Daksina Linggih – Simbol (Nyasa) Tuhan dalam Tri Angga


Bentuk Daksina Linggih

Setiap upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh umatnya memerlukan wujud atau bentuk sarana sebagai perantara untuk dapat lebih mudah mendekatkan dirinya dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Sarana upacara Yajňa ada dua yaitu sarana yang berwujud benda (material) dan sarana yang bukan berwujud benda (non material). Bentuk atau wujud dari sarana tersebut merupakan simbol-simbol yang dapat mengantarkan pikiran manusia kearah kesucian. Begitu pula halnya penggunaan Daksina Linggih merupakan sarana material sebagai wujud Tuhan sekala (di alam ini).

Dewasa ini, perkembangan Daksina Linggih mengalami perkembangan, mulai dari bentuk, sarana yang digunakan dan ragam hiasnya. Pada mulanya bentuk Daksina Linggih hanya menggunakan alas mangkok yang diisi beras, uang kepeng yang berjumlah 225 keping, kojong (berisi buah pinang, sirih dan kapur), reringgitan yang dihiasi dengan bunga putih dan kuning dan dililit dengan kain putih.

Dalam perkembangan selanjutnya, alas Daksina Linggih berganti dengan menggunakan hiasan janur, selanjutnya menggunakan anyaman bambu, kemudian menggunakan uang kepeng, sekarang menggunakan kayu dan bahan fiber dengan ragam ukir dan warna emas dengan menggunakan prada. Dari isinya juga mengalami perkembangan sehingga isi dari Daksina Linggih mirip dengan isian banten daksina.

Sarana Yang Digunakan Dalam Daksina Linggih

Pada umumnya sarana yang dipergunakan untuk membuat Daksina Linggih adalah terdiri dari: bebedogan atau wakul, tapak dara, beras, kelapa, telor itik, uang kepeng 225, kojong kecil, kemiri, pangi, porosan, pesel-peselan, jebug harum, bija, dan pisang 2 biji, kojong besar, plawa/daun endong, buah pinang, bunga, reringgitan, bunga bancangan, dan canang yasa.

Sarana Daksina Linggih mewakili tiga aspek, yaitu: aspek hutan (isi alas), aspek sawah (isi carik), dan aspek laut (isi pasih). Aspek hutan dalam sarana Daksina Linggih digantikan oleh pesel-peselan yang terbuat dari daun-daunan sebagai cerminan hutan yang rimbun. Aspek sawah digantikan oleh sarana beras dan bija ratus yang berisi biji-bijian. Dan aspek laut digantikan oleh garam yang ada pada bija ratus.

Secara visualisasi Daksina Linggih tardiri dari alas (kulit), isi (tubuh) dan kepala. Penggambaran divisualisasikan layaknya manusia, artinya simbol sebagai penggambaran Tuhan disamakan seperti karakteristik yang melekat pada manusia, yaitu: memiliki kulit (kaki), tubuh dan kepala. Konsep Tri Angga yaitu: nista angga, madya angga, dan utama angga. Nista angga dalam Daksina Linggih disimbolkan dari bebedogan atau wakul yang merupakan bagian luar atau alas.

Daksina Linggih Sebagai Sthana Tuhan.

Tuhan dalam pandangan Veda bersifat acintya yang berarti tidak terpikirkan oleh akal manusia. Wujud Tuhan yang tidak terpikirkan itu akan sangat sulit dibayangkan oleh akal manusia. Oleh karena itu, melalui simbolisme (nyasa) wujudnya dapat dibayangkan menurut fantasi manusia. Melalui berbagai bentuk nyasa inilah idealisasi daripada bentuk yang semula tidak erhayalkan wujudnya secara nyata. Kemaha kuasaan serta sifat yang serba rahasia dari Ida Sang Hyang Widhi yang tersembunyi dalam kabut rahasia pengetahuan manusia kemudian dipikirkan dan dituangkan dalam bentuk simbol yang disebut maya sakti.

Dalam Lontar Yajna Prakerti menguraikan bahwa banten memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Banten disebutkan sebagai berikut: sahananing babanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana.

Pinaka ragannta tuwi artinya lambang dirimu atau lambang diri kita, pinaka warna rupaning Ida Bhatara artinya sebagai lambang kemaha kuasaan Tuhan, dan pinaka anda bhuana artinya lambang alam semesta (bhuana agung).

Daksina Linggih sebagai sthana Tuhan mempunyai kedudukan sama seperti halnya arca, pratima, pralingga, dan patapakan/ palawatan dalam wujud barong ataupun rangda. Penggunaan simbol-simbol agama (nyasa) merupakan salah satu upaya mempersonifikasikan Tuhan atau sifat-sifat Tuhan ke dalam bentuk persembahan. Bentuk-bentuk perwujudan nyasa dapat diwujudkan dalam gerak tangan atau mudra, mantra-mantra, garis-garis tertentu yang disebut yatra atau rekha, banten atau sesajen, Daksina Linggih, dan lain sebagainya. Semua simbol tersebut merupakan bentuk persembahan umat kepada Ida Sang Hyang Widhi yang bersifat abstrak.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait