Bayuh Oton & Tirta Penglukatan Wayang Sapuh Leger


EPISTIMOLOGIS WAYANG SAPUH LEGER

Dalam pentas pewayangan ada 3 jenis pertunjukkan wayang yang mendapat kedudukan istimewa diantara jenis wayang lainnya, yakni: Wayang Sapuh Leger, Wayang Lemah, dan Wayang Sudamala yang dianggap sakral karena memiliki fungsi ngruwat. Namun diantara ketiga wayang itu, wayang sapuh leger yang paling istimewa, kenyataan ini didukung oleh ciri-ciri spesifik antara lain:

  1. Wayang Sapuh Leger menggunakan repertoar khusus yaitu Batara Kala, suatu mitos yang diyakini ada dan sangat menakutkan serta berbahaya.
  2. Wayang Sapuh Leger harus dilengkapi sesajen (banten) meliputi pohon pisang (gedebong) berikut buah jantungnya, serta berbagai sesajen lainnya
  3. Wayang Sapuh Leger hanya boleh dipergelarkan oleh seorang dalang yang telah disucikan (Ki Mangku Dalang/Sang Mpu Leger) dan memahami isi Lontar Dharma Pewayangan dan Lontar Sapuh Leger.

Ketiga jenis wayang tersebut termasuk sacral karena merupakan bagian  dari upacara yang berada dalam lingkungan siklus kehidupan manusia (Manusa Yadnya). Hanya dipertunjukan pada anak yang lahir pada wuku wayang, terutama sekali yang lahirnya persis pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon Tumpek Wayang. Maskipun kenyataan di lapangan bahwa penyelenggaraannya tidak pada hari sabtu saja tetapi dimulai dari hari senin sampai sabtu dalam wuku wayang, bahkan ada orang Bali yang mengupacarai anaknya sampai tiga kali. Dengan demikian ia bersifat religius, magis dan spiritual, yang berhubungan dengan wawasan mitologis, kosmologis, dan arkhais, sehingga memunculkan simbol-simbol yang bermakna bagi penghayatan dan pemahaman budaya masyarakat Bali. Simbol-simbol tersebut terungkap baik dalam lakon, sajian artistic, fungsi, sarana, dan prasarana yang digunakan, sedangkan maknanya mengendap dan menjadikan system nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman tinggi bagi kelakuan manusia Bali.

Wayang Sapuh Leger yang sering dipentaskan di Bali bersumber pada lontar Kala Purana; Japa/cepa Kala; Kidung Sang Empu Leger; Kala Tatwa; Kekawin Sang Hyang Kala; Tutur Wiswa Karma dan Kidung Sapuh Leger. Semua sumber di atas diolah atau dikemas sedemikian rupa oleh dalang-dalang Bali sehingga banyak terdapat variasi struktur lakon. Hal itu sudah menjadi gejala umum pada pementasan wayang kulit Bali, karena yang terpenting bukan strukturnya, melainkan di sesuaikan dengan kebutuhan lakon dan fungsinya. Wayang Sapuh Leger sebagai genre wayang kulit (parwa) Bali, secara structural terikat oleh kaidah-kaidah struktur dramatic dan teatrikal yang berlaku dalam pewayangan kulit Bali. Sebagai seni teater, drama ritual ini merupakan seni komplek, kolektif, dan ansambel artinya, penyajian ini tidak mungkin dipergelarkan dengan baik tanpa melibatkan hampir seluruh ilmu pengetahuan dan cabang seni, serta komponen-komponen yang membentuknya sebagai struktur bangunan yang arsitektural.

Pentas pewayangan sapuh leger pada dasarnya mengisahkan asal-usul kelahiran dan perjalanan Batara Kala, dimana ayahnya Dewa Siwa memberi ijin kepadanya untuk memangsa anak/orang yang lahir pada Tumpek Wayang, kemudian jenis-jenis korbannya, lolosnya korban, tipuan Dewa Siwa tehadap Kala dengan memberikan teka-teki; peranan dalang sebagai pemenang, meredam kerakusan Kala. Aspek angkara digambarkan amat kuasa dan kuat, dalam mitos ini diwujudkan sebagai raksasa besar dan kuat berwujud Batara Kala yang taktertandingi oleh para Dewa. Hal ini member petunjuk bahwa kuasa keteraturan, kebaikan, kebijakan, atau aspek positif dari Dewa sebenarnya selalu terancam oleh kuasa ketidak teraturan, kekacauan, atau aspek negative dalam diri manusia. Batara Guru dalam mitos digambarkan hanya dapat melemahkan Kala, tetapi tidak dapat melenyapkannya sama sekali, karena Kala adalah aspek angkara atau negative yang bersumber daripada dirinya juga. Secara simbolis cara melemahkan potensi angkara atau aspek negative dalam diri manusia diperagakan melalui pentas dengan membatasi waktu-waktu makannya (siang dan malam hari serta kelahiran pada Tumpek Wayang), ritual, dan mantram dilakukan oleh Batara Guru yang menjelma menjadi dalang. Dengan peragaan itu berarti bahwa kuasa keangkaramurkaan dilemahkan atau hanya dibuat lemah oleh aspek kesucian. Lakon Sapuh Leger mengungkapkan ajaran mistikisme yang masih dipraktekan dalam kehidupan masyarakat Bali.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga