (Chandra) atau lunak, berbeda dengan ritual Agni Hotra yang panas.

Monyet-monyet yang menghuni hutan dianggap sebagai pasukan penjaga (ancangan) yang merupakan manifestasi pengikut Mpu Kuturan, menegaskan bahwa alam liar dan binatang adalah bagian integral dari mandala Durga.

 

Mandala Pura Dalem dan Setra

Dalam tata ruang desa adat Bali (Tri Mandala), Pura Dalem dan Setra menempati zona Kelod (selatan / arah laut) atau Teben (hilir). Ini bukan zona buangan, melainkan zona transformasi.

Pura Dalem sebagai Reaktor Daur Ulang Spiritual

Pura Dalem didedikasikan untuk Siwa dalam aspek Pralina (Pelebur) dan Durga. Pura Dalem Agung Padangtegal, misalnya, secara eksplisit disebut sebagai tempat pemujaan Siwa sebagai “The Recycler or Transformer”. 

Istilah “Daur Ulang” sangat tepat karena fungsi kematian dalam Hindu Bali bukanlah akhir, melainkan proses pemurnian elemen Panca Maha Bhuta sebelum terbentuk kembali.

Di Pura Dalem, umat memohon agar roh kerabat yang meninggal mendapat tempat yang layak dan agar kekuatan negatif di desa dinetralisir. Ini adalah pusat pengendalian wabah dan penyakit.

Setra : Laboratorium Pangiwa

Jika Pura Dalem adalah ruang publik untuk pemujaan kematian, Setra (kuburan) adalah ruang praktik privat bagi penganut Tantra. Setra adalah Mandala utama Dewi Durga dan Prajapati. Di sinilah mayat dikubur sementara, menjadi “bahan” meditasi tentang ketidakkekalan.

Bagi praktisi Yoga Kawisesan, Setra adalah tempat Nganak atau Ngereh — ritual memanggil kekuatan roh untuk diwujudkan ke dalam benda sakral (seperti topeng Rangda / Barong). Suasana magis Setra, terutama saat Kajeng Kliwon, memberikan frekuensi energi yang tepat (Tamasic energy) untuk praktik-praktik Pangiwa.



HALAMAN TERKAIT
Baca Juga