Kisah Lengkap Rangda Jirah Dan Penyucian Calon Arang Oleh Mpu Baradah


PERKAWINAN BAWULA DAN RATNA MANGGALI

Hari sudah sore, matahari hampir tenggelam ketika Bawula berdiri memandangi sebuah rumah. la belum mengetuk pintu karena hatinya masih ragu apakah benar rumah yang ada di hadapannya itu rumah Ki Rangda, ia masih tertarik dengan suasana sekelilingnya. Pada saat itu ia hampir saja melompat karena tiba-tiba dari dalam rumah itu muncul seorang wanita tua. Tidak salah lagi, pasti ini Calon Arang, tepat seperti gambaran yang dikatakan guruku, pikirnya.

Dengan suara dingin dan tanpa senyuman sedikit pun, wanita itu berkata, “Apa maumu, Anak Muda?”
Bawula kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Dengan sopan pemuda itu berkata, “Ananda, Bawula, murid Mpu Baradah, yang tinggal di Lemah Tulis.”

Wanita itu tercengang mendengar pemuda di hadapannya berkata sangat lembut dan dengan budi bahasa yang manis. Padahal, ia sendiri sudah bersikap sinis dan judes. Pantas pemuda ini lain dari pemuda kampung ini yang biasanya selalu takut berhadapan dengan saya, pikir Ki Rangda. Ia jadi tertawa terkekeh-kekeh.

Bawula sempat merinding mendengar suara itu. “Akhirnya Mpu Baradah mengirim juga anak buahnya, selamat datang di gubuk ini, Anakku,” kata Ki Rangda sambil memandang tajam kepada Bawula. Ia berusaha bersikap manis kepada pemuda itu karena ia anak bekas gurunya dulu.
Bawula jadi salah tingkah diperhatikan wanita tua yang menyeramkan itu. Apalagi ketika hidungnya mulai disergap bau dupa yang sangat menyengat.
Bawula merasa tidak nyaman ketika duduk di kursi di dalam rumah Ki Rangda. Ruangan itu sangat luas, kira-kira lima puluh meter. Kok ruangan ini seperti lapangan sih, tidak ada penyekat ruangan satu pun, pikir Bawula sambil matanya terus memandangi ruangan sekitarnya. Di depan ruangan itu hanya terdapat sebuah kamar yang pintunya terkunci. Mungkin itulah kamar suci, tempat Ki Rangda bersemedi, pikir Bawula lagi.
Udara sangat pengap dan sumpek, ditambah lagi dengan warna dindingnya yang sudah kumal, tidak cerah lagi. Penerangan hanya ada dari sebuah obor di dekat pintu. Dipandanginya seluruh ruangan, semua kosong, hanya di pinggir kamar yang terkunci itu saja tergantung sepasang gambar barong yang besar.

“Bibi, Eyang meminta Ananda datang ke sini melamar anak Bibi. Apakah Bibi berkenan?” tanya Bawuia dengan hati-hati dan penuh keraguan.
“Aha . . . aha . . . ha, kau akan melamar anakku, apa benar? Kau jangan main-main denganku, Anak Muda!” kata Ki Rangda dengan suara keras.

Rumah kuno yang kotor itu hampir runtuh tergetar suara Ki Rangda.
Bawula yang tadinya sudah memberanikan diri, bergidik juga mendengar tantangan Ki Rangda. Akan tetapi, ia tidak dapat mundur. Ia harus mematuhi perintah gurunya. Dengan mantap Bawula berkata lagi, “Iya, Bi, Ananda akan melamar anak Bibi.”

Mendengar jawaban yang pasti dari pemuda itu, Ki Rangda lagi-lagi tertawa. Kali ini tawanya bukan lagi tawa ejekan, tetapi tawa kebahagiaan: “Ha .. ha.. ha· .. akhimya dating juga jodoh anakku. Ah, betapa leganya dadaku ini ! Kau memang seorang ksatria Bawula karena kauberani melamar anakku ! seru Ki Rangda kegirangan.

Karena bahagia wanita itu menari nari sambil mengelilingi ruangan. Tiba tiba wanita itu berhenti menari dan dengan sebuah lompatan kecil ia menghapiri Bawula yang masih memandangnya dengan tercengang.

“Ya, ya ,, kalau kau serius, bibi akan terima. Tentu! Ya, Bibi akan terima.
Melihat tingkah Ki Rangda seperti itu, tahulah ia bahwa lamarannya diterima.
Bawula diajak bicara oleh Ki Rangda cukup lama, pemuda itu ditanyai berbagai haI, mulai dari keturunan sampai pada pekerjaannya. Melihat kenyataan itu, Bawula mengerti sekali bahwa Ki Rangda sangat sayang pada anaknya. Temyata Ki Rangda juga memikirkan bibit, bebet, dan bobot dalam mencari jodoh anaknya, kata Bawula dalam hatinya. Ia juga jadi teringat pada perkataan gurunya, rupanya benar dugaan Mpu Baradah, Ki Rangda sangat khawatir pada nasib anaknya, kata batin Bawula lagi.

Ketika petang mulai turun, barulah Bawula akan diperkenalkan kepada anak gadis Ki Rangda.
Dengan satu teriakan, Ki Rangda memanggil anaknya, Ratna Manggali. Suara Ki Rangda sangat keras dan melengking.

Bawula meredam denyut nadinya yang semakin keras dan mengatur denyut jantungnya yang berlari kencang ketika ia mendengar langkah dari belakang. Wanita seseram apakah yang akan menjadi istriku, pikirnya. Ia memejamkan mata, memanjatkan doa pada Yang Mahakuasa.
“lnilah calon istrimu, anakku. Semoga kalian berbahagia. Bibi akan ke kamar suci,” kata Ki Rangda dengan berlagak acuh.

Bawula belum berani membuka matanya, ia hanya menyambut tangan calon istrinya. Ah, halus juga pikirya. Akan tetapi, betapa terkejut hatinya ketika ia membuka matanya pelan-­pelan di hadapannya sudah berdiri seorang gadis yang sangat ayu, cantik bagai bidadari.

Untung saja ruangan itu remang-­remang hingga wajah Bawula yang memerah tidak diketahui gadis di depannya itu. Dalam sekejap bayangan wanita menyeramkan itu hilang terhapus malam diganti oleh gadis yang cantik bagai Dewi Sinta.
Naluri Bawula sebagai lelaki datang secepat kilat. Ruangan itu mendadak semerbak wangi bunga setaman, nyanyian malam bagai kidung, dan dinginnya malam bagai sinar mentari karena gadis yang kini di sisinya adalah gadis yang sedang mencuci di kali.

Ratna Manggali tersenyum tersipu ketika berkenalan dengan Bawula. Gadis itu pun pada mulanya merasa berat hati ketika ibunya memanggil dan berkata, “Anakku, sudah waktunya kau berkeluarga. Janganlah bersedih hati, kasihan kecantikanmu tak pernah dihisap lebah. Ibu punya calon untukmu.”
Ratna Manggali sudah tahu arah pembicaraan ibunya karena pada waktu Widiasta akan meminangnya, ibunya pun berkata seperti itu. Gadis itu hanya pasrah saja menerima nasib. Akan tetapi, jauh dalam lubuk hatinya ia takut pemuda yang akan meminangnya kali ini pun tidak berbeda dengan Widiasta. Bayangannya kembali menerawang saat ia berpacaran dengan Widiasta, calon suami yang senang mengganggu wanita.

Akan tetapi, ketika tahu pemuda yang akan melamarnya kali ini adalah pemuda yang ditemuinya di pinggir kali, hatinya senang. Wah, kalau yang ini sih, aku mau. Apalagi tampangnya seperti Sri Rama, tampan sekali,” katanya dalam hati. Dadanya yang semula sesak pun lalu bermekaran.

Kebahagiaan mewarnai hari­-harinya. Gadis itu tersenyum cerah sekali.
Ki Rangda sangat bahagia melihat kedua anak muda itu begitu serasi. Wajahnya yang sinis dan bengis, mulai berubah sedikit. Di wajah itu mulai ada kecerahan dan harapan. Oleh sebab itu, ia mematikan dupa untuk sementara dan menghentikan kutukan yang dikenakan kepada penduduk Daha. Ia kembali masuk ke dalam kamar sucinya dan bersemedi di sana, mengucapkan rasa syukur pada Dewi Durga karena anaknya sudah diberi jodoh.

Ki Rangda benar-benar bahagia. Kebahagiaan yang datang pada dirinya benar-benar bagai manik kestuba muncul dari laut, betul-betul tidak ada tandingannya, ia senang memiliki menantu.
Tingkah laku wanita penyihir itu tidak lagi seperti setan, semua sifat buruknya lenyap, hilang semua. Ia benar-benar ingin menikmati kebahagiaan yang selama ini dinantikannya. la tidak peduli lagi dengan kutukan yang dijatuhkannya pada penduduk Daha. Dendamnya sedikit berkurang, penderitaannya yang selalu memikirkan nasib anak wanitanya telah berakhir karena anak itu sudah disunting. Beban hidupnya menjadi ringan. Begitu bahagianya Ki Rangda hingga dari sudut matanya turun tetes air bening di pipinya, air mata kebahagiaan.

Ruangan yang selama ini digunakan Ki Rangda untuk latihan ilmu silat bersama murid-muridnya, kali ini sudah dihiasi dengan beragam bunga, menyambut hari perkawinan Ratna Manggali dan Bawula. Segala macam peralatan pesta disiapkan oleh murid Ki Rangda. Pesta semalam suntuk pun terlaksana meriah.
Setelah pesta berakhir, Ratna Manggali mengajak suaminya mengenali seluk beluk rumahnya dan juga desa Jirah. Saat Ki Rangda sedang keluar, Ratna Manggali mengajak Bawula menengok kamar suci yang terletak di depan rumah.

Ratna Manggali tidak sadar bahwa ia sudah melanggar janji. Ibunya pernah berpesan bahwa tidak seorang pun boleh melihat kamar suci itu, kecuali Ratna Manggali dan jika hal itu terjadi, keampuhan ilmu sihir ibunya akan hilang.

Ratna Manggali melakukan semua itu karena ia terlalu bahagia berdampingan dengan suaminya. Ia ingin calon suaminya mengetahui semua tentang dirinya.
Bawula pun sangat terkesan melihat kamar itu, kamar pemujaan.
Kamar suci itu tidak terlalu luas, hanya sembilan meter luasnya. Ruangan itu tidak bersih bahkan terlihat muram, semua warna dindingnya menguning. Suasananya sangat redup dan pengap karena tidak satu pun ventilasi tempat pergantian udara. Tepat di tengah ruangan berdiri patung Dewi Durga yang besar dan tingginya hampir mencapai langit-langit. Di depan patung itu ada api pemujaan yang di sekelilingnya dipenuhi beraneka macam bunga, ada bunga nusa indah, bunga melati, bunga ros, dan bunga sedap malam. Di tungku pemujaan itu masih terlihat bekas-bekas nyala api dan di atasnya masih tertelentang sebuah benda persegi empat panjang yang dibungkus kain pu.tih. Di keempat sudut ruangan itu terdapat beberapa bungkus bunga­-bungaan beraneka ragam sebagai sajen.

Ketika melihat benda putih itu terpanggang di atas tungku, Bawula tertegun, “Ah, dari sinilah petaka itu berasal. Aku harus memindahkannya,” kata Bawula.

Melihat reaksi suaminya, Ratna Manggali berkata, “Itulah yang selama ini ibu lakukan, ia membalas dendam pada penduduk dengan cara itu.”

Sambil berkata Ratna Manggali menunjuk pada benda putih yang ada di atas tungku. “Saya sudah berusaha mencegahnya, Raka, tapi Ibu tak dapat dilarang. Dendamnya begitu membara,” lanjut Ratna Manggali.

Mendengar perkataan istrinya, Bawula mempererat genggaman tangannya dan berkata, “Kita harus mencegahnya lagi, Dik, sudah terlalu banyak rakyat menderita.”
Mendengar perkataan itu, Ratna Manggali memeluk suaminya erat sekali.

Setelah itu, mereka menuju ke luar, menapaki jalan kecil menuju kali. Banyak mata penduduk yang melihat pasangan itu berjalan. Hati mereka bahagia karena akhimya Ratna Manggali, anak tukang sihir mendapat suami yang baik, yaitu anak Pendeta Mpu Baradah. Mereka terkagum­kagum pada pasangan itu, pasangan yang sangat serasi bagai bintang dan rembulan. Karena kagumnya seorang ibu berkebaya, lupa ia bahwa ia sedang menggoreng ikan. Ia baru sadar dan berlari masuk ke rumah ketika hidungnya mencium bau angus. Begitu juga yang lain, ada yang sedang mengayun anaknya, lalu berhenti. Ia baru sadar ketika anaknya sudah menjerit-jerit.
Pasangan yang seperti Rama dan Sinta itu terus berjalan sambil berpegangan tangan.

Pasangan pengantin baru itu sadar kembali akan kekejaman ibu mereka ketika mereka sampai di sebuah pematang. Di tengah pematang yang kering itu bergelimpangan mayat. Karena kagetnya, Ratna Manggali lari ke pelukan suaminya. Bawula pun memeluk istrinya dengan erat sambil bertanya lirih, Mengapa sampai terjadi kekejaman seperti ini, adikku?”
Ratna Manggali belum dapat menjawab pertanyaan suaminya, ia masih menutup mukanya di dada suaminya. Dengan hati terenyuh dan air mata berlinang ia berkata, “ltulah kekejaman ibuku, Raka. Semua akibat kemarahan Ibu!” Suara itu terdengar berat penuh penyesalan. Ratna Manggali seolah­-olah sangat menyesal karena dirinya tidak dapat mencegah perbuatan kejam ibunya.

Melihat Ratna Manggali begitu tersiksa menyaksikan penderitaan itu, Bawula menarik tangan istrinya dan berbalik, kembali ke jalan setapak menuju rumah mereka.
Dalam perjalanan itulah Ratna Manggali bercerita banyak tentang ibunya dan berbagai ilmu sihir yang dimilikinya.
Di tengah kebahagiaannya mendapat istri cantik dan menikrnati bulan madunya, Bawula tidak lupa pada janjinya, yakni memberi kabar kepada Mpu Baradah, gurunya, bahwa usahanya telah berhasil. la sekarang sudah menjadi menantu Ki Rangda, suami Ratna Manggali, ia bukan seorang bujangan lagi.
Betapa bahagia hati Mpu Baradah ketika menerima kabar dari Bawula. Pagi-pagi sekali Mpu Baradah sudah menyiapkan diri mengunjungi sepasang pengantin muda itu. Sebelum berangkat, ia meminta muridnya yang bemama Nyoman Pendit untuk menggantikannya sementara ia tidak ada. Pada saat fajar mulai menyingsing, kabut mulai menebal, dan embun masih basah, Mpu Baradah keluar rumah mengendarai kuda menuju Jirah. Ringkikan dan derap kaki kuda yang ditunggangi pendeta itu membelah pagi.
Sambil menghirup udara pagi yang segar, pendeta itu memandangi alam sekitamya yang menghijau. Ia menaikkan kerah bajunya karena udara yang masih dingin meniup-niup lehernya. Beberapa bukit sudah dilalui dan tepi pantai pun sudah disusuri, dan matahari pun mulai bersinar. Saat itulah pemandangan yang dilihatnya sudah jauh berbeda dengan pemandangan desa Lemah Tulis. Di sepanjang perjalanan menuju Jirah jalan-jalan masih sepi. Burung tidak satu pun yang terbang, manusia hidup tidak satu pun ditemui. Padahal, matahari sudah tergantung tepat di tengah langit. Pemandangan yang terlihat hanya mayat-mayat bergelimpangan, berhamburan di jalan, menjadi korban keganasan Ki Rangda. Mereka mati dalam kelaparan. Bau busuk menebar ke mana-mana, udara sudah tidak sedap lagi.
Pemandangan itu membuat hati pendeta itu terenyuh dan sedih. Mpu Baradah menyesali perbuatan kotor Ki Rangda. Betapa besar dosa wanita itu. Aku harus menghentikan perbuatan itu. Mudah-mudahan Bawula dapat membasminya, pikir Mpu Baradah.
Baru saja pendeta itu membelok di sebuah tikungan, ia melihat seorang lelaki tua sedang sekarat. Di sampingnya ada istri dan dua anaknya yang sedang menangis meraung-raung. Mpu Baradah turun dari kuda dan memegang kepala orang tua itu. Dari mulutnya keluar darah. Beberapa kali pendeta itu mengusap-usap mata lelaki itu dan memberinya tiga tetes air yang dibawanya. Belum lama berselang, lelaki itu diam. Kedua anak lelaki itu mengira bapaknya sudah meninggal, mereka semakin keras meraung.
Mpu Baradah berkata pelan, Bapakmu belum meninggal, ia sedang tertidur pulas. Bawalah pulang dan biarkan ia istirahat.

Saat fajar menyingsing, esok harinya, barulah Mpu Baradah sampai di tengah desa Jirah. Karena pendeta itu orang sakti, perjalanan jauh itu dapat ditempuh dalam waktu satu hari. Ketika tiba di desa itu pun, Mpu Baradah masih melihat mayat bergelimpangan di jalan, anjing dan burung gagak sedang berpesta pora. Baru beberapa langkah lelaki tua itu berjalan, dilihatnya seorang lelaki sedang tersedu-sedu di sisi istrinya yang tubuhnya tertutup kain. Mpu Baradah sangat kasihan, lalu menghampirinya. Lelaki itu diminta membuka kain penutup tubuh itu. Beberapa saat kemudian, pendeta itu mengheningkan cipta, memusatkan pikiran. Sunyi sekali. Akan tetapi, tubuh perempuan itu tidak bergerak sedikit pun. Karena usahanya tidak berhasil, Mpu Baradah berkata, “Maaf Pak, saya tidak dapat membantu. Istri Bapak sudah dipanggil oleh Sang Hyang Widi.”
Ketika mendengar ucapan pendeta itu, keluarga itu menangis, suaranya mengiris hati.


Sumber Buku

CALON ARANG DARI JIRAH

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1995



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga