Konsep Kepercayaan Agama Hindu Bali


Sistem Ritual Masyarakat Bali

 Keindahan pulau Bali menyatu dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali pada umumnya. Bali dapat menarik wisatawan mancanegara, karena adanya perpaduan yang harmonis antara keindahan alam, upacara, dan masyarakatnya. Kebudayaannya didasari oleh adat-istiadat yang bernafaskan agama Hindu. Keindahan alam, kekayaan alam yang masih asli, seperti hutan- hutan yang tetap berfungsi sebagai hutan lindung, susunan persawahan yang teratur dan terpelihara rapi, merupakan sajian panorama yang sungguh-sungguh mempesona.

Dalam kitab Wrehaspati Tattwa, badan manusia disebut sebagai Tri Sarira, hanya dapat digunakan untuk mendapatkan dharma, artha, kama dan moksha. Untuk mendapatkan bhutahita (alam sejahtera) haruslah manusia beryajna kepada alam atau bhuwana agung. Tanpa beryajna kepada alam, alam pun tidak akan beryajna kepada manusia. Bila kita beryajna kepada tumbuh-tumbuhan, maka tumbuh- tumbuhan pun akan beryajna kepada kita, menjadi bahan makanan pokok manusia. Untuk menyejahterakan alam ini, persembahan diwujudkan dengan Bhuta Yajna yang memiliki wujud ritual, bersifat faktual kontekstual.

Persembahan ini di luar diri manusia secara individu yaitu lingkungan alam dan lingkungan manusia. Ini harus diwujudkan dalam bentuk Bhutahita dan Jagathita. Bhutahita yang menyejahterakan Panca Maha Bhuta, tumbuh-tumbuhan, dan binatang (sarwa prani). Sedangkan untuk mewujudkan Jagathita (kehidupan bersama yang harmonis) diwujudkan dengan Jagat Kerti, jagat yang benar-benar tertib dan sejahtera. Hal ini merupakan upaya untuk menyiapkan Bhuwana Agung sebagai wadah kehidupan makhluk hidup, terutama manusia yang mempunyai tujuan hidup mewujudkan catur purusaartha.

Sebagai individu, setiap orang harus menyiapkan dirinya lahir batin, Pengendalian jasmani dengan makanan dan yoga asana yang teratur dan berkesinambungan.

Melakukan pengendalian alam pikiran dilakukan dengan pujanam (berdoa), dhyanam (bermeditasi) dan, sewanam (melakukan pelayanan dengan sesama secara tulus dan ikhlas). Dalam upacara keagamaan Hindu, penyiapan lahir batin ini dilakukan dengan upacara byakala dan prayascita. Upacara byakala bermakna menyiapkan fisik yang sehat dan bersih secara sekala dan upacara prayascita bertujuan untuk menyiapkan rohani atau citta secara niskala. Kalau persiapan itu sudah dapat dilakukan dengan baik barulah badan yang berupa Tri Sarira ini dapat digunakan untuk mencari atau mencapai dharma, artha, kama, dan moksha serta hanya boleh digunakan untuk mencari tujuan hidup secara bertahap dan seimbang.

Masyarakat Bali pemeluk agama Hindu, sangat menaati dan menjunjung tinggi agama tatwa (filsafat), adat istiadat susila (etika) dan upacara (ritual). Bagi umat Hindu di Bali menjalankan susila (etika) dituangkan di dalam sesana-sesana dan awig-awig (peraturan-peraturan) Desa Adat. Para Sulinggih atau Pedanda, dan Pemangku, serta warga masyarakat desa akan berusaha untuk menaati sesana maupun awig-awig Desa Adat tersebut, yang telah ditentukan sebagai hak dan kewajiban baginya. Hal-hal yang berkaitan dengan upacara, tiap-tiap rumah tangga berusaha menyelenggarakan upacara-upacara baik yang sehari-hari maupun pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Demikian pula dalam hal pemahaman tentang filsafat agama yang dituangkan dalam konsep-konsep agama dalam implementasinya dapat kita lihat pada prilaku , sopan-santun maupun dalam bertutur kata.

Bagi masyarakat Bali tentang upacara dan upakara mempunyai pengertian yang berlainan. Upacara yang berkaitan dengan agama sering disebut yadnya. Yadnya pada hakekatnya adalah persembahan atau puja spiritual yang diatur menurut ketentuan-ketentuan ritual dan seremoni yang dipelajari dari kitab suci Weda.

Fungsi dan posisi yadnya adalah sebagai ungkapan terima kasih kepada Hyang Widhi yang telah memberikan limpahan waranugraha kepada makhluk hidup termasuk pula umat manusia baik berupa kesehatan maupun kehidupan yang tentrem, sejahtera dan damai. Yadnya berasal dari kata “yaj” yang artinya korban, sehingga yadnya adalah suatu upacara korban suci, artinya korban yang dimaksud adalah korban yang berdasarkan pengabdian dan cinta kasih.

Sesungguhnya pengorbanan yang dilaksanakan berdasarkan pengabdian dan rasa cinta kasih, tidak memerlukan balasan. Walaupun menjalankan yadnya berdasarkan tidak terikat pada hasilnya, tetapi tetap mempunyai tujuan spritual, yaitu (1) untuk menghubungkan diri atau mendekatkan diri di hadapan Hyang Widhi, (2) sebagai tanda terima kasih atas segala waranugraha yang telah dilimpahkan-Nya, (3) untuk mencapai kesucian, membebaskan diri segala dosa demi tercapainya kesempurnaan lahir dan batin baik dalam makrokosmos maupun dalam mikrokosmos.

Menurut ajaran agama Hindu ada beberapa jalan yang ditempuh untuk pendekatan dengan Hyang Widhi adalah melalui catur-marga (empat jalan/cara) yaitu (1)Bhakti marga, ialah dengan jalan penyerahan diri serta mencurahkan rasa cinta- kasih yang setulus-tulusnya, (2)Karma-marga, ialah dengan jalan berbuat dan bekerja secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan atau imbalan, (3)Jnana-marga, ialah dengan jalan belajar serta mengamalkan ilmu pengetahuan secara bersungguh-sungguh dan tidak mengharapkan imbalan, (4)Raja-marga, ialah dengan jalan melakukan tapa-brata yang tekun dan disiplin.

Pada umumnya keempat marga itu diwujudkan dengan penyelenggaraan upacara, jakni pelaksanaan atau perwujudan dari pada catur marga atau yadnya. Dalam pelaksanaan upacara yadnya ini dibutuhkan perlengkapan-perlengkapan yang disebut upakara.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga