Dalam penyelenggaraan upacara yadnya dilengkapi pula dengan “banten” atau sesaji merupakan susunan dari berbagai media seperti janur, buah, bunga, air, dan sebagainya, ditata sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk yang indah dan artistik mempunyai arti simbolis keagamaan sesuai dengan fungsinya.
Sesungguhnya di samping sebagai persembahan atau tanda terima kasih, maka banten mempunyai fungsi seperti (1) sebagai alat atau sarana konsentrasi untuk memuja Hyang Widhi, (2) sebagai perwujudan dari pada Hyang Widhi atau orang yang diupacarai, misalnya kuwangen, daksina pelinggih, lingga, puspasarira, dan (3) Sebagai alat penyucian, misalnya prayascita, durmengala, byakala, dan lain sebagainya.
Upacara yadnya perwujudannya ada lima macam yaitu pertama Dewa yadnya adalah upacara persembahan ditujukan kepada Ida Hyang Widhi, karena kita hutang hurip atau jiwa pada Hyang Widhi yang telah menciptakan kehidupan serta segala yang menunjang kehidupan di alam semesta ini. Orang Bali percaya dengan adanya dewa-dewa. Dewa-dewa tersebut merupakan sinar suci dari Hyang Widhi (Brahman). Tetapi orang Bali juga yakin bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini bersumber dari satu azas, suatu realitas yang tertinggi.
Realitas tersebut tidak kelihatan, tidak terbatas oleh ruang dan waktu, tidak terbagi-bagi, tidak dapat tembus oleh akal manusia, dapat menyelami segala sesuatu, realitas ini disebut Brahman. Brahman di sini bukan dipandang sebagai tokoh dewa, melainkan sebagai azas pertama, sebagai yang meliputi segala sesuatu. Brahman itu tiada lain adalah Tuhan itu sendiri. Dengan demikian yadnya yang ditujukan kepada para Dewa sesungguhnya ke hadapan Hyang Widhi, sedangkan para Dewa hanya sebagai perantara antara manusia dengan penciptaNya.
Kedua Rsi yadnya, Resi adalah orang-orang suci yang telah menerima wahyu serta ajaran-ajaran atau ilmu pengetahuan yang berguna bagi kesejahteraan umat manusia, terutama ajaran-ajaran tentang kerokhanian. Rsi Yadnya adalah pemujaan kepada para pendeta dan orang-orang suci yang memahami makna hakekat hidup. Atas jasa dan kemurahan para Maha Rsi yang menuntun dan membebaskan kita dari kebodohan dengan pengetahuan suci yang mengantarkan pada kesejahteraan dan kebahagiaan jasmani dan rohani, untuk itu umat Hindu merasa memiliki hutang yang dikenal dengan Rsi Rna. Dalam hubungan ini Rsi yajna dilaksanakan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas jasa tersebut.
Ketiga Pitra yadnya adalah pemujaan kepada roh suci leluhur, merupakan ungkapan terima kasih kepada leluhur yang telah melahirkan, memelihara, membesarkan kita. Ungkapan terima kasih kepada para leluhur dilakukan dengan melaksanakan upacara Pelebon bagi orang bangsawan dan ngaben bagi orang kebanyakan. Setelah upacara ngaben atau palebon dilakukan upacara nyekah atau upacara ngerorasin, di sini arwah para leluhur dipersonifikasikan dengan boneka yang disebut puspasarira, karena memang terbuat dari rangkaian beberapa macam kembang. Setelah mendapatkan puja weda dari Pedanda, di mana roh leluhur dituntun masuk ke Puspasarira, lalu diberikan tirta atau air suci dan selanjutnya baru dibakar hingga menjadi abu. Abu tersebut oleh sanak keluarga dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam cengkir gading, lalu dibentuk atau dirangkai lagi menjadi bentuk Puspasarira lagi. Sebagai rangkaian acara terakhir Puspasarira ini dinaikkan ketempat madiya atau semacam bangunan yang menjulang tinggi hampir menyerupai seperti meru dengan warna kuning dan putih, diarak oleh para keluarga dekat dan para hadirin beramai-ramai dengan iringan gamelan baleganjur, menuju laut untuk dilarung, dengan maksud agar supaya semua elemen-elemen jasad manusia kembali menyatu dengan alam semesta.
Keempat Manusa yadnya, adalah upacara yang dilaksanakan kepada sesama manusia seperti upacara magedong-gedongan, yaitu upacara umur tujuh bulan kandungan, upacara kelahiran bayi, upacara kepus punsed, upacara ngelepas hawon, upacara tutug kambuhan, upacara telu bulan atau umur bayi 105 hari setelah kelahiran, upacara otonan atau bayi setelah berumur enam bulan, atau 210 hari setelah kelahiran, upacara ngempugin setelah anak sebelum mencapai dewasa, upacara maketus, yaitu upacara setelah giginya tanggal, upacara munggah daha/taruna, adalah upacara setelah anak mengalami datang bulan pertama, upacara mapandes yaitu upacara potong gigi dan upacara pawiwahan (perkawinan) serta upacara pawintenan yaitu upacara pembersihan lahir dan batin dalam rangka belajar atau menuntut ilmu. Pengalaman masa kanak-kanak sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian selanjutnya, oleh sebab itu sejak masih ada dalam kandungan orang Bali telah berusaha mendidik si jabang bayi lewat upacara-upacara. Setelah bayi lahir, orang tua si bayi akan memberikan syukuran dalam bentuk upacara yadnya. Setelah bayi berumur 3 hari, ketika tali ari-ari (placenta) putus, orang tua anak juga mengadakan upacara putus punser.
Umur tiga bulan diadakan upacara potong rambut yang pertama dan pemberian nama. Dimulai dari dalam kandungan, lahir, sampai dewasa, orang Bali selalu sibuk dengan upacara-upacara, sehingga dapat dikatakan kepribadian orang Bali bersifat serimonial, segala keadaan diresmikan melalui upacara.
Kelima Bhuta yadnya adalah upacara yang ditujukan kepada Bhuta Kala, untuk memohon keseimbangan maupun keharmonisan alam semesta bhuwana alit dan bhuwana agung.
Upacara diwujudkan secara bergairah dengan simbol-simbol kreatif, arca-arca mempunyai arti khusus, jajanan, buah-buahan, daun, bunga, air dan api, semua mempunyai makna secara simbolis, hal ini telah tampak nyata berupa kreasi dari perwujudan simbol-simbol tersebut berbentuk aneka upacara seremonial dalam kebudayaan masyarakat Bali. Semua upacara tersebut dilakukan dengan sungguh- sungguh dan tulus ikhlas. Bermacam-macam upacara tersebut dilakukan secara berulang-ulang, pada setiap hari, bulan, tahun bahkan ada pula yang seratus tahun sekali. Upacara yang pelaksanaannya di Pura, terutama berkaitan dengan pelaksanaan upacara “dewa yadnya” atau upacara yadnya lainnya tidak lepas dari kesenian, karena merupakan suatu rangkaian, baik seni lukis, seni kriya, seni tari, seni vokal dan seni-seni lainnya digunakan sebagai seni wali, dalam melaksanakan upacara tersebut.
Pelestarian terhadap beraneka upacara dan nilai-nilai budaya khususnya kesenian bagi masyarakat Bali adalah suatu tanggung jawab terhadap agama yang mereka yakini, sebaliknya semua kegiatan upacara keagamaan senantiasa melibatkan kesenian. Oleh sebab itu maka kehidupan berkesenian subur dan berkembang di Bali. Lebih-lebih dengan adanya pariwisata budaya, justru berkesenian semakin dapat lebih berkembang.