Konsep Kepercayaan Agama Hindu Bali


Konsep Sekala-Niskala

Tujuan akhir Agama Hindu seperti apa yang dituturkan oleh informan di lapangan, adalah “Moksartham Jagadhita ya Caithi Dharma” , terjemahannya kurang lebih kesejahteraan lahir dan kesempurnaan batin, kemudian oleh masyarakat Bali dikembangkan menjadi konsep sekala-niskala. Konsep ini kemudian  menjadi populer karena diterjemahkan pula dalam konsep “pembangunan manusia seutuhnya”.

Dalam konsep ini, segala tingkah laku manusia Bali diukur bukan hanya menurut kepatutan secara spiritual. Sebagai contoh sebuah ember yang biasa dipakai mencuci pakaian dalam, secara sekala ember itu bersih, tetapi secara niskala ember itu tidak baik untuk tempat tirta atau air suci. Konsep ini bagi orang Bali menjadi lebih seimbang, tidak cepat menjatuhkan sangsi segala sesuatu sebagai hal yang “salah” atau “benar”, selalu ada sesuatu yang patut dipertimbangkan, di balik kenyataan yang sedang dihadapi.

Konsep Tri Hita Karana

Dasar moral orang Bali adalah harmoni-keselarasan. Kesadaran moralnya terutama ditujukan untuk kesejahteraan batin, lebih bersifat ke dalam diri, dengan terbuka ia akan menerima, mendengar, menunggu, dan berusaha memahami. Tidak berusaha memaksakan kehendak, tidak berusaha untuk mengubah realitas. Kehidupan dijalani untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan-Nya yang terangkum dalam etika Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana tersebut adalah tiga hal yang menyebabkan bahagia dan ketiga hubungan itu hendaknya dapat berjalan harmonis. Hubungan manusia yang penuh bhakti kepada Hyang Widhi, menyebabkan umat Hindu memandang kerja dan pelaksanaan tugas sebagai persembahan (korban suci). Dapat dilakukan melalui Karma Marga untuk mencapai Hyang Widhi. Itulah yang menyebabkan orang Bali membuat tempat atau upacara khusus sebelum memulai suatu kegiatan. Hendak membangun rumah tempat tinggal, ada sanggah cucuk yang ditancapkan di sebuah sudut, dengan harapan agar supaya Hyang Widhi senantiasa menyaksikan dan merestui atau memberi perlindungan dalam proses pekerjaan selanjutnya.

Mau menari, mematung, maupun melakukan pekerjaan lainnya, senantiasa ada upacara kecil untuk memohon, semoga Hyang Widhi menyaksikan dalam pelaksanaan kerja dan memberikan keselamatan pada seluruh pertunjukan maupun dalam melakukan pekerjaan lain. Hubungan manusia dengan sesamanya (manusia) sangat demokratis, hal ini dirumuskan dalam istilah Tat Twam Asi”, yang artinya aku adalah kau, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia dapat diartikan “dia sama dengan diriku”, inilah azas kebersamaan dalam masyarakat Bali, yang telah dikukuhkan dalam lembaga adat.

Tat Twam Asi ini mencerminkan unsur kebersamaan atau kesatuan. Konsep ini mengandung makna, bahwa menolong orang lain, maupun makhluk lainnya, tidak lain juga sama artinya menolong diri sendiri. Sebaliknya merusak makhluk lain dan lingkungannya itu, berarti pula merusak diri sendiri. Karena itu dalam pelaksanaan adat di Bali, seluruh anggota dianggap memiliki hak dan tugas yang sama. Ketika misalnya ada kematian salah satu anggota banjar adat, maka anggota lainnya wajib datang membantu, tidak peduli apakah ia seorang kaya atau seorang miskin. Seberapa besar kesungguhan yang ditunjukkan oleh seorang anggota banjar adat kepada sesamanya, akan berakibat sebesar itu pula kesungguhan yang akan diberikan kepadanya, apabila kemudian dia memerlukan bantuan.

Persoalan hubungan manusia dengan lingkungannya, masyarakat Hindu di Bali memiliki praktik-praktik yang menarik dalam merealisasikannya. Oleh sebab itu terdapat hari-hari khusus untuk dapat melaksanakan upacara kecil seperti tumpek landep (upacara diperuntukkan alat-alat untuk produksi), tumpek uduh (upacara bagi tanam-tanaman), dan tumpek kandang (upacara diperuntukkan bagi binatang ternak).

Menurut catatan dan hasil wawancara terhadap informan di lapangan pandangan hidup orang Bali bersifat holistik (menyeluruh) tidak memisahkan individu dengan lingkungan. Manusia dianggap merupakan kesatuan eksistensi yang mencakup segalanya. Gejala di dalamnya merupakan sebuah perencanaan besar yang teratur dan saling berhubungan. Manusia dianggap bagian dari makrokosmos yang disebut mikrokosmos. Tiada garis pemisah yang jelas antara manusia dan dunia. Manusia selalu dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan alam semesta, di situ manusia mempunyai tugas dan tempat. Kehidupan di dunia hanya merupakan sebagian kecil dari kehidupan abadi dalam alam kosmik. Tugas kehidupan manusia adalah berusaha mencegah samsara atau reinkernasi, suatu kelahiran kembali secara berulang-ulang setelah kematian, sebagai pertanda samsara yang tiada akhir. Reinkarnasi menghambat sang Atman untuk kembali ke asalnya, menghambat penyatuan Brahman-Atman. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa perhatian orang Bali tertuju pada masyarakat dan alam. Orientasi kehidupannya tatkala ia melukiskan pergaulan dan ide-idenya adalah keselarasan dan ketenteraman

Dengan latar belakang ini orang Bali yang mayoritas menganut agama Hindu dilatih dan dididik untuk menjadi manusia bijaksana, mengetahui proporsi yang tepat dalam berpikir, merasa, bersikap dan tingkah laku, tidak pernah membiarkan pikiran menjadi dominan sampai menguasai seluruh kesadaran dan merusakkan keseimbangan psikologis, menghindari disharmoni dan pemborosan. Tidak berusaha untuk menguasai alam. Masyarakat Bali mempunyai banyak simbol-simbol dalam kehidupan bermasyarakat terutama terkait dengan adat-istiadat dan dalam tingkah laku pelaksanaan keagamaan sehari-hari, sekaligus orang Hindu dididik untuk selalu toleran dengan perbedaan pendapat dan menghormati pendapat orang lain, demikian menurut keterangan imforman pemuka agama maupun pemuka masyarakat.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga